Skip to Content

KITA JUMPA

Foto SIHALOHOLISTICK

F. RAHARDI penyair dilarang berpentas membawakan kumpulan sajak “Catatan Harian Sang Koruptor” di TIM pekan lalu menjadi perhatian banyak orang. Kamis siang misalnya, sehari setelah hari pelarangan, di kantornya nampak tiga orang wartawan merubung Rahardi. Segala macam ditanya. Hingga sampai rokok kegemarannya, tak luput dari pertanyaan wartawan. “Padahal saya ini orang biasa”, ujarnya sambil tertawa sendiri.

Lelaki kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 36 tahun lalu, rupanya type manusia yang banyak humor. Belum lagi wajahnya yang senantiasa tersenyum, membuat orang kerasan berbincang dengannya. Tetapi, sesekali bicaranya akan terdengar sinis, apalagi berbincang mengenai kehidupan birokrasi, khususnya kecenderungan korupsi misalnya.

Ketika usianya baru berusia 20 tahun, seniman yang satu ini ternyata sudah menjabat sebagai kepala SD di sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah. Bahkan, semasa duduk di bangku SMA, yaitu dalam usia 17 tahun, ia sudah tercatat sebagai pegawai negeri di desa kelahirannya.

Tetapi, karena tidak betah dengan “tetek bengek” dalam soal penerimaan pegawai, jabatan kepala SD itu ia tinggalkan, lalu hijrah ke Jakarta. Sekarang, bekerja sebagai wakil pimpinan redaksi majalah pertanian Trubus.

“Tidak ada apa-apanya . . .”, begitu komentarnya tentang isi sajak “Catatan Harian Sang Koruptor” kepada wartawan siang itu. Itu juga soalnya, Rahardi menjadi heran. Lagi pula, alasan pelarangan baca sajak tersebut, tidak sepenuhnya diketahui.

Sebab kalau dikatakan menyinggung agama, bulan Nopember tahun lalu sajak-sajak tersebut telah dibacakan di hadapan teolog-teolog. Komentar agamawan yang hadir kala itu, menurutnya, cuma tertawa terkekeh-kekeh saja.

Kumpulan sajak tersebut, bila diamati, memang penuh adegan komis. Sangat berbeda dengan sajak-sajak Rendra, yang penuh dengan semangat heroik, misalnya. Meski ada larangan berpentas di Jakarta, menurut Rahardi, ia masih ada rencana berpentas di kota Bandung. “Rencana ini sudah lama diusahakan, jauh sebelum ada larangan di Jakarta”, katanya sambil terus menyedot rokok cerutu sebesar jempol kaki orang dewasa itu.

Poster Diambil

BERCERITA mengenai dilarangnya ia baca sajak tanggal 22 Januari di TIM itu sebenarnya ia sudah menduga. Ketika teman-temannya menempelkan poster pembacaan sajak tersebut, petugas selalu meminta poster. Jadi selama tiga tahap penempelan poster, selama tiga tahap itu pula petugas selalu meminta poster. “Hitung-hitung poster pertunjukan 12 lembar di tangan petugas”, katanya.

Dan dengan kejadian itu, Rahardi mengaku tidak merasa rugi. Malah sebaliknya, sajak yang telah dibukukan itu, semakin dicari-cari orang. Kamis siang, seperti disaksikan “SHM”, di sebuah toko buku banyak pengunjung membeli kumpulan sajak tersebut, dan banyak pula yang tidak kebagian.

Melihat gelagat “aneh” dalam business penjualan sajak itu, segera penjaga toko mengorder kembali kepada penerbit. “Tunggu besoklah, sedang kami order”, ujar penjaga toko buku kepada sejumlah pembeli yang tidak kebagian. (TH/J-8)

Sumber : SH – 26/1/86

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler