Rumah kayu berhalaman luas ini demikian riuh. Dedaunan kering tersapu angin bergulung di tanah, menghadirkan bau legit setelah gerimis sempat menerpa. Inilah saat putri bungsuku, Wardhani, akan berpamitan untuk pergi ke rumah suaminya. Para tetangga juga semua kerabat berkumpul memberikan ucapan selamat dan salam perpisahan.
Bila malam menjejak, memanjang sampai mau beranjak di penghujung lain, seiring dengan pasang naik, dari zona pesisir sebelum jalan membelok ke pedalaman, dari salah satu rumah yang dialingi pohon-pohon bakau dari tangan lautan itu akan bangkit tembang pilu mirip lolong.
Stasiun Nagoya terlihat sangat sibuk, bahkan di siang hari. Aku melangkah gontai menuju bangunan depannya yang berwarna pualam dengan relief lengkung sebagai pintu masuk utamanya. Aku seperti mengenal tempat ini dengan lebih baik daripada tempatku bekerja. Dan sebulan terakhir ini tampaknya menjadi kenangan yang indah antara aku dan Stasiun Nagoya, yang akan berakhir hari ini.
Di Bandara Cedar Rapids ia tenggelam dalam kebingungan. Ke mana? Jadi bekerja sebagai asisten manajer makanan siap saji restoran Roy Rogers di Des Moines atau membantu radio pendidikan di Dubuque? Mengapa tidak pulang saja ke Tanah Air dan mencoba mengadu nasib di sana?
Di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.
Dia menguakkan daun jendela keluar dan mempersilakan angin pagi menyongsong masuk dengan leluasa. Hati-hati disingkapkannya kain putih yang menutupi laptop di atas meja kecil, yang berdiri begitu rapat seperti hendak mencium bibir jendela. Beberapa saat dia berdiam diri dengan wajah cemas, seakan-akan benda yang tertutup di bawah kain putih itu cuma pembawa bencana.
Ketika ia bersandar pada pagar kapal yang akan membawanya pergi dari Tanah Merah, seluruh peristiwa yang telah dialaminya hampir setahun sebelumnya bagai berputar kembali di pelupuk matanya. Hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak berkesudahan.
Komentar Terbaru