Skip to Content

RADAR PANCA DAHANA RAIH KUNTOWIJOYO AWARDS

Foto SIHALOHOLISTICK

Laporan: kompas.com

SELASA, 25 AGUSTUS 2009 | 21:45 WITA

JAKARTA, TRIBUN — Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari dan mengembangkan budayanya. Namun, ternyata para pejabat kita kerap menafikan bahkan menghancurkan budaya itu.

“Di saat pejabat negara berlaku seperti itu maka masyarakat harus ambil alih peran itu,” kata Radar Panca Dahana, seorang budayawan, setelah menerima Kuntowijoyo Award di Salihara Jakarta, Selasa (25/8). Kemudian, ia mengungkapkan bahwa kita semua adalah unit budaya. Kita bukan unit yang dapat dihitung dengan ekonomi secara matematis. “Kita entitas yang menciptakan realitas kita sendiri. “Kita mesti menerapkannya, bukan sekadar memikirkannya,” ucapnya.

Menurut Prof Dr Komaruddin Hidayat, Ketua Komite Kuntowijoyo Award, sosok Radar dinilai melanjutkan semangat Kuntowijoyo yang sepanjang hidupnya memperjuangkan budaya di negeri ini. Penghargaan ini dilaksanakan tiap tahun yang diberikan kepada ilmuwan, penggiat ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta juga untuk para pekerja seni yang mampu mempersembahkan karya seninya dan memberikan pengaruh pada masyarakat luas serta budaya Indonesia. “Dan tokohnya mampu menginspirasi orang lain,” ucap Komaruddin, yang juga Rektor UIN Syarif Hidayatullah.

Berkat jasa dan perannya dalam bidang budaya, Radar berhak mendapat uang Rp 50 juta. “Semoga anugerah ini mendorong saya untuk terus berkarya,” tekad Radar Panca Dahana.(*)

Negara ini Harus Ditanami Dulu, Diberi Pupuk, Disirami ….

Buat menggambarkan Radhar Panca Dahana, mungkin ungkapan Tjoet Njak Dien cukup tepat: ada di mana-mana, tapi tidak di mana-mana. Radhar menulis (cerpennya dimuat di Kompas waktu ia kelas 6 SD, usia 10), mengedit (sekarang, ia diserahi kelola rubrik Teroka di Kompas), penulis dan pekerja teater (memimpin Teater Kosong), dosen Sosiologi (ia lulusan Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Prancis), cerpenis, penyair, dan terutama, esais. Ia bahkan menulis naskah seri komik Mat Jagungsetiap minggu di Koran Tempo.

Tentu saja wilayah kerjanya adalah seni dan kebudayaan. Tapi, minatnya pada masalah politik, sosial, ekonomi, juga Islam dan masalah keberagamaan, juga mencuat dalam tulisan-tulisannya. Sejak divonis gagal ginjal pada 2001, ginjalnya tinggal 15 % bekerja, ia harus cucidarah dua kali seminggu. Toh, ia makin produktif saja sejak itu. Ada sesuatu yang menggigit sukma saat kita membayangkan relasi maut dan kepenulisan dalam hidup Radhar ini. Dan memang, ketika Madina berbincang-bincang dengan Radhar akhir tahun lalu, pendapat-pendapatnya tentang negara, Islam, dan kehidupan bersama kita sungguh menggigit.

Tahun 2009 baru dimulai. Apa yang harus dilakukan tahun ini agar negara ini bisa menjadi lebih baik?

Bagi saya tahun baru itu tidak ada artinya. Apa bedanya antara 31 Desember dan 1 Januari? Bedanya nama harinya saja. Pembedaan ini kadang menyesatkan membuat kita itu tergelincir, keliru memandang permasalahan. Seolah permasalahan tahun depan itu berat, padahal dari kemarin juga sudah berat. Kita seperti mengatakan,  tahun depan kita akan menghadapi tantangan dengan cara yang lebih baik. Kalau memang tahu cara yang lebih baik, mengapa harus menunggu tahun depan? Kenapa tidak  dari kemarin saja?

Batas waktu itu sering membuat kita terhambat di dalam menjalankan aksi dan reaksi kita. Kita sering menunda –bulan depan saja, atau minggu depan saja. Hal itu membuat kita sebagai bangsa speed-nyarendah. Antisipasi kita terhadap masalah sangat lambat. Kita masih sangat reaktif di dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Tidak hanya dalam persoalan ekonomi yang saat ini melanda kita, tetapi berbagai macam persoalan kebudayaan dan lain-lain.

Dalam persoalan kebudayaan, bagaimana?

Boro-boro reaktif …lamban luar biasa. Persoalan kebudayaan kita ini sudah akut. Tetapi pemerintah kita ini tetap saja tidak perduli. Mereka menganggap kebudayaan itu hal yang bisa di kebelakangkan, bisa dinomorduakan, bahkan nomor-12-kan. Karena kebudayaan output-nya tidak langsung, tidak material dan tidak bisa diukur secara statistik. Itu karena cara berpikir yang tidak strategis, atau tidak cukup visioner. Kita lebih mementingkan hasil yang jangka pendek saja. Sementara hasil kebudayaan baru bisa kita dapatkan dalam jangka waktu yang panjang.

Misalnya dalam mendidik orang, waktu yang dibutuhkan bisa 15 tahun sampai 20 tahun. Setelah itu baru kita tahu hasilnya –anak tersebut jadi atau tidak, jadi kiai atau jadi penjahat. Tapi kita tidak pernah berpikir begitu.

Pemerintah kita berpikir hanya dalam kerangka waktu saat berkuasa. Karena masa berkuasa hanya lima tahun, siapapun yang memerintah merasa selalu dikejar-kejar target untuk berprestasi selama lima tahun itu. Tidak bisa dia bekerja untuk 20 atau 50 tahun lagi. Yang dipentingkan bagaimana orang melihat prestasinya saat ini, agar diingat dan dipilih kembali.

Mereka mengurus negara itu seperti pedagang tempe bacem atau rambutan. Beli seribu, dijual 1200, untung 200 perak. Pokoknya untung hari ini. Padahal, mengelola negara tidak bisa begitu. Rambutan ituharus ditanam dulu, diberikan pupuk, disirami baru beberapa tahun hasilnya bisa dipetik.

Jadi mereka itu mentalnya mental tengkulak. Terima bersih saja dari produsen, pabrik atau petani lalu dijual kembali. Habis perkara. Banyak pejabat kita yang berpikirnya begitu. Pokoknya sekarang: bikin sekarang, dapat hasilnya sekarang, karena saya memerintah sekarang. Sangat pragmatis. Pragmatisme, materialisme, dan empirisme sudah menjadi nyawa dari demokrasi di Indonesia. Sudah mejadi ruhnya demokrasi. Itu yang menurut saya membuat kebudayaan terjerembab.

Bagaimana dengan kebudayaan Islam?

Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang sangat memerhatikan kedalaman dari karakter, kedalaman dari jiwa dari satu bangsa, dari para pemeluknya. Ibadah-ibadahnya –mulai dari sedekah, zakat dan infaq,shalat lima waktu sampai haji–  pendekatan kejiwaannya sangat luar biasa. Itu mencerminkan proses pelestarian atau pengembangan kebudayaan yang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Kita, misalnya, mengajarkan shalat itu dari kecil sekali. Anak umur tujuh tahun boleh ”dipaksa” untuk bershalat, sebelum anak itu menyadari apa manfaatnya. Pokoknya jalankan dulu. Saat mereka bertanya untuk apa mereka shalat? Kita jawab, tunggu sajalah sampai kamu berusia 18 tahun, nanti kamu akan paham. Investasinya jangka panjang.

Di luar negeri, mereka visioner. Lihatlah Rockefeller. Yayasannya memberikan beasiswa kepada orang-orang terbaik di Indonesia pada 1945, saat kita baru merdeka. Hasilnya menjadi keuntungan departemen luar negeri Amerika sekarang. Pertambangan-pertambangan itu tahun 1950-60-an sudah mulai sudah menyerbu kita. Buahnya mereka petik sekarang dengan keuntungan berlipat-lipat.

Kita tidak begitu. Contohnya PLN, yang di mana-mana itu byar pet byar pet. Dulu, mereka tidak memperkirakan akan ada pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan sumberdaya energi yang tinggi.Akibatnya sekarang mereka kewalahan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan energi dari pembangunan yang berjalan pesat. Mereka antisipasinya pendek, tidak jangka panjang. Seharusnya dari dulu kita sudah bangun 20 bendungan. Kalau ada yang tanya, “Kenapa 20, bukankah 10 saja cukup?”  Jawabnya: “Tidak,  kita perlu  20 bendungan, bahkan kalau perlu 40, karena aku bekerja bukan untukmu tapi  untuk anak dan cucumu. Mereka nanti akan kerepotan karena butuh energi yang banyak.”

Cara berbudaya kita tidak serasi dengan apa yang diajarkan Islam yang menanamkan nilai-nilai disiplin untuk tujuan jangka panjang. Masalahnya, ternyata bukan adab modern yang terpengaruh oleh kebudayaanIslam tetapi malah sebaliknya –kebudayaan Islam itu yang terjerembab atau terperosok oleh kebudayaangrasak-grusuk ini. Jadi, orang-orang yang terbiasa dengan tradisi Islam, kultur Islam, baik yang lokalmaupun yang global malah justru sekarang masuk ke dalam jaringan-jaringan atau cara hidup yang sangat pragmatis itu.

Kita ingin mencapai hasil dengan serba cepat. Padahal semua ada prosesnya.  Intinya adalah hargailah waktu, jangan kita mencoba mengalahkan waktu atau membunuh waktu atau memotong waktu. Jangan kitamemotong waktu seperti memotong kue tart, yang terus kita potong-potong. Tidak bisa seperti itu. Itu yang disebut dengan wal ’asyr, itu pelajaran pentingnya.

Tapi bagaimana menggerakkan kebudayaan yang ideal itu?

Masyarakat di negeri ini pada dasarnya hanya sekumpulan domba. Sekumpulan domba ini akan terhelaoleh gembalanya. Apalagi negeri ini ribuan tahun dikelola secara monarkis, absolut, di mana kehendak rakyat itu hampir tidak pernah terakomodasi dan tidak bisa disuarakan.  Itu berlangsung ribuan tahun. Jadi, sekarang tergantung bagaimana kemudian para pemimpinnya bisa menghela itu dengan baik.

Kalau sekarang pemimpinnya melakukan pelecehan seksual, selingkuh, korupsi, manipulasi jabatan dan lain-lain, terus rakyat mau bagaimana? Ya mereka meniru apa yang dilakukan para pemimpinnya. Realitasnya begitu. Rakyat belum berdaya.

Kesannya semua menjadi bergantung pada pemimpin dan tidak demokratis?

Kenyataannya rakyat itu harus dibina. Dan itu terjadi di berbagai negara seperti, katakanlah, di negara-negara berkembang yang saat ini makmur seperti Cina. Mereka berhasil mengatasi persoalan sekarang ini, karena pemimpinnya kuat. Kepemimpinannya kuat dan tegas. Malaysia juga begitu. Mereka hanya menerapkan demokrasi sembunyi-sembunyi.

Sementara kita membayangkan diri kita ini sebagai demokrat tulen. Padahal realitas masyarakatnya tidak. Jadi kita ini dihela oleh ilusi dan berjalan dengan ilusi-ilusi itu. Kita kampanye ke mana-mana seolah Indonesia ini negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. SBY dengan bangga bicara ke mana-mana.

Demokrasi itu tidak hanya bisa diukur karena ada pemilu, karena ada KPU atau ada parpol yang jumlahnya40-an itu. Demokrasi secara substansial itu adalah pemberdayaan  masyarakat, misalnya antara lain di dalam memilih pemimpinnya. Demokrasi itu hanya satu medium. Tapi kalau mediumnya rapuh, akhirnya kita memilih pemimpin-pemimpin yang juga rapuh. Kita memilih pemimpin yang tidak mempunyai track record yang baik, bahkan kita bisa memilih pemimpin yang mempunyai track record hitam kelam. Karena demokrasinya demokrasi etalase, demokrasi salon… Yang penting, rias mukanya.

Penimpin yang baik menurut saya adalah pemimpin yang merangsang masyarakat untuk mandiri atau survive. Sayangnya di negara kita ini tidak demikian. Bagaimana mau mandiri kalau seluruh urusan manusia, dari ujung kepala sampai ujung kaki, diurus oleh negara?

Anda bayangkan, di Amerika, kabinetnya Obama hanya 15 menteri. Kita 33 menteri. Semua diurus oleh negara. Jangan-jangan nanti ada menteri celana dalam, . . .semua diurus. Padahal pada bagian-bagian tertentu masyarakat, negara tidak perlu ikut campur. Misalnya soal agama, urusan kesejahteraan sosial, masyarakat bisa bergerak sendiri.

Dalam pandangan Anda, menurut Islam, campur tangan negara itu juga terbatas?

Kebudayaan Islam melatih umatnya menjadi makhluk yang mandiri, independen, dan  kuat. Itu dicapai berdasarkan disiplin-disiplin keagamaan yang semuanya bersifat personal.

Yang sifatnya kolektif, itu hanya untuk menjaga kekerabatan dan kesosialan. Ajaran pokok Islam itu sebenarnya adalah ritus penyelamatan diri, ritus pembersihan diri, dan ritus penegakan diri. Urusan hubungan dia dengan Tuhan ini tidak bisa diurus oleh negara. Itu diurus oleh diri sendiri. Hubungan saya dengan Tuhan itu tidak bisa diikut campuri oleh orang lain. Karena nantinya di akhirat saya sendiri yang harus mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan,

Tapi sekarang, karena kekuasaan, para petinggi agama ingin mencampurkan keduanya. Akibatnya berulang kali agama terjeblos ke dalam jebakan itu. Para petinggi agama ingin mencampuri urusan keagamaan sampai ketingkatan pribadi, sampai dia melegitimasi keimanan seseorang. Mereka mencap seseorang kafir, sesat atau murtad, padahal itu bukan urusan dia. Pak kyai yang ngomong begitu belum tentu bersih.

Dalam soal keagamaan dan ritus-ritus yang mengiringinya, tidak ada unsur di luar diri seseorang  yang bisa ikut campur. Yang tahu hanya dia sama tuhannya saja. Tidak bisa saya menilai kamu shalatnya jelek, sholatnya salah, tidak khusyu,  kamu kurang beriman, kamu atheis, kamu kafir, kamu menyimpang, kamu fundamentalis….

Tapi bukankah yang sifatnya kolektif juga ada aturannya?

Begitu dia berangkat menjadi kolektif, ada hukum-hukum lain yang bekerja di dalamnya –hukum sosial, baik formal maupun informal, adat, tradisi, tatakrama tradisional, tatakrama internasional.

Pada tingkat kolektif, bekerja unsur-unsur lain selain unsur-unsur agama. Dan begitu seseorang hanya mengandalkan aturan-aturan agama saja, dia menjadi timpang dan  orang melihatnya menjadi suatu yang ekstrem. Dalam sejarah, kebudayaan Islam dalam tingkatan kolektif sangat memerhatikan unsur-unsur lain dalam kehidupan bersama.

Anda melihat ada persoalan dengan sikap umat Islam saat ini dalam hal ‘kehidupan bersama’ ini?

Saya rasa yang harus dikembalikan pada dasarnya adalah karakter yang terbuka atau  inklusif yang diajarkan Islam.

Organisasi-organisasi keagamaan saat ini mau tidak mau harus inklusif, harus terbuka dengan pandangan lain, pemikiran lain, cara hidup lain dan tradisi lain. Organisasi Islam tidak bisa menutup diri. Jadi mau tidak dia mau harus inklusif, kodratnya begitu. Di situlah dimungkinkan organisasi-organisasi Islam memberikan kontribusi kepada perkembangan kehidupan masyarakat secara keseluruhan

Jadi, begitu seorang umat Islam berhubungan dengan orang lain, dia harus bersedia menggunakan standar-standar atau ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakat itu. Tidak peduli dia ada di Pacitan, New York, atau di Naerobi.

Begitu dia masuk ke dalam pergaulan sosial ”sekuler”,  bukan dalam pengertian sempit sekularisme, dia bertindak sebagai makhluk sosial. Dia tidak perlu menonjolkan identitas keagamaannya. Tapi orang akan melihat sendiri bagaimana agama berperan dalam dirinya. Setiap dia bicara, orang bisa melihat bahwa dalam kata-katanya ada Tuhan. Orang juga melihat ada Tuhan dalam setiap tindakannya. Tentu Tuhan yang dia yakini.

Cermin keagamaannya bukan muncul dari kumis, jenggot, atau sorban atau apanya, tapi dari kehadirandirinya sebagai manusia. Agama tercermin dalam cara dia melihat, memandang, bicara, menggerakkan tubuh, menegur orang, berkomunikasi, bersalam. Pada titik itu, dia melaksanakan tugasnya sebagai makhluk sosial yang bekerja dalam  satu sistem yang berisikan banyak orang dengan cara berpikir yang sebenarnya bisa sangat berbeda.

Dia bertarung secara fair, satria, gentle. Kalau bicara soal hukum, dia bicara dengan dasar hukum dan  pengetahuan hukum yang sama. Dia tidak bicara hukum dengan pendekatan saya dan kamu. “Hukum gua, hukum Islam..”

Nanti begitu bicara sastra, sastraku sastra Islam, psikologiku psikologi islam. Jangan ada sentimen-sentimen seperti itu. Kita harus saling menghargai untuk selanjutnya  mencari titik temu yang didasarkan pada satu standar yang sama dan seimbang.

Anda percaya Islam bisa menyumbang pada perkembangan kebudayaan saat ini?

Umat Islam harus merespon perkembangan adab zaman sekarang. Kita jangan tergesa-gesa untuk menerima begitu saja tawaran atau paksaan yang bersifat normatif, etis-evaluatif dari adab zaman. Ada beragam adab yang berkembang: yang didasari oleh cara berpikir yang memuliakan pikiran, yang mengedepankan pemuliaan terhadap tubuh, serta  yang memuliakan hati.

Adab zaman sekarang ini, adalah adab yang memuliakan pikiran. Rajanya adalah pikiran. Itu yang melahirkan apa yang disebut rasionalisme, materialisme, empirisme, dan akhirnya kapitalisme dan demokrasi. Tawarannya sangat kuat, karena dipenetrasikan dengan cara yang luar biasa melalui berbagai macam jalur kebudayaan, termasuk jalur bisnis, politik, seni, dan lain-lain.

Kita saat ini dipaksa menggunakan dan menerapkannya. Padahal, adab itu sering kali tidak serasi dengan realitas kultural kita. Misalnya adab kapitalistik yang materialistik. Adab itu mengizinkan, meminta atau bahkan mewajibkan  orang untuk bisa kaya, sekaya-kayanya, sesukses-suksesnya.

Kita tahu sendiri tidak mungkin semua orang kaya. Kalau ada orang yang kaya pasti ada yang miskin, karena kekayaan itu pasti menyebabkan kemiskinan. Yang namanya bumi cuma satu dan bumi ini tidak berkembang. Jumlah ikan, jumlah pohon mangga, jumlah gunung dari dulu tidak berubah. Jadi pasti, orang menjadi kaya karena dia merebut sumber daya bumi yang membuat sebagian orang tidak kebagian. Kekayaan dalam alam kapitalistik itu secara sistematik dan  secara rasional menciptakan kemiskinan.

Biasanya orang yang mempunyai akses dan fasilitas yang paling kuat akan semakin kaya. Apalagi kalau sudah keturunan pengeran, keturunan raja, keturunan jutawan, mereka akan mengalahkan orang yang dari bawah yang baru aja merangkak.

Menghadapi situasi seperti itu, masyarakat kita yang sangat dipengaruhi oleh Islam,  sebenarnya mempunyai sebuah etos untuk mencukupkan dirinya atas rizki yang dia peroleh. Itu diajarkan oleh Nabi, para sahabat, aulia dan kaum zuhud. Bahkan bagi orang-orang tertentu, apa yang diberikan oleh Allah itu dianggap selalu berlebihan, sehingga apa yang dia dapatkan akan diberikan lagi ke orang lain. Kita tidak usah sampai begitu. Namun yang terpenting, etosnya adalah bukan menjad kaya sekaya-kayanya, tapi berkecukupan saja.

Pada akhirnya kekayaaan, jabatan itu semua hanya sebuah  titipan yang diberikan kepada kita. Tapi kebanyakan orang merasa itu bukan titipan, tapi sebuah piala yang harus diperjuangkan mati-matian,seperti olimpiade. Jabatan menteri, DPR, presiden diposisikan seperti  olimpiade. Mereka akhirnya sikut-sikutan. Karena itulah di negeri ini tidak muncul negarawan. Cara berpikirnya sempit.

Menurut Anda sendiri, mana yang paling tepat: memuliakan pikiran, tubuh, atau hati?

Bagi saya yang terpenting adalah kombinasi yang seimbang atau lebih tepatnya terintegrasi di antara tigakesadaran itu. Kesadaran pikiran, badan, dan kesadaran hati harus menyatu,  jangan terpisah-pisah.

Kalau hanya badan, ya hedonistik. Kalau hanya hati, bisa-bisa menjadi fundamentalis atau ekstrem.

Kalau hanya pikiran, semua kebenaran harus diukur dengan kepala. Tuhan ada atau tidak adanya ditentukan dengan kepala. Dia tidak merasakan sama sekali adanya Tuhan. Padahal bisa saja Tuhan tidak ada dalam kepalanya tapi ada dalam hati. (Warsa Tarsono) *** telah diterbitkan di Majalah No.  Edisi 1A, Februari 2009

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler