Skip to Content

Mendekatkan Kesenian dengan Ruang Publik

Foto indra
files/user/762/monolog-dehidrasi-dadang-badoet.jpg
Monolog yang diperankan Dadang Badoet dengan judul Dehidrasi dipentaskan di ruang terbuka di sekitar Stasiun Senen Jakarta

Seorang lelaki tua berjalan terbungkuk-bungkuk sambil merintih sengsara. Ia menatap monumen patung para pejuang kemerdekaan di depan stasiun Senen. Ia mengelus monumen itu lalu mengeluarkan harmonica dari balik saku bajunya dan memainkannya.

Rupanya ia merasa menemukan ada mata air disitu. Namun sekejap dia tersadar. "Apakah ini mata air ? Ah kurasa tidak!" dengusnya keras.  Ia menghentakkan kakinya yang berat lalu meninggalkan monumen itu diam membisu.

Itulah penggalan adegan monolog yang diperankan Dadang Badoet dengan judul dehidrasi. Pentas di ruang terbuka itu berlangsung akhir pekan lalu di sekitar Stasiun Senen. Memerankan sosok orantua bungkuk, Dadang berinteraksi dengan benda-benda dan suasana di sekitar stasiun Senen.            

Pentas monolog di ruang terbuka ini menjadi bagian dari kegiatan Invitasi Teater yang diadakan oleh Federasi Teater Indonesia (FTI), 10 Oktober - 1 Desember mendatang. Invitasi Teater ini diadakan untuk menjaring bibit-bibit seniman teater dari seluruh Indonesia. Sistem penjaringan dilakukan di tingkat provinsi di 11 wilayah seleksi, antara lain Padang, Surabaya, Palu, Solo, Medan, Mataram, Makassar, Bandung, Balikpapan, Jakarta, dan lain-lain.

Seleksi akhir akan menjaring 11 kelompok teater terbaik dari 11 wilayah  dan akan dikompetisikan di tingkat nasional. Monolog di ruang public merupakan upaya yang dilakukan FTI untuk mendekatkan tontonan kepada masyarakat. Tantangan bagi seniman adalah bagaimana merespon ruang public menjadi sebuah produk seni yang menyatu dengan geliat situasi setempat.

"Cara ini dilakukan untuk membuka wawasan bagi para seniman bahwa pertunjukan teater tidak harus diadakan di dalam gedung. Masyarakat juga bisa menonton teater tanpa datang ke gedung pertunjukan," kata Zainal Abidin Domba, salah satu juri festival monolog.

Pentas di ruang public sebenarnya merupakan tradisi masyarakat Indonesia. Kita mengenal konsep alun-alun sebagai tempat berkumpul masyarakat dan menggelar tontonan. Pentas di ruang publik juga menjadi bagian dari ritual masyarakat seperti pesta setelah panen, persiapan tanam padi, upacara pernikahan, dan lain-lain.

Penulis dan penyair, Afrizal Malna, mengatakan, meski kesenian merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, namun pada kenyataannya posisi kesenian justru semakin jauh dari kehidupan masyarakatnya.

Dalam kegiatan di ruang publik, produk subkultur kota seperti gelar fashion atau produk iklan lebih banyak dilibatkan, sementara kesenian tersingkir. Ia menjadi jauh dari masyarakatnya.

"Kesenian dan publiknya menjadi jauh karena pemerintah tidak bisa menjembatani," ungkap Afrizal.  Monolog di ruang public merupakan jembatan bagi seni dan masyarakatnya. Subkultur bisa hidup dan diangkat terus karena ada modal dibalik itu.

Festival monolog itu diikuti 22 peserta dari berbagai daerah. Peserta diberi tantangan untuk merespon ruang public seperti stasiun kereta, jembatan, rumah sakit, terminal sebagai ide karyanya. Zuriati, peserta dari Padang mencoba mengangkat peristiwa yang pernah dialaminya sebagai penderita kanker payudara.

Di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Zuriati mencoba menyelami kembali masa-masa ia melewati masa pengobatan yang menekan psikologisnya. Ruang public merupakan laboratorium yang bisa dimanfaatkan seniman untuk mengeksplorasi ide.

Dalam menciptakan karya, para seniman sudah seharusnya turun langsung ke lapangan untuk menyelami geliat kehidupan karena disitulah terjadi pergumulan antara manusia dengan segala problematikanya.


oase.kompas.com, Senin, 29 Oktober 2012 18:33 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler