Skip to Content

Tiga Hari Perayaan Hari Teater Dunia 2017 di Solo

Foto indra
files/user/762/teater-kendai-jakarta-di-solo-2017.jpeg
MONOLOG: Penampilan Teater Kendai dari Jakarta dengan naskah Tembakau di Hatedu 2017 di Solo, Jawa Tengah, (26/3).

International Theatre Institute (ITI) bersama komunitas teater lintas negara mendeklarasikan Hari Teater Dunia pada 27 Maret 1961. Di Indonesia, perayaan Hari Teater Sedunia itu mulanya berlangsung di Solo, Jawa Tengah sejak tiga tahun lalu.

Tahun ini, para pegiat teater di kota itu kembali menggelar rangkaian acara dalam rangka Hari Teater Dunia. Bertempat di area Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, perayaan tersebut digelar selama tiga hari. Tahun ini, acara tersebut berlangsung mulai Sabtu (25/3) hingga Senin (27/3) lalu. Tidak mudah menyelenggarakan acara besar semacam ini.

Di panggung terbuka yang terletak di lapangan parkir Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah di Solo, satu aktor dari Teater Kedai tengah menyajikan monolog pendek. Mereka mengadaptasi On The Harmful Effects of Tobacco karya Anton Chekhov menjadi Tembakau. Pada hari kedua Hatedu kemarin, mereka menjadi penampil yang mendapat giliran naik panggung di sore hari. Mereka adalah bagian dari 30 kelompok teater dari berbagai kota di Indonesia yang hadir dalam Hatedu 2017. ’’Tahun ini ada 30 peserta dari berbagai kota yang datang menampilkan karyanya,’’ terang Caroko Turah, salah satu pelaksana Hatedu 2017.

Menurutnya, jumlah penampil tahun ini banyak berkurang bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ada banyak hal yang menyebabkan jumlah peserta berkurang. Salah satunya adalah aktivitas para pelaku teater di kota lain juga ada yang ikut menyambut Hari Teater Dunia dengan kegiatan masing-masing. Ini antara lain di Semarang, para pelaku teater setempat menggelar acara serupa di Taman Budaya Raden Saleh.

Selain itu, persoalan sumberdaya untuk bisa datang ke Solo juga menjadi kendala lain dari banyak kelompok dari luar kota. ’’Tahun ini teman-teman di luar kota banyak yang sudah memiliki agenda. Ini kali pertama Hatedu di Solo tidak diikuti oleh teman-teman dari luar Jawa,’’ katanya.

Turah menyebut, pada acara serupa sebelumnya, penampil dari luar Jawa selalu ada walau tidak banyak. Turah menyebut, situasi tersebut tidak lantas menyurutkan penyelenggaraan Hatedu 2017.

Menurutnya, sejak awal Hatedu di Solo sudah didesain sebagai arena terbuka kepada siapa saja yang hendak merayakan teater. Tidak ada paksaan atau undangan formal bersama sederet syarat-syarat kuratorial layaknya festival-festival teater di tempat lain. ’’Kami memang tidak melakukan kerja-kerja kurasi kepada karya peserta. Siapa dan apa saja bisa bergabung,’’ katanya.

Jangan bayangkan perayaan Hatedu di Solo sebagai peristiwa pertunjukan teater dari para aktor papan atas Indonesia dengan segala capaian artistik yang maksimal. Jangan pula membayangkan acara tiga hari berturut-turut itu ramai oleh penonton-penonton bertubuh wangi yang duduk manis di kursinya sembari sibuk berswafoto di sela pertunjukan. Buang juga bayangan dapat menyaksikan pementasan di gedung pertunjukan tertutup berpendingin ruangan.

Semua pertunjukan dalam Hatedu di Solo diselenggarakan di ruang terbuka. Ada yang di parkiran, pendapa, bahkan selokan. ’’Pentas-pentas karya yang ada memang berbeda dengan pementasan umumnya,’’ kata Turah.

Menurutnya, panggung terbuka yang disiapkan panitia mau tak mau harus disikapi dengan pendekatan berbeda oleh para penampil. Ada banyak perbedaan antara teater di ruang terbuka dan tertutup.

Turah menambahkan, pilihan menyiapkan arena pertunjukan di luar ruang sejak awal sudah menjadi ide dasar yang bertolak dari niat mendekatkan teater dengan publik dan ruangnya.  ’’Kebanyakan pertunjukan teater memang diselenggarakan di ruang tertutup. Di Hatedu tidak. Ini bertolak dari ide mendekatkan teater dengan ruang publik sekaligus tantangan bagi teman-teman,’’ katanya.

Tantangan semacam itu setidaknya diakui oleh Rizky Aditya dan Gladhys Syahutari yang membawakan adaptasi naskah Anton Chekhov sore kemarin. Naskah asli yang menyebutkan area pertunjukan adalah gedung pertemuan di Balai kota harus disesuaikan dengan panggung mungil di tengah parkiran.

Sebagai sebuah arena pertunjukan tanpa kurasi, pementasan di Hatedu 2017 sangat beragam. Mulai dari bentuk pertunjukan tunggal, teater tradisional, hingga yang memadukan seni tradisional seperti wayang dengan keroncong dan dangdut. Aneka rupa bentuk pertunjukan tersebut diakui atau tidak justru menjadi daya tarik Hatedu di Solo setiap tahunnya. ’’Ya niatnya Hatedu ini bisa menjadi semacam laboratotium pertunjukan sekaligus ruang karya yang masih berproses dari teman-teman,’’ kata Turah.

Karya-karya tersebut dipanggungkan di tiga titik berbeda secara bergantian. Para penonton yang hadir diarahkan oleh panitia menuju panggung lain setiap kali satu pertunjukan berakhir. Penonton yang berpindah mengikuti berubahnya lokasi pementasan dengan sendirinya menyebabkan kenyamanan tidak berada di urutan pertama. Sebaliknya, kebebasan bagi penonton terasa lebih utama. Penonton bisa sembari makan, minum, bahkan merokok saat menjadi saksi sebuah pementasan.

Selain pertunjukan maraton dari sore hingga tengah malam, pada setiap pelaksanaannya Hatedu selalu dilengkai dengan sejumlah lokakarya untuk peserta. Ada lokakarya penulisan naskah, tata lampu, hingga penyutradaraan. Lokakarya tersebut diisi para pemateri antara lain Suprapto Suryodarmo, Hanindawan, Rukman Rosadi. Acara ini terbuka untuk para peserta dan diselenggarakan pada siang hari sebelum rangkaian pementasan berlangsung. Tidak ada biaya apa pun. Khusus tahun ini, panitia berencana memberikan penghargaan kepada sejumlah seniman teater senior.

Tahun ini, para peserta Hatedu berdatangan dari sejumlah kota di Jawa. Ada yang dari Jakarta, Bekasi, Lamongan, Surabaya, Ambarawa, Magelang, dan Yogyakarta. Mereka datang dengan mandiri dalam arti tidak ada bantuan produksi sepeser pun dari panitia. Tak ada uang untuk transportasi, apalagi honor. Panitia hanya menyediakan panggung pertunjukan di ruang terbuka, tempat menginap seadanya, dan konsumsi nasi bungkus dari dapur umum.

Kondisi semacam itu tentu mustahil bisa menjadi magnet bagi para pelaku teater yang sudah punya nama besar dan mapan. Sebaliknya, bagi mereka yang tak mau ribet dengan seleksi ketat berdasar kurasi, Hatedu adalah ruang lega untuk berekspresi. Turah mengakui, menyelenggarakan Hatedu setiap tahun di Solo adalah sebuah proses berat.

’’Kami memulai dengan anggaran sebesar nol rupiah. Kami bermodal Bismillah dan seringkali berakhir dengan astaghfirullah sebelum tetap alhamndulilah dengan situasi apa pun,’’ selorohnya.


indopos.co.id, Rabu, 29 Maret 2017 13:34 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler