Skip to Content

PERTAMA KALI TERJADI: 5 WTS BACA SAJAK DI TIM

Foto SIHALOHOLISTICK

JAKARTA, (Suara Karya)

Lima orang WTS (Wanita Tuna Susila) dari berbagai lokasi pelacuran di Jakarta akan membacakan sajak berjudul “Soempah WTS” karya penyair Floribertus Rahardi, di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki Jakarta. Peristiwa yang pertama kali terjadi di Indonesia ini akan berlangsung Senin malam 30 Juli. Sajak yang akan dibacakan merupakan petikan dari buku kumpulan sajak karya F. Rahardi “Soempah WTS” yang baru diterbitkan.

Dalam jumpa pers dengan wartawan ibukota kemarin siang di TIM, F. Rahardi yang wartawan merangkap Wakil Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab Majalah “Trubus” (majalah pertanian dan pedesaan), setiap WTS yang akan membacakan sajak itu diberi honor sebesar Rp 10.000,- dan mereka berlima harus dijemput  dan diantar pulang ke lokalisasi masing-masing.

Untuk membujuk mereka mau membacakan sajak tersebut, F. Rahardi terpaksa mengeluarkan biaya pendekatan yang jauh lebih banyak daripada berkencan dengan mereka di atas ranjang. “Selain mereka takut kepada germonya, mereka juga biasanya tak mau diajak ke luar oleh tamu yang pernah menidurinya. Setelah berkali-kali datang ke tempat mereka dan mengajaknya ngobrol sambil mentraktir minum, makan dan rokok secara intim, barulah saya berhasil membujuk mereka datang ke TIM untuk membacakan sajak,” tuturnya.

Pembacaan sajak ini tak memerlukan latihan khusus, karena mereka akan membacakan sajak seperti mereka membacakan Soempah Pemoeda saja, 1 orang membaca dan lainnya mengiringi. Sebelum pembacaan sajak oleh para WTS ini, lebih dahulu diadakan pembacaan sajak F. Rahardi yang pernah dimuat di pelbagai media massa oleh penyair Leon Agusta. Kemudian diikuti dengan pembacaan sajak yang bertemakan dunia tanaman dan binatang karya F. Rahardi juga oleh anak-anak Teater Adinda, lalu pembacaan sajak-sajak dari buku “Soempah WTS” oleh F. Rahardi sendiri.

Sesudah itu diadakan omong-omong santai antara hadirin dengan F. Rahardi dengan dipimpin oleh Hamid Jabbar.

Sensasi murahan

F. Rahardi secara tegas menolak anggapan acara baca sajak oleh para WTS ini merupakan sensasi murahan. “Ini merupakan kebulatan tekat para WTS sendiri,” ujarnya.

Ia juga menolak anggapan orang merasa kasihan melihat WTS disuruh membacakan sajak di depan umum. “Kalau kita merasa kasihan dengan mereka, kita harus sering mendatangi mereka dan memberi uang. Setelah diberi uang, mereka lalu menyerahkan dirinya secara wajar. Justru kalau kita memberinya uang lantas kita pergi, si WTS merasa tersinggung! Melibatkan para WTS membaca sajak di TIM memang sudah semestinya, karena mereka memang dibayar untuk itu,” kilahnya lagi.

Selanjutnya Rahardi menilai adanya razia para WTS dan membawa mereka ke tempat rahabilitasi justru memberikan kesempatan para calo WTS mencari bibit-bibit baru di daerah dan memaksanya mengisi kekosongan di tempat operasi liar itu.

“Sebaiknya para WTS ditertibkan,” demikian usulnya, “tempat operasi liar itu seperti di sekitar Monas diberikan lampu penerangan yang cukup kuat dan diawasi. Tempat penampungan kerja bagi mereka yang telah diberikan keterampilan harus ada, sebab sampai kini masyarakat tetap enggan menerima bekas WTS bekerja dengan bekal keterampilan yang mereka punyai, karena masyarakat tetap menilainya sebagai “sampah masyarakat”. Tanpa tempat bekerja ini mereka terpaksa akan kembali menjalankan profesi semula lagi”.

Mengenai adanya penyakit kelamin akibat hubungan dengan WTS, Rahardi menilai penyakit ini justru diperoleh dari tempat operasi pelacur yang tidak resmi. Ia menilai para WTS di lokalisasi pelacuran justru bebas dari penyakit ini karena selalu diawasi oleh dokter. (F-4)

Sumber : Suara Karya, 24 Juli 1984

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler