Skip to Content

Tradisi Visual Timbulkan Involusi Tradisi Baca Tulis

Foto Hikmat

Internet di Indonesia yang memperkenalkan tradisi baru pembacaan teks secara visual melalui gambar yang menghindari tulisan panjang, ditengari telah menimbulkan proses involusi tradisi baca tulis yang sebenarnya juga belum benar-benar berkembang. Meski produksi produk bacaan visual itu tampak subur, lunturnya mental baca tulis berakibat involusi pada tradisi berpikir kritis kreatif, tak ada lagi karya tulis bermutu apalagi monumental, katakanlah seperti sastra pra 1960-an.

Demikian pandangan Prof Dr Djoko Saryono dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Pendidikan Sastra pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) di Malang, Jawa Timur, Rabu (19/10/2011). Istilah involusi dipinjam Djoko dari karya tulis pakar Indonesia Clifford Geertz tahun 1960-an Agricultural Involution, yang artinya kurang lebih perumitan ke dalam.

Tekanan sosial, budaya, politis dan teknologis telah menjadikan tradisi budidaya pertanian dalam temuan Geertz pada petani Jawa mengalami perumitan ke dalam, kehilangan daya saing karena kehilangan daya kritis dan kreativitas. Hal itu diyakini sebagai penyebab terpenting kemiskinan di Jawa.

Djoko menyebutkan, tanda-tanda involusi tradisi baca tulis itu, bahwa secara kasat mata jumlah tulisan kian banyak, jumlah bacaan banyak, namun secara kualitatif tak ada lagi karya tulis. Terlebih karya sastra yang bermutu apalagi monumental yang dilahirkan dari generasi era media internet saat ini.

"Ini karena seiring dengan internet muncul kebiasaan membaca dan menulis yang tidak lagi didasarkan pada ekstensitas (peluasan) kajian dan intensitas (pendalam) pemahaman. Tidak ada lagi kebiasaan membaca dan menulis secara bermutu dan bernas. Dalam bahasa sastra, terjadi kemerosotan budaya keberaksaraan. Jumlah buku seolah bertambah, buku pengetahuan umum, sastra, ilmiah dan ketrampilan misalnya komputer bertambah, tapi tak ada gagasan dan pikiran didalamnya. Tak ada perkembangan dan kemajuan," tuturnya.

Politisi dan penyelenggara negara tidak lagi membaca secara mendalam dan meluas, tidak lagi membuat tulisan atau peraturan dan perundangan yang bermutu dari hasil pertimbangan yang mendalam, sehingga tak ada lagi undang-undang atau peraturan yang hebat dan bermutu yang dihasilkan.

Para wartawan masih produktif menulis, tapi tulisan mereka umumnya hanya berkaliber inforial, informasi dengan kandungan pesan komersial. "Tak ada percikan pemikiran yang mendalam, menggugah, apalagi kritis. Media massa dan manajemennya menghindari tulisan yang mendalam dan berat," ungkap Djoko.

Lebih jauh, Djoko mengatakan, media massa dan pekerjanya sudah puas dengan tulisan pendek dan cepat. Tulisan jurnalistik menjadi dangkal, dan sekadar berisi informasi yang cepat dikerjakan, cepat habis dibaca, dan cepat pula dilupakan.

Djoko menilai, involusi tradisi baca tulis ini telah menjauhkan manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia dari keberaksaraan, dan sebaliknya mendekatkan manusia pada kelisanan yang lebih rendah derajadnya dalam susunan peradaban intelektualitas.

Djoko menjelaskan, keberaksaraan yang diterjemahkan dari literacy sebagai substansi berpikir kritis kreatif karena kemampuan menguasai teks sebagai agen transfer pemikiran yang lebih permanen, dibanding kelisanan. "Keberaksaraan disyaratkan oleh pemikiran yang ketat, cermat, kokoh disangga oleh tradisi baca tulis yang mantap dan kuat. Keberaksaraan mendorong manusia dari berpikir pasif menjadi berpikir kritis kreatif," katanya.

Dari semua penemuan manusia, tulisan atau bacaan merupakan ciptaan manusia yang paling besar pengaruhnya bagi kesadaran. Namun, Djoko mencontohkan, isi pidato para pejabat negara termasuk presiden dan menteri, dipenuhi tradisi kelisanan yang dangkal, bukan dari pemikiran tentang kebajikan.

Muncul buku-buku petunjuk hidup (know how) yang mengaku dahsyat, yang isinya sebenarnya cumalah residu kelisanan sangat kasat mata. Sebab buku-buku tersebut hanya mentransfer pidato-pidato, percakapan dan kisah, yang tidak berasal dari pemikiran yang ketat, mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan isi berita televisi, bukan berisi pernyataan pemikiran, melainkan gambar tindakan fisik yang tidak menunjukkan aspirasi dan gagasan pihak yang diwawancara.


Sumber: regional.kompas.com, Rabu, 19 Oktober 2011 23:51 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler