Skip to Content

Membaca Sejarah Lewat Karya Sastra

Foto indra
files/user/762/aku-diponegoro.jpg
aku-diponegoro.jpg

Buku Rumpa’na Bone: Keruntuhan Kerajaan Bone karya Andi Makmur Makka adalah satu penanda bagi antusiasme penerbitan buku sastra sejarah di Tanah Air saat ini. Para pencinta buku dapat dengan mudah menemukan novel-novel yang berlatar periode kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa, seperti kerajaan/dinasti Singasari, Majapahit, Demak, Mataram.

Dua buku lain yang juga meramaikan penerbitan karya-karya sastra sejarah adalah buku Aku Diponegoro!:Tiga Naskah Tuturan Dramatik (2015) karya budayawan Landung Simatupang dan buku kumpulan cerpen Iksaka Banu yang berjudul Semua untuk Hindia (2014).

Pusat penceritaan Aku Diponegoro! pada perjuangan Pangeran Diponegoro. Bahan penulisan diambil dari buku karya Dr Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, dan otobiografi Diponegoro, Babad Diponegoro yang disusun oleh Diponegoro pada awal pengasingannya di Manado (1931-1932).

Buku Aku Diponegoro! terdiri dari tiga naskah yang pernah dituturkan oleh Landung Simatupang dalam tiga kali pementasan. Pementasan dilakukan di tiga tempat yang memiliki makna historis dan menjadi saksi bisu perjuangan Diponegoro. Yang pertama di Karesidenan Magelang (2013), lalu di Tegalrejo, Yogyakarta (2014), dan terakhir di Museum Sejarah Jakarta, tempat Diponegoro pernah ditahan (2014). Pembacaan drama Diponegoro secara lengkap dari ketiga naskah tuturan dilakukan di Bentara Budaya Jakarta (2014).

Hal yang istimewa dari buku ini, menurut Peter Carey, sejarawan yang mendalami sosok Diponegoro puluhan tahun, tidak saja memberi inspirasi bagi aktor lain dalam menuturkan hidup Diponegoro. Buku ini juga memberikan sumber daya kepada sejarawan untuk mencari cara atau metode baru memahami dinamika masyarakat Jawa yang khas.

Bagi publik, naskah ini membantu mengantar kepada pemahaman akan pergulatan batin Sang Pangeran, yang menjadikan perjuangannya melawan penjajah sebagai jalan penyucian diri. Juga bagaimana ia meratapi kenyataan bahwa lawan yang diperanginya bukan hanya bangsa asing tetapi juga bangsa sendiri yang memilih berpihak kepada pemerintah kolonial.

Buku fiksi lain yang juga mengangkat tema sejarah adalah kumpulan cerpen karya Iksaka Banu yang berjudul Semua untuk Hindia (Kepustakaan Populer Gramedia,2014). Ada 13 cerita pendek, yang semuanya berlatar belakang situasi era kolonialisme Hindia Belanda. Tema kolonial ini jarang diangkat oleh penulis Indonesia modern, meskipun Iksaka Banu bukan penulis yang pertama kali mengeksplorasi seluk-beluk masyarakat kolonial dalam karya fiksi.

Dalam pengantar buku ini, sastrawan Nirwan Dewanto mencatat bahwa latar historis yang disajikan dalam ketiga belas cerita pendek tersebut merupakan babak-babak penting dalam historiografi Hindia Timur. Misalnya kisah berlatar pelayaran Cornelis de Houtman ke Kepulauan Nusantara (1596); pemberontakan Untung Suropati (awal 1680-an); pemberangkatan Pangeran Diponegoro ke Manado (1830); dan gerakan Ratu Adil di Banten pada 1888.

Melalui tokoh-tokoh fiktifnya, Iksaka Banu berupaya menghadirkan situasi imajinatif pada masa kolonial yang bersandar pada fakta sejarah. Buah kerja kreatif Iksaka yang tekun dan panjang adalah Semua untuk Hindia terpilih sebagai buku prosa terbaik 2014 dan memperoleh Khatulistiwa Literary Award. (YKR/LITBANG KOMPAS)


print.kompas.com, Minggu, 12 Juli 2015

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler