Skip to Content

"Karna: Empat Monolog", Mencecap Tragedi

Foto Hikmat
files/user/4/karna-empat-monolog.jpg
Karna: Empat Monolog

Lakon Karna yang dikenal dengan nama Adipati Karna, atau sejumlah nama lainnya seperti Radheya, Suryaputra, Basusena, dan Bismantaka dalam wiracarita Mahabharata menjadi berbeda ketika ditafsir ulang Goenawan Mohamad, dalam lakon berjudul Karna: Empat Monolog.

Sebagai penulis naskah dan juga sutradara, GM -sapaan Goenawan Mohamad- bersama Iswadi Pratama selaku ko-sutradara menghadirkan lakon yang dipertunjukkan di teater Salihara, Kamis - Minggu (17-20/11) dengan versi yang lebih membumi. Karna yang dalam versi wayang kulit klasik diceritakan masih bersaudara satu ibu dengan para Pandawa, yang terdiri dari Yudistira, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dalam lakon kali ini, dihadirkan dalam persoalan yang tak kalah peliknya.

Teristimewa pada empat bab monolog yang dibangun dari ingatan Karna, setelah ia tumpas dan gugur dalam perang maha dahsyat Bharatayuda di Kurusetra. Dalam sosok Karna sebagai diingat Radha, perempuan yang menemukan bayi Karna di sungai, setelah di buang Kunthi, ibunya sendiri. Yang emoh mengakui anaknya sendiri dari hasil hubungannya dengan seseorang yang berbeda kasta. Karena dinilai akan menciderai kehormatannya.

Dalam versi klasik, semua orang maklum jika Kunthi, pernah jatuh hati kepada dewa matahari, Surya. Syahdan, ketika Surya menampakkan diri di depannya, Kunthi terpesona. Karena terikat mantra Durvasa, Surya memberinya seorang anak secemerlang dan sekuat ayahnya, walaupun Kunthi sendiri sebenarnya tidak menginginkan anak itu. Tapi, dengan kesaktian Surya, Kunthi tetap tidak ternodai keperawanannya. Maka, lahirlah bayi Karna via telinganya.

Untuk kemudian dihanyutkanlah bayi tak berdosa itu di sebatang sungai, hingga tertemukan perempuan bernama Radha. Sejak saat itu, bayi karna bernama Radheya. Dalam sepengingatan Radha yang dilakoni dengan apik oleh Sita Nursanti, sebagai seorang ibu angkat, dirinya tidak tahu bagaimana caranya mengukur sedih, menimbang nasib anak angkatnya itu.

Tapi yang pasti, sepenceritaan Radha yang bermonolog sekitar 10 menitan itu, Radheya kepadanya pada sebuah kesempatan pernah berkata, bawah dirinya memang tak tahu masa lalunya. Tak tahu masa depan. "Yang aku tahu (aku) mencintai ibu, mencintai Surtikanti, dan mempersiapkan perang ini," ujar Radha setengah meratap dari atas panggung yang dibangun dengan sangat teknis serupa bangunan level berwarna putih.

Dalam pengakuan Radha, Radheya adalah anak yang sangat bisa mengendalikan amarah, dan tidak takut berkelahi dengan siapapun. "Termasuk yang lebih besar darinya." Mulai dari sinilah cerita mengalir dengan lancar, berderap-derap, kemudian sunyi, dan kembali berderak-derak ihwal sosok Karna yang mengakhiri riwayat hidupnya dengan sangat tragis itu.

Memanusiakan diri
Lihatlah, lakon berdurasi 105 menit itu, ketika masuk pada bab Karna sebagai diingat Parashurama, seorang Brahmin pembunuh, yang turut dalam pertikaian antar-kasta di sepanjang sungai Narmada. Kemudian Karna sebagai diingat Kunthi, dan sebagai pemungkas bab Karna sebagai yang berbicara kepada Surtikanti, dalam sepucuk surat terakhirnya sebelum pertempuran yang sohor itu.

Dalam bahasa sederhana, dalam Karna: Empat Monolog, GM dari awal memang sengaja melepaskan diri dari tafsir yang sudah mapan ihwal sosok Karna, yang gugur di Kurusetra. Dia dengan tafsir barunya, menyajikan Karna sebagai sosok yang sengaja disisihkan hanya lantaran perpedaan kasta. Yang kemudian, menempa dirinya sendiri, sebagaimana adagium lawas yang menitahkan; jika orang-orang besar dilahirkan oleh dirinya sendiri. Sebelum menjelma tokoh yang kontroversial karena berpihak pada Kurawa, dari pada berpihak pada Pandawa, meski beribu sama; Kunthi.

Kunthi pun -yang dilakoni dengan luar biasa oleh aktris senior Niniek L.Karim, tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya mampu meratapi keputusannya dulu, membuang anak sulungnya sendiri, hanya semata-mata sebuah kata bernama: kehormatan. Demikian halnya dengan Parashurama (Whani Darmawan). Karena Karna, yang dimainkan Sitok Srengenge dengan tak kalah apiknya itu, telah menetapkan hatinya untuk berada di sisi Kurawa, karena lebih memanusiakan dirinya, dari pada Pandawa yang jumawa itu. Serta memilih tumpas di medan laga, dengan cara yang paling terhormat, sekaligus tragis, karena binasa di tangan adiknya sendiri, Arjuna.

Demikianlah, lakon Karna: Empat Monolog yang secara artistik pemanggungan sudah menyajikan pertunjukan tersendiri itu dipentaskan. Dalam general rehearsal (GR), Rabu (16/11) malam, Jay Subiakto sebagai pengarah artistik, Arif "Aip" Susanto dan Toni Prabowo (pengarah musik), Taba Sanchabactiar (perancang video), Citra Subiakto sebagai perancang kostum yang menghadirkan pakaian tradisi Tanimbar, Maluku, dan semua pendukung pementasan, termasuk Putri Ayudya sebagai Surtikanti, menghadirkan tragedi Karna dalam cira rasa yang berbeda. Yang lebih dekat dengan persoalan keseharian kita, yang sejatinya juga akrab dan dekat dengan tragedi.


Sumber: suaramerdeka.com, 17 November 2011 13:08 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler