Skip to Content

SOSOK F. RAHARDI: PUISI BISA MENUMBANGKAN KEKUASAAN, ASAL...

Foto SIHALOHOLISTICK

F. Rahardi adalah salah satu seniman yang menganggap puisi adalah karya seni yang tak punya ‘kelebihan’ apa-apa dibandingkan seni-seni yang lain. “Puisi itu, sama dengan bakso atau singkong”, kata pria kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 10 Juni 1950.

Ia juga penyair yang tak pernah pusing dengan pelarangan-pelarangan kesenian, terutama pelarangan pembacaan sajak. Beberapa tahun lalu ketika ia dilarang membacakan puisi Sumpah WTS dan kemudian Catatan Harian Sang Koruptor, ia biasa-biasa saja. “Karena puisi itu dibacakan atau tidak tetap puisi. Maka, ketika Rendra dilarang baca sajak di TIM, kemudian mengadu ke DPR, itu cengeng namanya”, kata penyair pembela orang kecil ini, enteng.

Orang yang merambat dari bawah ini, kini telah sukses. Tamatan kelas II SMA yang pernah tujuh tahun menjadi guru SD di Gunung Ungaran ini, kini adalah Wakil Pemimpin Umum majalah TRUBUS. Dan, ia tetap produktif sebagai penyair. Kumpulan puisi terbaru Rahardi adalah Migrasi Para Kampret (1993). Ia juga merencanakan akan menerbitkan semacam buletin sastra, yang berisi informasi sastra dari seluruh Indonesia. Berikut petikan wawancara Media dengan Rahardi di kantornya, Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta Pusat, Jumat (3/6).

***

Belakangan ini ada gejala menarik, yakni pembacaan sajak pada setiap unjuk rasa atau demonstrasi. Sajak, seperti mengandung simbol pembangkangan atau perlawanan. Bagaimana menurut Anda.

Sebenarnya di Indonesia, sejak zaman purba, sajak itu sudah fungsional. Misalnya tembang, pantun, itu sangat fungsional. Di Jawa, misalnya, sajak itu dimanfaatkan oleh rakyat jelata sampai orang-orang keraton. Bahkan, kalau di Sumatera (Melayu), acara apa pun dengan pantun.

Jadi, kalau ada puisi pembangkangan, itu lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar puisi. Jadi, kalau Goenawan Mohamad ngomong puisi tidak mungkin bisa merobohkan pemerintahan. Ya, bedil juga sama juga tidak mungkin bisa merobohkan pemerintahan.

Masak . . .?

Ya, kalau tentara berontak, dan tidak didukung oleh rakyat, ulama, dan cendekiawan, itu tidak mungkin bisa. Indikasi lain, puisi juga bisa punya power sejauh memang ada figur yang kuat. Mengapa pemerintah takut dengan Rendra dan Emha Ainun Nadjib? Karena dua orang ini punya power, punya massa. Rendra sekarang mungkin tidak seperti dulu, tetapi Emha punya massa. Dan, jangan mengatakan, Emha punya massa karena juga berda’wah. Masyarakat tidak peduli. Jadi, bagaimanapun Emha adalah seorang penyair yang punya power dan pemerintah takut. Dia bisa menciptakan sajak untuk menggalang massa. Kalau ini dimanfaatkan, bukan mustahil bisa meruntuhkan kekuasaan.

Jadi, puisi memang punya fleksibelitas atau kelenturan?

Puisi itu kan merupakan suatu pancaran dari daya hidup manusia. Dan pasti punya power dan fleksibelitas. Jadi, kalau orang mengatakan, kreativitas dipasung, seperti Rendra dilarang baca sajak Rangkas Bitung di TIM, kemudian ngadu ke DPR itu cengeng. Kalau saya nggak boleh baca sajak, ora patheen (tidak ada pengaruhnya). Puisi tetap puisi. Memang ada puisi kamar, puisi auditorium, tetapi kekuatan puisi bukan berada di panggung, tetapi pada daya hidup karya itu sendiri.

Rendra kan aktor, jadi tampil di panggung menjadi penting?

Ya, itu memang. Jadi, tampil di panggung bagi Rendra itu penting sekali.

Puisi itu bagi Anda punya fungsi apa sebenarnya?

Bagi saya, sejak semula puisi itu sama dengan bakso, sama dengan baju, sama dengan masalah keseharian yang lain. Tentu saja, memang pada suatu ketika ada upacara pemakaman, misalnya, kemudian puisi itu dibacakan dan orang menangis semua, dalam keadaan seperti itu puisi memang menjadi sakral. Tetapi, bukan karena puisinya, tetapi karena situasinya. Sama dengan pertanyaan bisa nggak puisi untuk menumbangkan kekuasaan? Bisa sejauh didukung oleh yang lain. Jadi, tergantung pemanfaatan.

Jadi, Anda nggak percaya kalau ada yang beranggapan penyair itu sebagai penjaga moral?

Itu omong kosong.

Jadi kedudukan penyair tidak istimewa?
Sama saja dengan guru, tentara, petani atau juga tukang becak?

Sama persis. Tentu saja dibandingkan dengan tentara ada jenderal ada prajurit. Mungkin, penyair Indonesia, prajuritnya ada 2.000, kolonelnya 400, dan jenderalnya 10-20 orang. Ini lepas dari konteks puisi itu bagus apa jelek. Orang mengatakan, puisi Emha itu jelek. Tidak bisa, yang penting Emha menjadi figur penyair itu punya kekuatan. Sutardji memang lain lagi. Ia dianggap penting karena memang kekuatan sajaknya. Tetapi, pemerintah tidak takut dengan Sutardji. Orang dengar puisi Sutardji itu senang, manggut-manggut, ketawa-ketawa, tapi pemerintah tidak takut dengan penyairnya. Dan, menurut saya dua-duanya penyair-penyair kelas satu. Seperti juga Goenawan Mohamad. Ada orang bilang, ia besar karena wartawan, konglomerat, itu suara orang ngiri saja. Dia tetap penyair yang baik, yang punya power, dan kebetulan menjadi wartawan Tempo. Ini justru sangat mendukung sebagai penyair.

Jadi penyair dan bekerja itu nggak masalah?

Sekarang kalau ada orang yang beranggapan bahwa jadi penyair itu harus murni, tidak bekerja. Kalau Goenawan, Rendra, dan Emha, tidak murni. Sekarang saya tanya, penyair yang hanya sebagai penyair (mungkin yang kerja istrinya), apa puisinya lebih baik dari penyair yang kerja? Kok sajaknya Goenawan lebih bagus. Ini menandakan pekerjaan yang disandang oleh penyair itu nggak problem. Malah kalau Goenawan tidak bekerja, mungkin sajaknya jelek. Karena tidak punya pengalaman sekaya jadi wartawan.

Kalau Anda kemudian memilih bahasa pengucapan yang cair, linier, dalam puisi-puisinya, seperti sekarang, apa karena ada kebutuhan untuk berkomunikasi seluas mungkin, tidak seperti si Malin Kundang, terasing?

Ya. Ini karena pengaruh kewartawanan juga. Profesi kewartawanan kan menuntut harus menulis jelas, lugas, padat, tidak boleh ada ambiguitas. Dan itu berpengaruh pada puisi-puisi saya. Karena penyair yang jujur, pasti akan mengutarakan hal-hal yang memang keluar dari jiwanya. Sehingga pengaruh dari lingkungan itu pasti akan diserap, kemudian akan dipantulkan. Tetapi, proses peralihannya cukup lama. Baru akhir 80-an menemukan bentuk yang pas.

Komentar Anda terhadap penyair yang muda-muda sekarang ini.

Begini, penyair itu pertama harus punya otak cukup baik. Kedua, harus punya nyali/keberanian yang besar, dan ketiga harus punya kejujuran. Yang pertama ini memang agak kurang dimiliki dunia kepenyairan. Orang yang otaknya baik-baik dalam periode Orba ini bisa memakmurkan Indonesia lewat ekonomi. Daya tarik bisnis atau ekonomi itu luar biasa kuatnya, jadi putra-putri terbaiknya tersedot ke sana, sehingga politik dan juga sastra-budaya menjadi tidak sebanding dengan ekonomi.

Itu dari segi kecerdasan. Sekarang soal keberanian. Orang yang punya keberanian itu bisanya masuk tentara, atau mungkin juga bandit. Dan, yang terakhir, orang jujur ini makin susah.

Kemudian, kenapa penyair yang muda-muda sekarang tidak mencuat, karena mereka tidak punya kecerdasan, nyali kurang kuat, dan kejujuran masih langka. Selain itu, juga masih didominasi oleh penyair-penyair yang sudah mapan. Masih ada Goenawan, Rendra, Sapardi Djoko Damono, itu masih terlalu kuat. Masih hidup dan berkarya. Jadi, yang di bawah ini harus mempunyai power yang luar biasa untuk mendobrak atau paling tidak menyusup ke dalam. Harus punya kecerdasan, nyali, kejujuran yang lebih dari mereka. Kalau tidak, ya jangan mimpi. (Djadjat Sudradjat)

Sumber : Media Indonesia, 5 Juni 1994

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler