Skip to Content

Ragam Wujud Meneguhkan Sastra

Foto indra
files/user/762/glenn-fredly-musikalisasi-radhar-panca-dahana.jpeg
Musikalisasi puisi oleh penyanyi Glenn Fredly. Pembacaan puisi teatrikal "Lalu Aku" karya Radhar Panca Dahana dilakukan dengan pendekatan seni teater dan musikalisasi puisi. (ANTARA/Agus Bebeng)

Sastra berusaha menggapai perhatian masyarakat di tengah melemahnya minat membaca buku serta fenomena arus deras teknologi digital. Kolaborasi menjadi salah satu caranya.

"Saya termasuk melakukan itu. Menyajikan puisi dalam bentuk theatrical," ujar tokoh sastra Radhar Panca Dahana saat ditemui Metrotvnews.com di Jakarta Selatan, Kamis 23 Februari 2017.

Baginya, menghadirkan puisi ke panggung teater termasuk upaya meneguhkan keberadaan sastra. "Kalau kita cuma edarkan buku saja, itu terpuruk, tidak terbeli, dan lain-lain. Dengan cara ini orang mulai menengok," ucap pendiri Perhimpunan Pengarang Indonesia ini.

Istri penyair almarhum WS Rendra, Ken Zuraida, turut mengakuinya. Menurut Ken, sudah seharusnya sastrawan memberikan tawaran lain kepada masyarakat untuk menikmati karyanya.

"Ketika dipadukan, bisa memiliki daya tawar lebih," ujarnya kala berbincang dengan Metrotvnews.com di Bengkel Teater Rendra (BTR), Cipayung, Depok, Jawa Barat, Rabu, 22 Februari 2017.

Tapi, kolaborasi yang dimaksud adalah, sastrawan menyajikan karyanya dalam bentuk kesenian yang lain. Bukan musisi atau pembuat film meminjam karya sastra sebagai materi lagu atau filmnya.

"Seperti film berbasis novel, itukan sastranya yang dipinjam sebagai konten. Bukan sastrawannya yang membuat atau menggunakan film sebagai ekspresi dia," kata Radhar.

Hal itu diakui Richard Oh, sastrawan yang juga sutradara film. Alasannya, film adalah seni yang berbeda dengan sastra. Bila film mengadaptasi cerita novel, bisa saja. Tapi, bukan berarti wadahnya dipindahkan.

"Kita yang lahir dari sastra harus lebih hati-hati dengan medium film. Jangan jadinya malah memaksakan. Film memiliki kekayaan seni sendiri," ujarnya kepada Metrotvnews.com, Minggu, 26 Februari 2017.

Richard memastikan bahwa karya sastra yang difilmkan rasanya akan berbeda. "Tidak bisa." Dialog yang dibuat dalam novel, misalnya, akan berbeda rasa ketika divisualkan. Dalam konteks cerita, novel lebih komprehensif. Detail memetakan sebuah situasi. Pembaca diajak berimajinasi, bahkan bebas menafsirkannya. Berbeda dengan sinema. “Karena visual tidak definitif.”

"Saya pribadi justru tidak mau terjebak menjadi seorang sastrawan ketika membuat film," ujar perintis ajang penganugerahan sastrawan Kusala Sastra Khatulistiwa itu.

Sama halnya dengan musik. Musisi menggunakan puisi seorang sastrawan sebagai syair lagunya. Itu adalah kolaborasi. "Tapi yang terjadi saat ini banyak yang salah memaknai musikalisasi puisi," kata Radhar.

Sebetulnya, kata Radhar, musikalisasi puisi itu adalah puisi yang dibacakan secara berirama yang dipadukan dengan musik instrumental. “Diiringi alunan gitar, misalnya."

Jadi, gitar atau piano yang mengikuti irama puisinya. "Bukan puisinya mengikuti nada lagu."

Namun, menurut Radhar yang puisinya pernah dilagukan oleh grup band Slank dan Tony Q Rastafara itu mengatakan, kolaborasi tetap diperlukan. "Kita harus berdamai dengan perangkat-perangkat artistik yang lain untuk mengartikulasikan sastra."

Begitupula Richard. Dia pun mengaku setuju bila film yang mengadaptasi novel merupakan bagian dari jalan memperkenalkan sastra kepada awam.


telusur.metrotvnews.com, Senin, 27 Februari 2017 15:03 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler