Skip to Content

AKIBAT PEMBATALAN WTS MEMBACA SAJAK DI TIM

Foto SIHALOHOLISTICK

Penyair F. Rahardi Tuntut Ketua DKJ Rp 1.563.000 Sebagai Ganti Rugi

Jakarta, 1 Agustus

Gara-gara dibatalkannya rencana penampilan sejumlah WTS (wanita tuna susila) untuk membaca sajak di Teater Tertutup TIM Senin malam, penyair F. Rahardi menuntut Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Dr. Toeti Heraty sebesar Rp 1.563.000 sebagai ganti rugi.

Surat pembatalan dari Ketua DKJ tertanggal  28 Juli 1984 antara lain menyebut, dengan menampilkan sejumlah WTS, merupakan tindakan yang kurang bijaksana, mengingat mereka kelompok yang sudah diekploitir masyarakat. Pihak DKJ sendiri setelah membaca kalender acara TIM merasa “kebobolan” dalam arti, si penyair, sebaiknya konsultasi dulu secara cermat dengan ketua komite sastra.

Menurut F. Rahardi, menampilkan WTS untuk kegiatan sastra adalah sah, sejauh mereka bersedia dan tak ada unsur paksaan. Sebab ia melihat wanita tuna susila juga anggota masyarakat yang tentu boleh mengikuti kegiatan kemasyarakatan, termasuk sastra. “Jadi keberatan dewan terhadap rencana saya menampilkan WTS dalam pembacaan saja tidak dapat saya terima. Semua dampaknya, entah itu yang bersifat psikologis atau reaksi publik adalah tanggungjawab saya pribadi”, kata Rahardi.

Mengenai istilah “kebobolan” tidak bisa diterima F. Rahardi karena ia telah melakukan prosedur sebagaimana mestinya. Bahan-bahan tersebut telah saya serahkan kepada saudara Masril selaku karyawan DKJ tanggal 8 Juni lalu.

Tapi di lain pihak, ia masih menghormati pihak Dewan/Akademi Jakarta yang memutuskan untuk tidak menampilkan WTS. “Cuma, yang saya sayangkan, kerja Dewan tidak rapi dan memberitahukan dengan cara mendadak. Kenapa kalau ingin membatalkan, kok tidak dulu-dulu saja, sedang masalah publikasi sudah menyebar di beberapa media.

Tanggapan HB Yassin

Sementara itu, kritikus sastra HB Yassin berpendapat, pada umumnya, sikap perseorangan bisa lain dengan sikap kedudukan. Tindakan Toeti Heraty mungkin didasarkan pada pemikiran efek terhadap pementasan tersebut. “Sebab jelas penonton takkan sama tingkat kedewasaannya”, ujar Yassin. “Saya pun tidak bisa menyalahkan tindakan yang diambil Toeti”, tambahnya.

Meski begitu, ia berujar, kita tidak boleh punya pikiran bahwa efek ditampilkannya WTS bakal jelek. “Kita toh belum tahu bahkan belum mencoba seberapa jauh tingkat kedewasaan penonton” tegasnya.

Dikatakan sebenarnya, justru apabila jadi menampilkan WTS, malah bisa menjadi ajang uji coba. Kalau memang apresiasi penonton masih rendah untuk waktu selanjutnya DKJ bisa lebih berhati-hati dalam merencanakan programnya.

“Saya sendiri merasa kecewa, dengan batalnya WTS-WTS itu tampil membaca “Soempah WTS”. Apalagi sajak itu diganti oleh anak-anak yang membaca secara beramai-ramai itu. Agak lucu juga rasanya”, katanya.

Jika menempatkan diri sebagai penonton, Yassin mengaku, takkan bakal mengalami semacam gangguan psikologis, karena ia sudah merasa dewasa dan bisa menerimanya. “Tapi bagaimana dengan tingkat kedewasaan penonton lain, itu perlu menjadi bahan pemikiran”, ucapnya.

Ia menambahkan, bagaimanapun, kita harus bangga dan gembira, memiliki sebuah tempat seperti TIM yang masih bebas untuk berpendapat. “Hanya yang perlu diingat, belajarlah menghadapi sesuai dengan porsinya, dan selalu ada sikap kedewasaan”, demikian HB Yassin.

Budayawan Moechtar Lubis yang malam itu hadir berkomentar, menampilkan WTS dalam pembacaan sajak tidak disetujuinya. “Pokoknya saya tidak setuju”, tegasnya tanpa mau memberi alasan lebih panjang. (AJW/Gtn/T-4)

Sumber : SH, 1-8-1984

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler