Skip to Content

BMI Hong Kong Berseri lewat Sastra dan Seni

Foto ombi

Dalam pandangan umum, buruh migran Indonesia (BMI) adalah sosok 
pekerja kasar yang hanya bisa mengerjakan tugas-tugas sepele rumah 
tangga. Pembantu rumah tangga (PRT) atau babu adalah pekerjaan yang 
dipandang dengan sebelah mata. Babu bukanlah pekerjaan ideal yang 
memberikan penghasilan besar sekaligus mendatangkan kebanggan. 

Sejauh ini media massa lebih banyak memberitakan kemalangan dan 
petaka yang menimpa BMI. Media lebih suka mengekspose berita duka 
berkisar pemerkosaan, penyiksaan, perampokan, dan kematian BMI di 
negeri orang. Kenyataannya BMI memang rawan bahaya. Dan, tampaknya 
media massa percaya "dagangan yang laku" dan disukai pembaca adalah 
berita-berita semacam itu. 

Jarang media komersial yang menulis kiprah dan sosok BMI sebagai 
manusia utuh yang penuh harga diri dan menjunjung nilai 
kemanusiaannya. Ketimpangan berita itu mungkin karena keterbatasan 
pengetahuan dan ketergesaan (untuk tidak menyebut kemalasan) pewarta 
untuk menggali berita yang "bergizi" bagi pembaca sekaligus berguna 
bagi "obyek" berita. Bisa jadi karena organisasi-organisasi buruh 
migran kurang aktif memberikan materi berita. Atau, mungkinkah 
karena sosok ideal BMI yang tegar dan kreatif memang langka? 

Penampilan buruh migran yang menjunjung martabat dan harkat 
kemanusiaannya serta liku-liku yang ditempuhnya dalam usaha ini 
perlu diangkat untuk menciptakan citra buruh migran utuh. Selain 
itu, juga kesanggupan mengungkap kekurangan sumber daya buruh migran 
untuk perbaikan. 

Dengan citra buruh migran Indonesia seperti itu, kegiatan sastra
seni buruh migran di Hong Kong barangkali tampak sebagai cerita 
ajaib dan langka. 

Melalui sastra dan seni, BMI di Hong Kong menunjukkan citra selain 
hanya pekerja yang berkutat membereskan pekerjaan rumah tangga. 
Apalagi kondisi Hong Kong sangat menunjang untuk mengembangkan 
potensi diri. Majikan yang relatif baik serta berbagai komunitas 
buruh migran di Hongkong yang menawarkan program pendidikan membantu 
BMI untuk memanfaatkan waktu luang untuk mengekspresikan dan 
mengembangkan potensi diri. Di sini buruh migran 
lebih "dimanusiakan". Pemerintah Hong Kong tidak terlalu 
diskriminatif terhadap buruh migran. 

Kegiatan sastra dan seni BMI tersalurkan dan terwadahi media 
berbahasa Indonesia di Hong Kong, antara lain koran Suara, Berita 
Indonesia, Tabloid Apakabar, Roos Mawar, dan majalah Ekspresi. 
Berbagai komunitas buruh migran seperti Indonesian Migrant Workers 
Union (IMWU), Forum Lingkar Pena Hong Kong (FLP-HK), dan Asosiasi 
Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) juga bergiat menerbitkan buletin yang 
menampung luapan energi seni buruh migran. Karya buruh migran juga 
sering dimuat surat kabar dan majalah di tanah air. 

Kemunculan beberapa BMI penulis di Hong Kong dengan karya-karyanya 
harus diakui antara lain karena pemerintah memasang aturan jelas 
yang melindungi hak dan kewajiban BMI. Terutama karena adanya hak 
libur empat hari dalam sebulan dan jam kerja yang jelas. Waktu yang 
cuku plapang tersebut memberikan kesempatan BMI untuk belajar 
berbagai hal, antara lain berorganisasi, menekuni pendidikan, dan 
berseni sastra

Intensitas kepenulisan BMI di Hong Kong lumayan membanggakan. Dari 
tangan mereka telah lahir 16 buku. Antara lain Tertawa Ala Victoria 
Park, Indonesia Merdeka, dan Negeri Elok Nan Keras di Mana Kami 
Berjuang (Denok K Rokhmatika); Catatan Harian Seorang Pramuwisma 
(Rini Widyawati); Penari Naga Kecil (Tarini Sorita); Perempuan di 
Negeri Beton (Wina Karni); Badai Signal 8 (Swastika dan Shifa Auli); 
Anda Luar Biasa (Eny Kusuma); serta novel Ranting Sakura (Maria 
Boniok). 

Selain itu, terbit kumpulan cerpen Hong Kong Namaku Peri Cinta 
(FLP/Publishing House Jakarta) yang merangkum karya anggota Forum 
Lingkar Pena Wina Karni, Shifa Aulia, S Aisyah Z, Andina Respati,Via 
Rosa, Rof, dan Ikrima Ghany. Antologi puisi Nubuat Labirin Luka 
terbitan Sayap Baru dan Aceh Working Grup memuat karya Aliyah 
Purwanti, Anan, Anik Sulistia, Widi Cahyani, dan Mega Vristian. 


Sedang kumpulan cerpen Nyanyian Imigran (Dragon Family Publisher) 
merangkai karya Aliyah Purwanti, Ikrima Ghany, Lik Lismawati, Nining 
Indarti, Etik Juwita, Mega Vristian, Tarini Sorita, Anik Sulistia, 
Tanti, Imes Hisa, Swastika, Kris DS, dan Enny. Kemudian buku Galz 
Please Don't Cry (PT Lingkar Pena Kreativa) memuat karya Wina Karni, 
Swastika M, dan Fia Rosa. Buku Selasar Kenangan (Akoer,Jakarta) 
memuat karya Mega Vristian dan Lik Kismawati. Juga buku Dian Sastro 
for President (On/Off Trilogy) dan antologi puisi–cerpen–esai Sastra 
Pembebasan karya Mega Vristian. 


Kehidupan dan persoalan buruh migran mereka angkat melalui karya 
tulis, teater, dan pembacaan puisi sehingga sampai pada masyarakat 
luas. Dalam konteks ini, kiprah BMI Hong Kong merupakan kasus unik. 
Diharapkan aktivitas positif tersebut mengilhami dan merangsang 
buruh migran Indonesia di negera-negera lain untuk lebih manfaatkan 
waktu libur atau istirahat. Daripada bengong dan nelangsa sendiri 
dihajar rindu pada keluarga di kampung, tentu lebih baik 
memanfaatkan waktu barang sejenak untuk mengekspresikan dan 
aktualisasi diri. 


Sastra dan seni bisa menjadi oase bagi jiwa raga untuk beristirahat 
barang sejenak dari rutinitas kerja. Kegundahan, kerinduan, 
kekecewaan, bahkan tuntutan atas perlakuan sewenang-wenang dapat 
disalurkan dan diteriakkan melalui cerpen atau puisi. Puisi bisa 
menjadi medium untuk membangkitkan semangat. Juga untuk melawan 
kekuasaan yang menindas. 

Tentu kita masih ingat sebuah kalimat yang menggelorakan semangat 
mahasiswa, pelajar, pemuda, buruh, bahkan ibu-ibu di seluruh tanah 
air untuk menumbang rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998. "Hanya satu 
kata: Lawan!" Kalimat lugas dan tandas itu merangkum dan 
mengkristalkan kekecewaan, kesumpekan, ketakutan, "horor" dahsyat 
selama 32 tahun di bawah kekuasaan Soeharto untuk bersatu padu 
melawan. Hasilnya, Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan. Mungkin 
para pemuda yang meneriakkan, menuliskan kalimat itu di tembok- 
tembok di seluruh negeri tak tahu atau tak ambil pusing siapa yang 
melahirkan "mantera" lugas tandas tersebut. 

Kalimat itu warisan Wiji Thukul, penyair yang dengan sangat berani 
berhadapan dengan kekuasaan Orde Baru yang sedang kalap kala itu. 
Wiji Thukul seorang penyair sederhana yang kurus lusuh, namun 
mempunyai kecintaan yang besar pada rakyat kecil. Dia berjuang 
bersama mahasiswa, aktifvis, dan buruh untuk merebut kemerdekaan di 
tanah air sendiri. Melalui gerakan dan puisi dia melawan lantang 
kekuasaan. Puisi-puisinya mengilhami dan membangkitkan semangat 
perlawanan pemuda, mahasiswa, dan buruh untuk menumbangkan kekuasaan 
yang sewenang-wenang dan mengembalikan pada bangsa dan rakyatnya. 


Kegiatan menulis dan berkesenian BMI di Hongkong, bekerja sama 
dengan buruh migran dari negara-negara lain dan organisasi buruh 
setempat, merupakan perjuangan untuk menjunjung harkat dan martabat 
kemanusiaannya. Bukan sekadar untuk mengungkapkan uneg-uneg atau 
hanya bergumam. Sebab, harkat-martabat kemanusiaan wajib dibela dan 
dijunjung dalam pekerjaan apa pun. Melalui sastra dan seni BMI bisa 
berjuang dan memberikan sumbangan bagi usaha memanusiakan manusia 
dan diri sendiri. Melalui aktivitas dan eksistensi sebagai manusia 
utuh itu buruh migran akan tampil dengan wajah lebih berseri. 
(Telah dimuat di Koran SUARA- Hong Kong). 


Sumber: Mega Vristian:

#Sastra Pembebasan#BMI Hong Kong Berseri lewat Sastra dan Seni  www.nable.com

Komentar

Foto Dieqy Hasbi Widhana

sukses selalu....

sukses selalu....

it always comes last regret

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler