Skip to Content

PUISI F. RAHARDI; SEBUAH KRITIK

Foto SIHALOHOLISTICK

Seorang penyair muda yang produktif, F. Rahardi memang cukup menarik untuk disimak kreativitasnya (Suara Merdeka, 27 Desember 1991). Telah lahir beberapa buku kumpulan puisinya yang mengalir begitu cepatnya seperti Catatan Harian Seorang Koruptor, Silsilah Garong, dan Tuyul.

Sebagai penyair, F. Rahardi boleh dibilang kontroversial. Dengan memanfaatkan bahasa percakapan keseharian, F. Rahardi menyuguhkan puisi-puisi yang sarat kritik sosial. Bisa saja kita menduga, penggunaan bahasa keseharian yang encer itu sengaja dia ciptakan untuk mencapai pemahaman orang banyak. Akan tetapi, jelas bahwa pemakaian bahasa keseharian itu telah membentuk arus kesadaran penciptaan puisi-puisinya, sebagai keseimbangan sebatas tema yang diangkat dari realitas keseharian.

Harus diakui, puisi-puisi F. Rahardi terasa komunikatif, gampang ditangkap maknanya, lantaran berbicara secara langsung kepada pembacanya. Kesadaran akan pergeseran persoalan zaman yang kian kompleks belakangan ini telah menyeret obsesi F. Rahardi untuk mengembangkan tema-tema puisi yang digarapnya. Dia berbicara tentang kritik sosial budaya dan politik lewat puisi-puisinya secara encer, dan memberikan daya rangsang perenungan kepada pembaca tentang persoalan-persoalan zaman yang merumit.

Kontra Mitos Chairil

Kreativitas F. Rahardi mengisyaratkan pada pembebasan terhadap mitos agung penciptaan puisi-puisi Chairil Anwar. Sebutlah F. Rahardi sengaja melahirkan kontra mitos terhadap sikap dan visi kepenyairan si penyair binatang jalang. Di tangannya, puisi tak lebih cuma perpanjangan sastra lisan yang mentradisi, senafas dengan obrolan di warung, di gardu ronda, atau di saat  nongkrong di mulut gang bisa bicara apa saja, dengan bahasa keseharian, dan mencipta suasana kekonyolan yang akrab dan menggelitik.

Memang benar bila Rahardi mengakui bahwa puisi itu bukan seni yang muluk-muluk, apalagi agung. Ia cenderung menampakkan persoalan keseharian yang memberengus nurani manusia, dan puisi-puisinya mengapungkannya tanpa memihak. Dia bisa berbicara segala persoalan yang melibatkan manusia sekitarnya, seperti penuturan seorang bocah tak mengenal dosa, naif, polos, dan sesekali menikamkan kritik.

Puisi-puisinya lebih bersifat prosais dan bahkan terkesan menyusupkan sukma banyolan. Dia memiliki sudut pandang yang lain ketika menangkap realitas dan distorsi perilaku sosial budaya manusia. Ada kesan puisi-puisinya menjadi kenes dan nyinyir, tetapi keterlibatannya dengan persoalan kehidupan menawarkan kegelisahan kita kian terasa menyesakkan.

Lewat puisi-puisinya, F. Rahardi bisa bicara apa saja sesuatu peristiwa yang sangat personal, bahkan tentang krisis spiritual manusia. Ia terkesan ingin memudarkan kepekatan puisi yang biasanya sarat metafor dan simbol dengan kekuatan bahasa yang polos, dengan sentilan-sentilan nakal. Dalam puisi-puisi yang mengungkapkan masalah personal manusia, dia masih menyusupkan gurauan-gurauan yang seringkali mengapungkan tokoh antagonis tanpa menghakimi. Eksistensi maling atau pelacur dalam puisi-puisinya bukanlah sosok manusia yang diadili atau layak memperoleh penghukuman, tetapi ditempatkan sebagai suatu bagian komunitas kehidupan yang memiliki pranatanya sendiri.

Betapapun Rahardi telah mengemas kritik sosialnya dengan banyolan nakal, tetapi kehendaknya untuk memberikan suatu gambaran kenyataan secara gamblang sebagaimana prosa, telah mengantarkan penjelasan makna-makna yang ingin dicapainya. Tak ada lagi penafsiran-penafsiran yang membuka pemahaman multidimensi. Rahardi telah mengambil peran terlalu banyak untuk menjadi juru bicara kepincangan-kepincangan sosial budaya.

Mengembalikan Dunia Makna

Titik balik penciptaan puisi-puisi Rahardi telah melawan arus kesadaran penciptaan puisi pada masa-masa sebelumnya, terutama pada keagungan vitalitas daya cipta Chairil Anwar. Dapatkah ini dikatakan sebagai kemerosotan? Dan karenanya, perlu dikembalikan lagi ke proses penciptaan puisi sebagai dunia makna?

Keagungan puisi tentu bukan dipatokkan dari kebesaran tematiknya, kecairan bahasanya, dan keterlibatan yang nyinyir terhadap zamannya semata-mata. Diperlukan pula inovasi bentuk dan pemikiran, kekhasan gaya ucap, dan keorisionalan.

Meskipun akhirnya puisi lahir dalam bahasa prosa, suasana naratif dan bersentuhan langsung dengan batin pembacanya, tetapi toh tidak jatuh sebagai karya yang terkesan vulgar. Ingat puisi-puisi Rendra, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, dan Emha Ainun Nadjib? Terasa sekali bahasa prosa yang digunakan dan suasana naratif yang dibangun tidak memerosotkan puisi sebagai karya murahan. Malah sebaliknya, bahasa prosa dan suasana naratif itu membangun dunia makna yang tak habis sekali baca.

Berbeda halnya dengan puisi-puisi F. Rahardi yang tidak membekaskan makna yang mendalam, dan kering penafsiran. Usai membaca puisi-puisinya, sulit sekali kesadaran dan batin kita meninggalkan dan melupakannya. Akan mudah bagi kita meninggalkan dan melupakannya. Hampir mirip obrolan di warung yang enak dan hangat, tetapi segera dilupakan setelah beralih suasana.

Layaknya puisi-puisi yang baik memang tak terlewat begitu saja dari kesan pemahaman pembacanya. Sekalipun memanfaatkan bahasa keseharian dan disisipi kritik nakal, puisi yang baik akan membentuk dunia baru yang sarat perenungan. Tak mudah terhapus dari kedalaman batin kita.

Eksistensi seorang penyair, tentu bukan ditandai dengan produktivitasnya semata. Namun, lebih mendasar lagi, adakah kreativitas itu sanggup melahirkan maha karya yang dapat mengatasi pergeseran masa?

Akan merisaukan sekali bila proses penciptaan puisi-puisi macam  Rahardi menjadi trend tersendiri. Seyogyanya kita kini mengembalikan puisi sebagai “dunia makna”. (S. Prasetyo Utomo-36)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler