Skip to Content

Tadarrus Sastra untuk Melantunkan Syair-syair

Foto indra

Judul puisinya rada nyeleneh: Salat Khusyuk dalam Vaginamu, Kekasihku. Puisinya itu dibacakannya sekaligus memecah keheningan ruang malam yang semakin larut. Berambut gondrong dan sambil mengisap rokok, dia sosok lelaki yang sedang mabuk kehidupan, bukan alkohol.

“Puisi ini bercerita tentang Tuhan sebagai kekasih, di mana bentuknya dekat di bumi, bukan di langit,” ucap M. Kurniadi Asmi, pembaca sekaligus pencipta puisi itu.

Kurniadi dan puisinya itu didapuk sebagai pembuka Tadarrus Sastra yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Budaya eSA, Universitas Islam Negeri Alauddin, di Baruga Syekh Yusuf, Balai Diklat Keagamaan Alauddin, Sabtu malam lalu, 4 Juli 2015.

Kegiatan yang mengangkat tema Tha Sin Mim atau Ketukan-ketukan Sunyi itu menghadirkan empat pembicara, yakni dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwy Rachman; penyair dan sastrawan M. Aan Mansyur; dosen Filsafat UIN Alauddin, M. Sabri A.R.; serta Quraisy Matthar yang juga dosen UIN Alauddin.

Perbincangan malam itu dimulai oleh Sabri yang menguraikan tentang tradisi Islam yang bergerak lambat. Menurut dia, substansi sulit ditemukan jika sesuatu bergerak cepat dan instan. Sedangkan Al-Quran itu sendiri menyingkap makna terdalam dari sebuah teks. “Ayat-ayatnya putus dan sunyi,” ucap dia.

Meski begitu, dia menambahkan, makna dari teks Al-Quran ini tidak boleh dibiarkan mengendap. “Tapi harus bisa didiskusikan dan ditafsirkan.”

Aan lalu mengungkap pemaknaannya terhadap sebuah kesunyian dengan cara yang berbeda. Bagi Aan, kesunyian adalah bagian dari hidupnya. Sebagai penulis pun ia mengakui bahwa nuansa sunyi menjadi bagian yang sering dihadirkan dalam karya yang dihasilkan. “Untuk menulis karya sastra, saya akan memilih berdiam dan mengunci diri dalam kamar,” kata dia.

Malam itu, Aan juga bercerita tentang bagaimana ia menjalani kesunyian komunikasi dalam keluarga. “Saat kecil, saya sering kebingungan menyampaikan keinginan saya kepada ibu. Sebagai solusinya, saya menuliskan keinginan itu lewat surat, kadang-kadang dalam bentuk puisi.”

Menurut pustakawan Katakerja itu, manusia membutuhkan ruang sunyi untuk bisa menyimak diri sendiri dan puisi merupakan satu cara menyampaikan hasil penyimakan terhadap diri. Puisi, menurut dia, lahir dari ruang sunyi, ruang di mana manusia merefleksikan diri dan kehidupannya yang dituangkan dalam bentuk bahasa.

Sedikit berbeda dengan pengalaman dan laku Aan, Alwy Rachman mengatakan manusia pada dasarnya takut akan kesunyian dan kesepian. Manusia mengobati ketakutan itu dengan membentuk kelompok-kelompok.

Ia memberikan contoh sosok Nabi Muhammad. Seperti tercatat dalam sejarah, Muhammad adalah nabi yang tidak sempat melihat sosok ayahnya. Ketika Nabi masih bayi, ibunya juga telah tiada. “Bagaimana sosok ini kemudian menjadi begitu luar biasa berjuang menyebarkan pesan-pesan kebajikan dengan melewati keyatiman dan kesepiannya,” kata Alwy.

Kisah Nabi Muhammad sekaligus bukti nyata kesunyian adalah bagian dari sejarah perjalanan manusia. Kesunyian, kata Alwy lagi, sudah dialami manusia sejak berada dalam rahim ibunya dan akan berakhir di kuburan. “Jadi manusia pada dasarnya sudah yatim atau sendiri, ini bisa dilihat melalui sidik jari manusia tak ada yang sama.”

Alwy juga menuturkan, sebuah pencarian makna nurani senantiasa melalui proses mistifikasi. Alam disebutnya menyimpan begitu banyak makna kode ilahi yang masih penuh misteri dan terus berusaha diterjemahkan manusia. “Seperti Al-Quran yang memakai bahasa langit dan itu perlu dipahami maknanya.”

Adapun Quraisy menyatakan ada perpaduan antara unsur agama dan budaya dalam melahirkan karya-karya sastra. Al-Quran, dia menjelaskan, punya cara menyampaikan sesuatu yang erotis, yakni urusan persetubuhan dengan bahasa yang halus. “Tidak ada kata zakar dalam kitab Al-Quran. Kitab ini memakai bahasa langit dan itu butuh penafsiran,” kata Quraisy menjawab pertanyaan Sarsin, salah satu peserta Tadarrus Sastra.

Ketua Panitia Tadarrus Sastra, Ahmad Idham Al-Ghazali, mengatakan Tadarrus Sastra adalah sebuah proses kreatif untuk melantunkan syair-syair sastra—seperti halnya dalam Islam, ada tadarus ayat-ayat suci. Karya-karya sastra itu kemudian didiskusikan secara lebih mendalam. “Kali ini kami fokus pada tema Ketukan-ketukan Sunyi untuk digali lebih mendalam lewat diskusi,” kata Idham.

Idham menjelaskan, tema itu dipilih karena menganggap kesejatian diri akan bisa didapatkan dalam kesunyian. Karya-karya seperti puisi, novel, disebutkannya pula, tidak jarang lahir dari kesunyian yang mampu ditangkap dan dilukiskan oleh para sastrawan. ”Acara Tadarrus Sastra sendiri adalah cara untuk menghidupkan kembali kecintaan terhadap syair-syair puisi dan pemahaman mendalam terhadap makna kesunyian dalam sastra.”

Setelah berbincang tentang kesunyian, acara dilanjutkan dengan melantunkan syair-syair puisi yang dibacakan sambung-menyambung. Puisi-puisi yang dibacakan adalah karya-karya yang terangkum dalam buku Serangkai Bunyi Sunyi, antologi puisi yang berisi 169 karya anggota eSA.


tempo.co, Minggu, 12 Juli 2015 04:09 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler