Skip to Content

Februari 2019

CERPEN KOMPAS 2005 “BOCAH-BOCAH BERSERAGAM BIRU LAUT” KARYA PUTHUT EA

Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu yang kadang kala berlagak bisa terbang jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati fakta tetapi malah terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana. Mungkin selamanya.

CERPEN KOMPAS 2005 “ROKOK MBAH GIMUN” KARYA F RAHARDI

Ke mana-mana Mbah Gimun selalu tampak dengan rokok lintingan, yang terus menempel di antara dua bibirnya yang tebal dan hitam. Rokok itu sangat besar dan hanya terbuat dari tembakau kasar dengan kertas lintingan yang juga kasar. Mbah Gimun tidak pernah tampak mengisap rokok yang ada di mulutnya itu.

CERPEN KOMPAS 2005 “ANJING YANG MASUK SURGA” KARYA M. DAWAM RAHARDJO

Usamah adalah seorang keturunan Arab Pakalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab juga asal Solo. Karena itu ia bergaul dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon, daerah permukiman keturunan Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke Jakarta.

CERPEN KOMPAS 2005 “MATA SULTANI” KARYA ADEK ALWI

Sudah hampir empat puluh tahun mata Sultani menatapku. Tempo-tempo mata kawan masa kecil itu memang tak tampak, seolah sudah bosan lalu raib entah ke mana, namun kemudian muncul lagi dan kembali menatap. Hanya menatap. Tidak sekalipun berkedip, seperti tidak kenal lelah. Padahal tahun demi tahun terus berganti dan kini telah mendekati tahun keempat puluh.

CERPEN KOMPAS 2005 “NISTAGMUS” KARYA DANARTO

Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah.

CERPEN KOMPAS 2005 “JEJAK YANG KEKAL” KARYA GUS TF SAKAI

Sepatu itu, dengan cara begitu rupa, menginjak seekor trilobite, tertahan dalam bongkah batu. Betapa kekal, pikirmu. Di suatu waktu di zaman lain, seperti yang selalu kami yakin, bongkah itu akhirnya pecah.

CERPEN KOMPAS 2005 “LUMPUR KUALA LUMPUR” KARYA TRIYANTO TRIWIKROMO

Siapa pun boleh menari, untukmu Gusti. Tapi tak seorang pun boleh menceritakan gerimis-Mu yang menghanyutkan kisah-kisah orang-orang yang teraniaya di penjara-penjara penuh kalajengking dan lipan itu. Maka, dengarkanlah ceritaku, Gusti. Dengarkanlah lengking mataku yang kehabisan sungai dan embun sejuk itu.

Ayat-ayat Sunyi Ramli

CERPEN KOMPAS 2005 “SARMA” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Setiap kali aku ketemu istrinya, selalu aku merasa dosa. Setiap kali merasa dosa, selalu aku sangat menyesal. Segala hal yang menyangkut pekerjaan, pindah rumah, lalu utang bank yang tak terlunasi olehnya, semua seolah salahku. Sukar aku menghindar untuk tak ketemu istrinya.



Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler