Skip to Content

Oktober 2016

CERPEN KOMPAS 2004: “KYAI SEPUH DAN MALING” KARYA SANDY TYAS

Hujan turun disebar langit merata di seluruh kota. Udara malam terasa lebih dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Bulu tangan berdiri, tengkuk sesekali menggigil. Orang percaya, jika hujan turun di hari malam Jumat, akan lama redanya. Sebenarnya sejak pagi sampai sore udara cerah.

CERPEN KOMPAS 2004: “LONTARAK” KARYA ANDI SURUJI

Tidak jauh dari tempat memarkir mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke tujuannya masing-masing di Jakarta ini.

CERPEN KOMPAS 2004: “DARI MANA DATANGNYA MATA” KARYA VEVEN SP WARDHANA

dari mana datangnya lintah

dari sawah turun ke kali

CERPEN KOMPAS 2004: “BERAT HIDUP DI BARAT” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Siapa takkan terbangun mendengar dering suara bising yang mengganggu telinga di pagi buta? Siapa tak terganggu saat menjelang fajar mendengar tetangga dekat bertengkar? Siapa tahan tinggal di rumah sewa dengan kebisingan yang terjadi tiap hari? Siapa?

CERPEN KOMPAS 2004: “SEPERTI ANGIN BERLALU” KARYA WILSON NADEAK

Siapa yang meninggal??

“Barangkali seorang berdarah biru.”

“Belum pernah aku melihat orang melayat sebanyak ini.”

“Pastilah ia orang yang terhormat di negerinya.”

“Kukira begitu. Terlalu banyak dari antara mereka yang meneteskan air mata. Bahkan ada yang meratap dengan keras dari balik jendela mobilnya.”

“Kukira ia seorang Oriental yang disegani.”

CERPEN KOMPAS 2004: “SEPATU” KARYA EEP SAEFULLOH FATAH

Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.

CERPEN KOMPAS 2004: “CINTA ELENA & PEDRO” KARYA ABA MARDJANI

Wanita tua itu duduk sendirian di kursi pedestrian Las Ramblas. Semilir angin menggeraikan rambutnya yang keemasan. Sesekali ia mengangguk atau melemparkan sesungging senyum kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya dan kebetulan menoleh ke arahnya. Sudah hampir pukul sembilan malam rupanya. Sinar matahari masih terlihat jelas di ufuk barat sana.

CERPEN KOMPAS 2004: “WARNA UNGU” KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM

Siang yang paling berkeringat. Semua keluarga besar Hendrawan tertidur. Semalam, sampai larut malam, mereka menemani calon pengantin untuk melewati malam widhodharenan. Nanti tepat pukul 14.30 WIB, pengantin akan melaksanakan ijab kabulnya. Setelah itu mereka akan pergi ke tempat resepsi di sebuah gedung dengan dominasi warna ungu.

CERPEN KOMPAS 2004: “RT 03 RW 22, JALAN BELIMBING ATAU JALAN ASMARADANA” KARYA KUNTOWIJOYO

Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini.

CERPEN KOMPAS 2004: “BELATUNG” KARYA GUS TF SAKAI

Belatung itu seperti ulat ya, Bu? Ya seperti ulat. Apakah ia juga bisa berubah jadi kupu-kupu? Tidak, belatung tak bisa berubah jadi kupu-kupu. Kenapa tidak bisa, Ibu? Entahlah, Ibu tak tahu. Kasihan ya, Bu? Aku ingin melihat ia jadi kupu-kupu. Tetapi kita tidak bisa. Tapi aku ingin.

Tidak bisa. Aku ingin.



Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler