Skip to Content

34 Tahun Teater Koma: Mengenang Tahun-tahun Penuh Pencekalan

Foto Hikmat

Salah satu grup teater veteran, Teater Koma sudah eksis selama 34 tahun. Banyak sekali cerita suka dan duka yang dialami para pendirinya. Mulai dari tujuan berkesenian, adanya kegelisahan, sampai berbagai pencekalan dari pemerintah.

Pendiri Teater Koma Nano Riantiarno mengatakan, setiap tahun yang dilewati Teater Koma itu sangat berharga. "Tidak ada tahun yang spesial kayak 9, 17, 25, 50, dan sebagainya. Jadi pada akhirnya kita juga pernah merayakan 10, 15, 25 dan sebagainya. Itu kan angka yang aneh," ujarnya ketika ditanya makna ulang tahun ke-34 kali ini.

"Ada kesadaran bahwa kita harus sesekali menengok ke belakang. Pikirkan manfaat kita kepada masyarakat tuh apa," tambah Nano yang ditemui detikhot di belakang panggung pergelaran 'Sie Jin Kwie Kena Fitnah' di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta Pusat.

Lakon 'Sie Jin Kwie Kena Fitnah' dipentaskan mulai 4 Maret hingga 26 sebagai puncak perayaan ultah Teater Koma tahun ini. Grup teater tersebut didirikan pada 1 Maret 1977 oleh 12 orang dari berbagai latar belakang. Selain Nano sendiri, di antara mereka adalah Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang C Noer, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, Cini Goenarwan, Jimi B Ardi, Otong Lennon, Zaenal Bungsu dan Agung Dauhannadalah.

Kala itu tahun 1977 mereka mementaskan pertama kali 'Rumah Kertas'. Teater Koma kemudian berkembang pesat, banyak orang yang ingin bergabung, dan pintu selalu terbuka lebar. Dari tahun 1977 pentas Teater Koma begitu diminati masyarakat, bahkan kala itu --sampai saat ini-- menjadi hiburan yang membuat penonton ketagihan.

Sampai saat ini Teater Koma sudah melahirkan 122 judul cerita teater dengan 967 kali pementasan.  Pada usianya ke-34 tahun, Nano ingin sedikit mengenang perjalanan Teater Koma. Ia pun mengumpulkan kliping-kliping dan dokumentas dari teman-temannya. Sudah banyak suka dan duka yang mereka lewati.

Misalnya saja dari kenangan pahit saat pentas mereka mulai mendapatkan pelarangan pada 1978, setahun setelah Koma terbentuk. "Pertama (dilarang) itu tahun 1978, pentas 'Maaf, Maaf, Maaf' tidak boleh manggung di tiga kota, Bandung, Surabaya dan Jogja," kenangnya.

Saat itu, lanjut Nano, ada kebijakan normalisasi kampus di mana kampus tidak boleh menerima kegiatan-kegiatan dari luar. Termasuk pentas teater dan diskusi yang sifatnya kegiatan luar kampus. Itu pencekalan pertama buat Koma. Sebelum dilarang, 'Maaf, Maaf, Maaf' sempat manggung di Fakultas Sastra UI selama 2 hari.

"Saat itu kita bicara soal sikap otoriter sang penguasa yang pada akhirnya membuat pentas kita dihentikan, tapi ya sudahlah tidak apa-apa," ujarnya seolah ingin melupakan kenangan itu. Selanjutnya, pada 1989 pementasan 'Sampek Engtay' batal di Medan karena mendapatkan pelarangan dari Depdikbud dan Kepala Dinas Kebudayaan setempat. Alasannya, pentas tersebut berbau China, yang saat itu masih menjadi isu SARA yang tabu.

"Padahal saat itu kita hanya bicara soal percintaan, kenapa dilarang? Toh saat itu di Medan diputar film Mandarin dan banyak juga komunitas orang Tionghoa. Pada saat itu sama sekali nggak pentas kita, padahal tiket sudah terjual habis. Yah, kita balik aja gitu ke Jakarta," paparnya.

Ketiga, pentas 'Suksesi' juga dicekal aparat yang menilai bahwa lakon tersebut mengkritik keluarga Soeharto yang kala itu masih kuat berkuasa. Padahal, kata Nano, tidak pernah ada maksud untuk mengkritik dan sebagainya. "Itu hanya ketoprakan saja, kita memang bicara soal penguasa, tapi dianggap mengkritik penguasa saat itu," jelasnya.

Pencekalan ketiga itu cukup merepotkan Nano karena ia harus bolak-balik ke markas ABRI saat itu untuk menjalani interogasi.  Terakhir, pada 1990 Nano mendapatkan undangan untuk pentas di Jepang dengan lakon 'Kecoa'. Pusat kebudayaan Jepang saat itu meminta Teater Koma manggung diempat kota di sana.

Sebelum berangkat, Nano berniat mengadakan pentas pamitan di GedungKesenian Jakarta. Saat itu dihadiri oleh pihak kedutaan Jepang dan dua orang wartawan dari Negeri Sakura itu. Apa yang kemudian terjadi? "Ternyata dilarang, karena 'Kecoa' itu agak keras saya bicara. Tentang penggusuran, tentang kaum elit yang secara politik cuma dagang saja. Saya bicara kaum-kaum yang kena gusur itu kok nggak punya hak hidup di negerinya sendiri," paparnya.

Alhasil, Koma tidak boleh berangkat ke Jepang. Sejak itu, setiap Koma mau pentas harus membuat surat rekomendasi khusus. Mereka harus melewati 13 meja birokras, bahkan naskah ceritanya pun harus diedit oleh pejabat militer setempat. Selama 6 tahun Teater Koma harus menjalani birokrasi yang rumit untuk pentas. "Setelah Soeharto jatuh pada 1998, surat izin itu tidak diperlukan kembali," kata Nano.

 

Jujur Memotret Kehidupan

Teater Koma identik dengan kritik terhadap penguasa. Setidaknya, itulah yang tertangkap dari tahun-tahun ketika pementasan mereka selalu mendapatkan pencekalan dari aparat pemerintah. Padahal, menurut Nano Riantiarno, kritik tersebut terjadi secara tidak sengaja.

Dalam membuat pementasan, Nano menegaskan, dirinya hanya berusaha jujur dengan memotret sendi-sendi kehidupan di luar panggung. "Konsepnya ada potret, kan jujur saja menangkap atmosfer rakyat kecil yang digusur-gusur. Jadi itu yang saya pentaskan, dengan dasar cinta, humor, jenaka, supaya tidak terlalu menyakiti," papar Nano.

"Sama sekali tidak ada niatan saya untuk menajam-najamkan kritikan," tambahnya.

Lalu, jika ditanya, dari sekian lakon yang telah diproduksinya, manakah yang menurut Nano sendiri yang terbaik, maka inilah jawabannya. "Mana yang terbaik, secara klise akan saya jawab, karya saya yang terbaik adalah karya saya yang akan dibuat mendatang."

Pria berusia 61 tahun itu mengakui, dalam setiap pementasan Teater Koma selalu tak luput dari kekurangan. Dan, berbagai kekurangan yang ada itu akan diperbaiki pada pementasan berikutnya. "Dengan kata lain, kekurangan-kekurangan itu membuat saya terpacu," katanya.

 

Dua Hal yang Membuat Teater Koma Bertahan

Mempertahankan keutuhan dan kelangsungan hidup sebuah kelompok teater hingga berusia kepala tiga bukankan perkara yang mudah. Teater Koma mampu menorehkan prestasi itu. Apa rahasianya?

Pendiri sekaligus sutradara setiap pementasan Teater Koma, Nano Riantiarno menjawab pertanyaan tersebut. Caranya hanya dua, yaitu perhatikan anggota dan penonton.

Nano boleh jadi merasa beruntung karena memiliki anggota yang loyal dan setia. "Itu dari angkatan 1977 masih ada, kebanyakan anggota Teater Koma sudah lebih dari 20 tahun. Sebenarnya apa sih yang mereka dapatkan?" tanya Nano retoris.

Kuncinya, Nano sangat terbuka soal pemasukan berupa materi dari hasil pertunjukan Teater Koma. Sebagai pimpinan produksi, Nano tidak berani 'main-main' dengan uang yang merupakan hak anggotanya, yang menurutnya jumlahnya sangat kecil.

"Saya biasa menyebutnya uang permen, karena masih sangat kecil. Tidak layak dikatakan honor," ujarnya.  Namun meski begitu, masih saja ada anggota Teater Koma yang sudah mapan di dunia film atau sinetron, akhirnya kembali lagi ke panggung.

"Itu berarti ada yang mereka dapatkan kan? Makanya balik lagi?" ujarnya.

Faktor kedua yang menopang sukses Teater Koma adalah penonton. Sama seperti para anggota teaternya, penonton Koma pun sangatlah setia. Nano memperkirakan, 40 persen orang yang menonton Teater Koma pada era 2000-an adalah penonton lama.

Mereka sudah menikamati Teater Koma sejak 1977, ketika Koma pertama kali berdiri dan mementaskan karyanya. Mereka secara turun-temurun memperkenalkan Teater Koma.

"Dulu itu ada orang yang biasanya nonton sama anaknya. Nah anaknya sudah kawin dan sekarang itu nonton sama suami dan anaknya. Sisanya itu penonton baru," Nano memberikan ilustrasi.

Ada pengalaman unik yang tak pernah dilupakan Nano soal setianya penonton Teater Koma. Pada 1992, Nano secara tak sengaja bertemu dengan seorang pria. Pria tersebut mengaku penonton setia Teater Koma.

"Laki-laki paruh baya dengan istrinya salaman sama saya. Dia berkata 'Pak Riantiarno, baru sekarang saya berhadapan dengan Anda, saya senang," ceritanya.

Nano pun bertanya, "Bapak siapa?" Pria itu mengaku mengikuti Teater Koma sejak pementasan 'Maaf, Maaf, Maaf' pada 1978. Saat itu pria tersebut berpangkat Letnan TNI yang tengah bertugas mengawasi pementasan tersebut, dan kemudian mencekalnya.

"Sekarang saya pensiunan. Saat itu saya nonton saat tugas, dan saya senang. Lalu saya bawa istri saya dan istri saya senang. Sekarang saya ajak anak saya, karena saya sekarang senang bukan sebagai petugas yang melaporkan, tapi sebagai orang bebas," kenang Nano menirukan penuturan pria tersebut.

Selain itu, sikap loyal penonton Teater Koma pun dilihat Nano sebagai hal yang menarik. Bayangkan saja, antara tim produksi pementasan dengan penonton bisa terjalin komunikasi dua arah.

Suatu waktu ada penonton Teater Koma yang berkomentar 'jelek' pada tiga judul pementasan. "Dia tanya, bagaimana pementasan berikutnya? Kalau jelek dia nggak mau nonton lagi," kata Nano.

Tapi, akhirnya orang tersebut melalui telepon berkata tidak jadi stop menonton pementasan Teater Koma. Sampai saat ini, anggota Teater Koma sudah memasuki generasi ke-3. Sedangkan penontonnya sudah empat generasi.


(ebi/mmu)


Sumber: DETIKHOT.COM, Senin, 07/03/2011 13:12 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler