Skip to Content

Cirebon Butuh 5.000 Guru Bahasa Cerbon

Foto Hikmat

Cirebon membutuhkan sedikitnya 5.000 orang guru untuk memenuhi ketersediaan guru bidang studi bahasa Cirebon. Guru bahasa Cirebon saat ini tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Umumnya mereka guru bidang studi lain yang dipaksakan mengajar bahasa Cirebon.

Ketua Lembaga Bahasa Sastra Cirebon (LBSC) Nurdin M. Noer menyampaikan hal itu usai pelaksanaan sarasehan pra kongres bahasa dan sastra Cirebon di Hotel Prima Cirebon. Acara ini juga diisi dengan peluncuran buku sastra daerah "Jangjawaokan" dan "Cetrok Bekasi".

Nurdin mengatakan, ketersediaan guru bahasa Cirebon selama ini dipenuhi dengan memberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) bahasa Cirbeon untuk guru-guru dari tingkat SD-SMA. Setiap tahun pelatihan diikuti 100 orang guru. Itu artinya, jika saat ini Cirebon perlu 5.000 orang guru, diperlukan waktu 50 tahun untuk memenuhi.

Sebagai Ketua LBSC kata Nurdin, ia bersama sejumlah seniman budayawan dan ahli bahasa dan sastra Cirebon juga para tokoh masyarakat meminta pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Permintaan itu, kata dia, sudah mendapat "lampu hijau" dari pemerintah provinsi (Pemprov) Jabar melalui Dinas Pariwisata dan kebudayaan (Disparbud) Jabar untuk mendorong Universitas Sunan Gunung Djati (Unswagati) Cirebon untuk membuka program studi bahasa dan sastra Cirebon.

Dengan begitu, lanjut dia, diharapkan ketersediaan guru bahasa Cirebon akan segera terpenuhi. "Kalau hanya melalui pelatihan, lama sekali. Padahal kebutuhannya sudah sangat mendesak," demikian Nurdin.

Menyikapi hal itu, Guru Besar Unswagati Cirebon, Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Pd mengatakan, Unswagati terus mengkaji permintaan tersebut dengan cermat. Jangan sampai kebijakan pemerintah berbenturan dengan kebijakan pemerintah yang lain. Walaupun kebutuhan tersebut harus segera ditindaklanjuti.

Pasalnya, kata Abdul Rozak, peraturan pemerintah untuk membuka prodi baru itu tidak muda. Bukan hanya persyaratan anggaran dan sarana prasarana fisik, tetapi juga ketersediaan dosen, kurikulum, dan bahan ajar.

Untuk dosen S1 misalnya, disyaratkan lulusan magister dengan kualifikasi dan jumlah tertentu. Demikian pula dengan kurikulum dan materi bahan ajar, terdapat persyaratan-persyaratan tertentu. Termasuk buku-buku dan referensinya. "Jadi, tidak asal membuka. Ada persyaratan-persyaratan yang harus ditempuh termasuk juga perizinannya," demikian Abdul Rozak.

Oleh karena itu, lanjut dia, yang paling memungkinkan dilakukan adalah dengan membuka mata kuliah minor bagi mahasiswa di fakultas sastra. Alternatif ini pun harus diperhitungkan, seberapa besar minat mahasiswa untuk mengambil mata kuliah bahasa Sunda sebagai mata kuliah pilihan (minor).

Pasalnya, mata kuliah bahasa daerah apapun termasuk Cirebon, seringkali tidak menarik mahasiswa. Hal-hal yang bersifat daerah cenderung dipandang kampungan dan tidak bonafid sehingga diperlukan catu upaya tersendiri agar mahasiswa mau mengambil bahasa Sunda sebagai mata kuliah minor.

Caranya, lanjut Abdul Rozak, dengan menyediakan beasiswa sampai lulus dan menyediakan lapangan kerja dengan jaminan PNS. Dengan begitu, kemungkinan besar mahasiswa akan berminat untuk mengambil mata kuliah bahasa Cirebon. "Kalau tidak, wilayah kerjanya kan nanti terbatas. Cuma Ciayumaja Kuning saja," demikian Abdul Rozak.

Dia menegaskan, pemprov Jabar harus merancang terlebih dahulu dengan cermat kebijakan tersebut. Sedikitnya, harus membuat dulu rancangan kebijakan dibukanya prodi atu bahkan fakultas ilmu budaya (FIB) bersama Unswagati dan stakeholder sastra dan bahasa di Cirebon untuk 10 tahun mendatang.


Sumber: pikiran-rakyat.com, Rabu, 05 Desember 2012 13:46 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler