Skip to Content

Komunitas SPS Ingin Bangkitkan Sastra di DIY

Foto indra

Perkembangan sastra di Jogja sejak beberapa tahun belakangan mengalami perkembangan cukup signifikan seiring dengan banyaknya pertunjukkan sastra yang dilakukan berbagai komunitas.

Salah satu pionir pertunjukkan sastra adalah Studio Pertunjukkan Sastra (SPS) Jogja. Komunitas yang dibentuk pada 2000 silam dan mulai aktif melakukan pertunjukkan pembacaan sastra puisi pada 2005 ini adalah salah satu komunitas sastra pertama di Jogja yang memberikan ruang bagi seniman maupun masyarakat luas untuk membaca puisi.

Sejak kemunculan SPS tersebut, sejumlah komunitas sastra lain ikut menyemarakkan di antaranya Komunitas Gubuk Indonesia, Paguyuban Sastrawan Mataram, Mari Membaca Puisi Indonesia, Sastra Bulan Purnama dan PKKH UGM.

Ketua SPS Hari Leo menuturkan salah satu alasan dia membentuk SPS lantaran dunia sastra di Jogja mengalami mati suri terutama pada awal 2000-2005. “Kegiatan sastra di Jogja nyaris tidak ditemui,” katanya kepada Harian Jogja belum lama ini.

Padahal, lanjutnya, Kota Gudeg merupakan gudang seniman sastra.

“Sebut saja Umar Kayam, Seno Gumira Ajidarma, Korrie Layun Rampan adalah sastrawan yang mempunyai nama besar yang pernah meramaikan dunia sastra di Jogja,” ungkap pria berkacamata itu.

Alumnus sekolah film Tri Tunggal Surabaya 1985 itu melanjutkan salah satu faktor yang mendasari minimnya intensitas pertunjukan sastra pada waktu itu karena kesenian lain seperti musik, teater, sangat mendominasi dibanding dengan pembacaan puisi.

Di satu sisi, pada waktu itu masing-masing kesenian cenderung berjalan sendiri-sendiri. Namun belakangan ini ia melihat kesenian lain itu bisa bersinergi dengan dunia puisi. Misalnya, kata dia, belum lama ini ada salah satu mahasiswa ISI yang berkolaborasi dengan musik orkestra untuk pertunjukan pembacaan puisi.

 

Kebal

Sejak awal kemunculan SPS di Jogja, banyak seniman sastra yang mencibir pertunjukan mereka. Pasalnya, mereka mengkolaborasikan antara puisi dengan musik. Padahal pandangan yang beredar selama ini puisi adalah bahasa teks sehingga puisi harus dibaca tanpa memasukkan unsur lain seperti musik.

“Pandangan seniman puisi itu memang mendapatkan kritik pada awal karena keluar dari pakem yang sebenarnya,” ujarnya.

Hanya, kata Hari, langkah itu sengaja dilakukan untuk memberi kemasan yang berbeda pada pembacaan puisi yang selama ini dipertunjukan. Terlebih masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang tidak suka membaca.

Sejak Agustus 2005, sampai detik ini SPS telah melewati 83 edisi pertunjukan. Hari Leo berharap SPS terus eksis hingga  ia merasa tubuhnya tidak kuat lagi menggelar pertunjukkan.


solopos.com, Rabu, 15 Agustus 2012 11:15 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler