Skip to Content

Sastra Bulan Purnama Hadirkan Geguritan di Tembi

Foto Hikmat

Di beberapa kota di Jawa seperti Solo, Semarang dan Surabaya masih banyak ditemui orang yang menulis puisi dalam Bahasa Jawa atau disebut geguritan. Mereka disebut sebagai penggurit.

Bertempat di Tembi Rumah Budaya, Jalan Parangtritis pada acara Sastra Bulan Purnama 13, Senin (1/10) sejumlah penggurit akan memamerkan karyanya dalam tajuk Membaca Geguritan Membaca Jawa.

Para penggurit tersebut terdiri dari 16 penggurit dari Jogja, dua di antaranya dari Ponorogo, yakni penggurit perempuan Ary Nurdiana, seorang lagi penggurit dari Bojonegara yang bernama Aryoko. Penggurit lainnya adalah Angger Sukisno, Agus Suprihono, Anthon Ys Taufan Putra, Bambang Nugroho, Bardikari Jatmiko, Betara Khawie, Budhi Wiryawan, Eko Nuryono, Handoyo Wibowo, Joko Budhiarto, Krishna Miharja, Siyamta, Sri Yuliati dan Tedi Kusyairi.

Koordinator Sastra Bulan Purnama, Ons  Untoro menuturkan, para penggurit itu sebagian besar sudah di atas 30 tahun. Sementara lainnya berusia di atas 50 tahun. Para penggurit ini, lanjutnya, tidak hanya menulis geguritan, tetapi juga menulis puisi, setidaknya seperti Budhi Wiryawan, seorang penyair dan penggurit, yang sekarang menjabat sebagai Ketua KPU Bantul.

Ada juga penggurit dan penyair, yang sehari-hari sebagai guru mata pelajaran matematika di SMP, yang dikenal dengan nama Krishna Miharja. Selain itu, penggurit sekaligus wartawan dan redaktur pelaksana dari satu harian di Jogja bernama Joko Budhiarto.

“Yang mungkin agak mengejutkan, seorang penggurit, yang kesehariaannya sebagai pengusaha dan memiliki toko di Malioboro, di kalangan penggurit dikenal bernama Koh Hwat, tetapi mempunyai nama seperti geguritan Handoyo Wibowo,” kata Ons Untoro, kepada Harian Jogja, kemarin.

Menurut Ons Untoro, geguritan sebagai jenis kaya sastra yang ditulis menggunakan bahasa Jawa masih terus ditulis oleh para penggurit. Di Jogja ada sejumlah penggurit, yang setia dengan sastra Jawa dan tidak lelah terus menulis geguritan, meski media cetak tidak memberi ruang pada geguritan dan mungkin di Jogja hanya ada satu majalah  berbahasa Jawa dan terbit satu minggu sekali.

“Karena itu, diharapkan acara ini sebagai media memberi ruang pada geguritan untuk dibacakan sekaligus diterbitkan sebagai buku kecil agar karya geguritan terdokumentasi’ ujanya

Para penggurit yang mengirimkan masing-masing tiga geguritan, menghadirkan tema beragam. Seperti tema cinta, ada yang merespons keadaan aktual sehingga geguritannya menyerupai kritik sosial.


Sumber: solopos.com, Rabu, 26 September 2012 09:40 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler