Skip to Content

Dari Pentas Mastodon dan Burung Kondor: "Mas Willy, Aku Pinjam Karyamu"

Foto indra
files/user/762/mastodon-dan-burung-kondor-adegan-1.jpg
Salah satu adegan pementasan teater "Mastodon dan Burung Kondor" karya WS Rendra di Graha Sanusi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/1) malam. (FOTO ANTARA/Agus Bebeng/Koz/Spt/12)

"Mas Willy, aku pinjam karyamu Mastodon dan Burung Kondor untuk menjawab keadaan bangsa Indonesia saat ini. Mas Willy, aku cinta padamu". Ungkapan itu dilontarkankan Ken Zuraida, istri mendiang W.S. Rendra mengawali pertunjukan teater Mastodon dan Burung Kondor di Graha Sanusi Hardjadinata (Aula Unpad), Jln. Dipati Ukur Bandung, Kamis (12/1) malam.

Lagu "Wan Tanah Merah" yang dibawakan Lawe Samagaha dan teman-teman membuka pertunjukan. Artistik panggung dan tata cahaya lampu yang temaram, menambah sendu permainan musik Lawe Samagaha. Lagu "Kuda Putih" sebagai lagu wajib teater Mastodon dan Burung Kondor mengalir begitu saja.

Unsur etnis Sunda dan daerah lain di Indonesia yang dimainkan, ternyata sedikit memengaruhi. Cerita yang ditulis W.S. Renda itu menjadi sedikit banyak ada rasa Indonesianya.

Sejatinya, drama Mastodon dan Burung Kondor ini adalah kisah tirani dan rezim pemerintahan di Amerika Latin. Ken Zuraida sebagai sutradara mampu meramu cerita tersebut menjadi sebuah kisah tentang Indonesia.

"...kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak yang sedih dari buruh tani yang terpacak di atas tanah gembur, namun tidak memberikan kemakmuran bagi penduduknya. Wahai Tanah Airku, alangkah subur lembah-lembahmu, namun alangkah melarat rakyat-rakyatmu. Penderitaan mengalir dalam parit-parit dari wajah rakyatku, mereka mengerjakan usaha, tetapi akan buahnya mereka tidak punya hal memakai apa pun, tidak punya hak memilikinya. Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai, menoleh ke kanan, menoleh ke kiri dalam usaha tak menenti. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah. Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung kondor".

Kalimat panjang di atas merupakan sedikit kutipan adegan percakapan dalam pergelaran drama Mastodon dan Burung Kondor. Sebuah cerita mahakarya yang ditulis W.S. Rendra tahun 1970.

Drama yang diangkat kembali oleh Ken Zuraida setelah 39 tahun terpendam ini, menggambarkan keserakahan dan ketamakan pemimpin yang terjadi di Amerika Latin. Ken bersama para penggawanya yang tergabung dalam Ken Zuraida Project, mencoba mengangkat kembali drama yang menjadi buah bibir masyarakat di era 1973-an itu.

Sang penulis yang dikenal juga dengan sebutan "Si Burung Merak", begitu lugas dan berani menggambarkan kebengisan, kekikiran, ketamakan, dan ambisi pemerintah dalam melakukan pembangunan, sehingga melahirkan suatu pemerintahan yang diktator rela mengorbankan rakyatnya.

Dengan kediktatoran ini pemerintah saat itu disebut mastodon, yang dengan berani menindas rakyatnya sehingga muncul kemarahan dan perlawanan dari para burung kondor. 

 

Gambaran bangsa

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, drama Mastodon dan Burung Kondor sangat relevan dengan kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia, terutama pada rezim Orde Baru. Tidak heran jika usai pementasan yang pertama di Bandung, tepatnya di ITB tahun 1973, drama Mastodon dan Burung Kondor ini dicekal oleh pemerintah hingga pada era demokrasi sekarang.

Terakhir pementasan di Yogyakarta, mendapat pencekalan dari pemerintah karena ceritanya dianggap terlalu kontroversial dan menyinggung pemerintah. Bahkan sebulan setelah pementasan di Istora Senayan Jakarta tahun 1974, terjadi kerusuhan massal atau kenal dengan peristiwa Malari.

Tapi bagaimana dengan pementasan di era demokrasi sekarang ini? Sebelum di Bandung, drama Mastodon dan Burung Kondor dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 10 - 14 Agustus 2011. Cerita yang digarap istri mendiang W.S. Rendra, Ken Zuraida yang didukung Prof. Dr. Ganjar Kurnia (produser), Erik Satrya Wardhana (eksekutif produser), Dr. Trias Nugrahadi, Amir Husin Daulay, Edy Hartini, tim manajemen Ken Zuraida Project serta musik Lawe Samagaha ini, seperti menjawab keadaan bangsa Indonesia kini.

Tidak kurang dari 60 orang terlibat dalam cerita ini, dengan aktor utama Totenk Mahdasi Tatang, Awan Sanwani, Cahyo Harimurti, Joebert G. Mogot, dan Marya Supraba. Mereka mampu menghidupkan semangat gerakan revolusi di kalangan mahasiswa maupun penonton yang memenuhi Aula Unpad. Mereka pun diajak untuk melihat bangsa ini dengan kacamata dan pikiran para penonton.

Ken sangat jeli menangkap perkembangan bangsa ini, terutama pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen. Pun masalah pendidikan, pariwisata, kesenian, kebudayaan, olahraga, keamanan, dan sebagainya. Ken memasukkan hal itu ke dalam pementasan drama. Dalam drama itu, kemajuan ini disebut kemajuan budaya. Benarkah demikian?

Sebab kemajuan budaya yang dicapai pemerintah itu, ternyata menjadikan kebijakan yang salah kaprah dan menghambat kebebasan mahasiswa, seniman budayawan serta ahli pikir bangsa untuk berkreasi membangun bangsa.

Mereka dikekang dan dibungkam oleh kebijakan pemerintah dan aspirasi wakil rakyat (dewan). Sehingga muncul pergolakan dan perlawanan dari mahasiswa mewakili masyarakat yang kecewa pada pemerintah. Mereka melakukan demonstrasi melawan pemerintah dengan pikiran dan intelektualitas yang dimiliki rakyat dan mahasiswa, untuk sebuah revolusi.  

 

Tidak relevan

Di mata Ganjar teater Mastodon dan Burung Kondor ini tidak relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Menurutnya, kalau masih relevan artinya bangsa ini tidak mengalami kemajuan.

Dengan kata lain, tidak ada perbaikan di tatanan kehidupan masyarakat. Walaupun hanya merupakan suatu kebetulan dengan kondisi negara Indonesia, pertunjukan yang dilaksanakan di awal tahun ini diharapkan dapat memberi pencerahan untuk melangkah ke hari-hari berikut dengan lebih baik lagi.

Di luar hal-hal yang mungkin dianggap diilmiah-ilmiahkan, pergelaran Mastodon dan Burung Kondor tetap merupakan peristiwa kesenian. Kalaupun dianggap sebagai suatu hiburan, namun kesenian tersebut sudah melalui proses penahapan, yaitu suatu pengertian.

"Seni memang bisa menjadi hiburan tetapi dalam hubungannya dengan persoalan tadi, seni terutama memberikan pengertian, bukan hiburan. Tetapi karena pengertian mendatangkan kekuatan maka kekuatan bisa menjadi hiburan," ungkap Ganjar mengutip omongan Jose Karotas. (kiki kurnia/"GM")**


klik-galamedia.com, Jumat, 13 Januari 2012

Foto: antarafoto.com, Jumat, 13 Januari 2012 10:30 WIB (1, 2, 3)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler