Skip to Content

TIMBANGAN BUKU

Foto SIHALOHOLISTICK

Sumpah WTS

F. Rahardi bukanlah nama baru dalam kancah perpuisian kita. Dalam catatan saya, ia sudah mulai menggelar sajak-sajaknya di Horison sejak sekitar tahun-tahun 1974 dan 1975-an. Sebagai penyair, Rahardi telah menandai kehadirannya dengan sajak-sajak yang memberi kesan “santai” dan “main-main”, atau barangkali lebih persis untuk kita katakan saja “nakal” – ciri yang juga menandai banyak penulis muda di tahun-tahun itu, seperti misalnya yang diperlihatkan oleh dua kembar Noorca-Yudhis di awal pemunculan mereka, atau pada kelompok penulis puisi-puisi “mbeling” yang mewabah di bawah komando seorang Remy Silado, juga di tahun-tahun itu. Panggalan sajak F. Rahardi yang berikut (pernah dimuat majalah Horison no. 4 – 1978) barangkali bisa sedikit membantu mengingatkan kembali dan menjadi bekal awal yang cukup untuk meneruskan catatan ini.

tubuh seorang wanita dicoba dan dicatat
berapa lebarnya dan berapa besarnya
tidak usah malu
supaya masyarakat tahu mengenai dirinya
cukup kuat ataukah sangat nikmat
hingga nantinya tidak terjadi
salah paham atau yang lain
mengerti?

tapi yang paling penting
laki-laki dan perempuan harus diikat
dan ditempeli kartu di dada kirinya
sebagai tanda
apakah dia benar-benar jahat
atau hanya terlibat
(Sajak “Laki-laki dan Perempuan”, bait 2-3)

Semangat “main-main yang nakal” itu ternyata tidak menjadi surut dimakan tahun. Soempah WTS, kumpulan sajaknya yang pertama, membuktikan – sebagaimana sudah tersirat dari judulnya – bahwa penyair kelahiran Ambarawa tahun 1950 ini memang cukup “jago” sebagaimana yang lain biasa melakukannya. Seluruh sajak dalam Soempah WTS adalah hasil “main-main” yang kadangkala terasa agak “kurang ajar” bukan hanya dalam hal isi dan tema tapi juga dalam bentuk fisik sajak, atau dalam cara bagaimana isi atau tema itu dikemukakan.

SOEMPAH WTS

satu
kami
bangsa
tempe
bersurga
satu
surga
dunia

dua
kami
bangsa
tahu
bergincu
batu
berbantal
pantat

tiga
kami
bangsa
tokek
bertarget
satu
menggaet
tuhan
jadi
langganan

Begitulah, dengan modal utama “semangat bermain” yang kadangkala “kurang ajar” tetapi “jujur” itu Rahardi kemudian dengan leluasa menjelajah berbagai soal dalam sajak-sajaknya. Sinisme yang pahit kadang ikut menyembul juga, dan Rahardi dengan tangkas menangkap, menjerat, memangkas semua itu menjadi “adonan” yang “khas Rahardi”. Sajaknya yang berikut barangkali bisa lebih menjelaskan hal itu.

SAJAK TRANSMIGRAN II

dia selalu singkong
dan terus-menerus singkong
hari ini singkong

tadi malam singkong
besuk mungkin singkong
besoknya lagi juga singkong
di rumah sepotong singkong
di ladang seikat singkong
di pasar segerobak singkong
di rumah tetangga sepiring singkong
enam bulan lagi tetap singkong
setahun lagi tetap singkong
sepuluh tahun masih singkong
duapuluh tahun makin singkong
dan lima puluh tahun kemudian
transmigran beruban
sakit-sakitan
mati
lalu dikubur di ladang singkong

Tapi kemudian timbul masalah. Barangkali lantaran kelewat asyik bermain, Rahardi kemudian juga terjerambab pada pencapaian dengan nilai minus. Beberapa sajaknya dalam kumpulan ini berhenti menjadi sekedar wujud teknis dari kepintaran penyairnya bermain-main kata. Ia menjelma menjadi semacam “etalase” dimana kita disuguhi tontonan akrobatik yang kering : kata-kata ditarik, dilempar, diayun dan dijungkirbalikkan – dan tak menghasilkan apa pun. Kecuali bukti yang membuat kita pun menjadi sah untuk bercuriga bahwa penyairnya memang cuma sekedar kepingin main-main, iseng.

Dan yang semacam di atas itu bukan cuma satu. Beberapa yang lain, seperti misalnya Bandung I, Bandung II, Diana I, Diana II, Sajak Kurma, untuk sekedar menyebutkan contoh, apa boleh buat, telah bersama-sama ikut “meretakkan” nilai antologi yang sebetulnya unik dan jauh dari buruk ini. (Ook Nugroho)

Sumber : Horison/XXIII/285.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler