Skip to Content

Februari 2019

CERPEN KOMPAS 2005 “DI BALIK JENDELA” KARYA WILSON NADEAK

Hal yang paling kutakuti ialah sakit. Berulang-ulang istriku menganjurkan supaya aku memeriksakan diri ke dokter. Rasa sehat bukan berarti tidak sakit, katanya. Nah, justru itulah yang kukatakan kataku, kalau-kalau dokter mengetahui penyakitku. Lebih baik tidak usah mengada-adalah! Pernah sekali aku pergi ke rumah sakit dan memeriksakan kepalaku yang ada benjolan.

CERPEN KOMPAS 2005 “KIRIMI AKU MAKANAN” KARYA GM SUDARTA

Aku lupa, kapan aku kenal temanku yang satu ini. Namanya Roni. Dengan tiba-tiba aku sangat akrab dengannya. Semula pada suatu sore dia datang, tanpa mengenalkan diri, dia mengucapkan salam dengan menyebut nama panggilan akrabku: Mas Sudar. Dan kami langsung ngobrol ngalor-ngidul tentang dunia gaib. Soal tuyul, genderuwo, jin, sampai segala macam pesugihan.

CERPEN KOMPAS 2005 “KALAU LELAKI ITU PULANG…” KARYA ADEK ALWI

Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok di sana,” pesan ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan mengajar lagi nanti, Nak.

CERPEN KOMPAS 2005 “CIK GIOK” KARYA REDA GAUDIAMO

Jangan lupa kirim tiket buat Cik Giok biar bisa ke Jakarta, lalu di pelabuhan. Jangan lupa baju buat Cik Giok.

CERPEN KOMPAS 2005 “GELOMBANG YANG BERLABUH” KARYA HAMSAD RANGKUTI

Lempeng tektonik adalah batuan pegunungan yang padat, besar, dan kaku melakukan proses pembentukan corak topografi yang besar di muka Bumi. Bumi yang tampak padat ini sebenarnya terdiri dari beberapa lempeng tektonik membalut planet Bumi layaknya cangkang telur rebus yang merekah.

CERPEN KOMPAS 2005 “PERJUMPAAN PEREMPUAN” KARYA AKHLIS SURYAPATI

Taksi berhenti. Rita menyerahkan ongkos, membuka pintu, beranjak turun. Ayu mengikutinya. Kedua perempuan itu berjalan mendekati sebuah rumah yang cukup mentereng. Sudah tidak nampak tanda-tanda dukacita, setelah dua minggu lalu kepala keluarga di rumah itu, Rahardjo, meninggal dunia.

Ma, apa ini benar-benar perlu kita lakukan sih?” tanya Ayu.

CERPEN KOMPAS 2005 “BALADA CINTA FERDI DAN FIRDA” KARYA JUJUR PRANANTO

Di ketinggian kamar di lantai delapan hotel berbintang lima, Firda menyibak vitrage, memandang ke luar jendela kaca yang sebagian permukaan luarnya berembun. Nampak di bawah sana lidah-lidah air laut menghantam garis pantai, berdebur-debur keras, tapi suaranya tak mampu menyusup ke dalam kamar, hingga kesunyian suite room ini sama sekali tak terusik.

CERPEN KOMPAS 2005 “BANG ACUNG TIDAK BUNUH DIRI, YAH” KARYA ABA MARDJANI

Tiga kali Ny Laila tak sadarkan diri. Yang pertama pukul sembilan pagi ketika ia mendapat kabar Mansur, anaknya, meninggal dunia. Dunia tiba-tiba terasa jadi begitu gelap. Tak pernah terbayangkan anak keduanya akan pergi begitu cepat. Karena itu, begitu mendengar kabar duka itu, seluruh persendian tubuhnya terasa lunglai. Ia seperti kehilangan seluruh darah dan tenaganya.

CERPEN KOMPAS 2005 “PISAU” KARYA YUSRIZAL KW

Rumah baru kami menghadap ke timur. Ketika pintu dibuka, setelah melewati pekarangan kecil dan teras, cahaya matahari masih bisa menjalar ke lantai dalam rumah.

CERPEN KOMPAS 2005 “SURAT UNDANGAN” KARYA PUTU OKA SUKANTA

Sekitar jam empat sore mereka mengetuk pintu. Istriku yang menyambutnya. Suara seorang laki-laki aku dengar menanyakan apakah aku ada di rumah. Kudengar juga suara istriku mengatakan, ya aku ada di rumah. Dan suara berikutnya, istriku menyilakan tamu tersebut duduk, sementara istri memberitahukan kedatangannya kepadaku.



Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler