Skip to Content

MUTU KARYA SASTRA SUMATERA BARAT 30 TAHUN TERAKHIR DIPERTANYAKAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Sastrawan Sumatera Barat Darman Moenir kembali mempertanyakan mutu karya sastra Sumatera Barat 30 tahun terakhir. Sepanjang 30 tahun itu, menurut Darman Moenir, karya-karya sastra yang terbit di Sumatera Barat “tidak ada” yang bermutu

Pernyataan Darman Moenir itu disampaikannya dalam kegiatan Dialog Sastra bertajuk “Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat” yang digelar UPTD Taman Budaya Sumatera Barat, Kamis (10/10), di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Sumatera Barat di Padang. Diskusi itu dihadiri kalangan sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, pengamat sastra, dan sejumlah penulis muda.

Apa yang disampaikan Darman Moenir itu, sudah pernah dipolemikkan di salah satu koran harian terbitan Padang pada tahun 2011 silam. Di koran itu, tercatat sepuluh penulis merespon esai yang ditulis Darman Moenir, yaitu Devy Kurnia Alamsyah, Sudarmoko, Elly Delfia, Muhammad Subhan, Nelson Alwi, Heru Joni Putra, Romi Zarman, Esha Tegar Putra, dan Andika Dinata. Para perespon terdiri dari kalangan akademisi, kritikus, pengarang, dan pengamat sastra.

Walau begitu, dalam dialog sastra di Taman Budaya Sumatera Barat dengan narasumber Darman Moenir (Sastrawan), Romi Zarman (Kritikus), Zelfeni Wimra (Pengarang), dan moderator Nasrul Azwar, Darman Moenir tidak sedikit pun membahas apa standarisasi mutu yang dimaksud dan karya sastra siapa yang dianggapnya tidak bermutu itu. Darman Moenir “menyapu rata” semua karya sastra (khususnya novel) yang dihasilkan penulis/pengarang Sumatera Barat kurun 30 tahun terakhir tidak ada yang bermutu.

“Saya tahu dan membaca sejumlah novel pengarang dari Sumatera Barat yang terbit 30 tahun terakhir, tetapi itulah, maaf, mutu novel-novel itu pantas dipertanyakan,” kata Darman Moenir yang pada tahun 1980 novelnya berjudul “Bako” memenangkan Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Pernyataan Darman Moenir itu mengundang reaksi sejumlah penanggap, di antaranya Hermawan (akademisi). Hermawan meminta para narasumber untuk mendefinisikan “mutu” yang menjadi tajuk diskusi dan apa standarisasi mutu yang dimaksud. “Apa seperti ada angka-angka nya begitu? Coba ini kita dudukkan dulu,” tanya Hermawan. Namun hingga dialog berakhir, tak seorang pun di antara narasumber, termasuk Darman Moenir yang memberikan jawaban memuaskan soal standarisasi karya sastra yang “bermutu” itu.

Penyair Senior Sumatera Barat Rusli Marzuki Saria turut memberikan pandangannya. Menurutnya, budaya kritik sastra di Sumatera Barat belum tumbuh begitu baik. Karya sastra yang terbit nyaris tidak diomongkan. “Selama ini nyaris tidak ada diskusi sastra di Taman Budaya Sumatera Barat. Karya sastra Sumatera Barat tumbuh tanpa kritik,” ujarnya.

Irzen Hawer, salah seorang pengarang novel asal Kota Padangpanjang pada kesempatan itu juga menyatakan kurang sependapatnya dengan apa yang disampaikan Darman Moenir. Menurutnya, kerja kepengarangan dan kerja kritik dua hal yang berbeda. “Sebagai pengarang tugasnya telah selesai, menghasilkan karya sastra. Kemudian, para kritikuslah yang menentukan kebermutuan karya sastra itu. Tapi sayangnya, kita belum melihat kritikus Sumatera Barat mengkritisi substansi karya sastra yang terbit selama ini,” paparnya.

Alizar Tanjung, seorang penyair muda Sumatera Barat punya pandangan lain. Menurutnya, agar jelas bermutu-tidaknya karya sastra Sumatera Barat, harus ada lembaga memfasilitasi diskusi buku dengan mengundang pihak-pihak yang berkompeten membahas mutu karya sastra tersebut. Dia mengusulkan Taman Budaya Sumatera Barat mengagendakan diskusi buku, khusus untuk buku-buku yang terbit dari tangan pengarang Sumatera Barat.

“Pihak penyelenggara harus membeli buku itu, dibagikan kepada peserta diskusi, dan diberikan waktu untuk membacanya, lalu dibahas isinya di kesempatan lain secara bersama-sama. Ini tawaran saya,” kata Alizar Tanjung yang bergiat di Komunitas Rumah Kayu Padang.

Sementara itu, Muhammad Subhan, pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang juga berbagi pendapat pada kesempatan itu mengatakan, walau Sastrawan Darman Moenir tidak memberikan apresiasi positif terhadap perkembangan karya sastra Sumatera Barat 30 tahun terakhir, dia berharap harus ada apresiasi terhadap karya-karya yang lahir dan terbit itu.

“Suka tidak suka, sepakat tidak sepakat, saya kira kita tetap harus memberikan apresiasi kepada karya sastra yang terbit di Sumatera Barat kurun waktu 30 tahun terakhir itu,” ujarnya.

Soal kebermutuan karya sastra, menurut Muhammad Subhan, lebih diserahkannya kepada pembaca (termasuk kritikus). Katanya, pembaca adalah hakim yang menentukan bermutu-tidaknya karya sastra.

“Saya kira, sastra itu bersifat multitafsir, siapa pun boleh menafsirkannya. Tidak ada tafsir tunggal dalam memahami karya sastra. Dan, lebih jauh dari itu, pembaca kita hari ini sudah cukup cerdas, tidak bisa didekte, dan hak mereka untuk menentukan, membaca, dan menilai mutu isi buku yang dibacanya,” tambah Muhammad Subhan.

Warisan Orde Baru

Sementara itu, Romi Zarman yang mempresentasikan makalahnya berjudul “Pengaruh dan Dampak atas Standarisasi Orde Baru dalam Arena Sastra di Sumatera Barat pada Era Reformasi” mengungkapkan, pernyataan Darman Moenir tentang 30 tahun terakhir tidak ada karya sastra yang bermutu berdasarkan berhasil-tidaknya pengarang Sumatera Barat dalam “menaklukkan” Jakarta sebagai pusat dalam sastra nasional.

“Mereka yang karya-karyanya belum menembus Horison atau Kompas, Dewan Kesenian Jakarta atau Taman Ismail Marzuki, dipandang sebagai pengarang kelas tiga dan belum berhak disebut sastrawan. Begitu yang saya tangkap dari pernyataan Darman Moenir,” kata Romi Zarman.

Menurutnya, standarisasi Orde Baru dalam arena sastra di Sumatera Barat telah berhasil membangun sistem yang bersifat sentralistik dan menghendaki keseragaman demi menjaga kekuasan Orde Baru agar tetap berdiri kokoh dan daya tahan lama. Dia menyebut, beberapa sastrawan Sumatera Barat, seperti A.A. Navis dan Darman Moenir berperan sebagai agen Orde Baru itu.

“Meskipun kemudian suatu apologi bermunculan di Sumatera Barat bahwa standarisasi yang bersifat sentralistik itu bertujuan memotivasi pengarang muda dalam berkarya, tetapi nyatanya standarisasi itu telah membuat jatuhnya korban diskriminasi dari pihak yang hendak masuk ke arena yang disebut sastra nasional itu,” paparnya.

Zelfeni Wimra, narasumber yang dalam makalahnya berjudul “Posisi Komunitas dalam Meningkatkan Mutu Karya Sastra di Sumatera Barat” mengatakan, mendekati mutu sastra dengan dugaan-dugaan, sentimen pribadi semata akan melemahkan kesimpulan yang dicapai. “Ketika Darman Moenir menganggap pantas mempertanyakan mutu karya sastra di Sumatera Barat selama 30 tahun terakhir, tentu menggunakan alat ukur tersendiri yang lebih tepat ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan,” ujarnya.

Tentang bagaimana posisi komunitas sastra dalam meningkatkan mutu karya sastra, menurut Zelfeni Wimra, komunitas sastra yang ada di Sumatera Barat lebih berperan pada pergerakan proses tulis-menulis sastra secara ideologis. “Yang pasti meningkat adalah mutu motivasi para peminat tulis-menulis sastra. Pematangan semangat penulis, bahwa menulis itu penting, menulis itu ciri orang berbudaya tinggi, dan sebagainya,” tambah Zelfeni Wimra yang tahun ini buku kumpulan cerpennya Yang Menunggu dengan Payung masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2013.

Sampai dialog sastra itu berakhir pukul 12.00 WIB, tidak ada kesimpulan yang memuaskan para peserta diskusi yang berjumlah 30an orang yang datang dari berbagai kota di Sumatera Barat. Dan, menyoal “kebermutuan” karya sastra Sumatera Barat pun terkesan sebatas retorika dan tidak menyentuh pada substansi persoalan.

Sumber: DAKWATUNA.com

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler