Skip to Content

KUMPULAN PUISI KARYA JOKO PINURBO 1999

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/jokpin4.jpg
jokpin4.jpg

TAMU

Suatu malam roh musafir itu singgah,
hendak menginap di tubuhku.
Tubuh yang sudah beberapa lama terbaring sakit
menggeliat terperanjat.
“Aku tidak siap menerima tamu,” ucapnya lirih.

“Tuan, saya kemalaman,” tamu itu berkata.
“Bolehkah hamba numpang tidur dan istirah sebentar?”
“Tentu saya senang bisa mempersilakan Tuan bermalam
di tubuh hamba,” jawabku. “Tapi maaf, hamba
tak bisa kasih tempat yang nyaman. Tubuh hamba
sedang bobrok dan berantakan.”
“Jangan terlalu meninggikan hamba,” timpalnya.
“Bisa sekedar berbaring saja sudah cukup
membuat bahagia.”

Di tubuh yang sumpek dan temaram
tamu itu merapal doa sepanjang malam.
Doanya mencengkeram meremas-remas jantung
sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak:
“Aku takut mati!”
Tapi doanya tambah deras dan dencar
sampai tubuhku gemetar dan urat-urat darahku bergetar.
Sesudah itu tubuhku hening
hingga tiap denyut darah terdengar nyaring.

Pagi-pagi sekali tamu itu pamitan,
hendak melanjutkan perjalanan.
“Tidur hamba nikmat sekali semalam,” ia berkata.
“Terima kasih,” jawabku. “Saya harap suatu saat
Tuan berkenan singgah lagi di tubuh hamba. Hamba berjanji
akan sediakan tempat yang lapang dan nyaman.”

Lama aku menunggunya. Tapi ia tak kunjung datang.
(1999)

 

RUMAH PERSINGGAHAN

untuk SS

“Aku sekarang bisa pulang ke rumah,” kata temanku
dengan wajah berbinar-binar.
Lalu ia tunjukkan rumahnya yang baru, rumah yang besar,
yang halamannya luas tak berpagar.

“Bukan pulang, tapi singgah,” aku berkilah,
“sebab hanya kalau larut malam kau berumah,
sedang sebagian besar waktumu, jadwal hidupmu
kauhabiskan di sekian banyak entah.”

“Iyalah,” ia mengalah, dan dengan takjub kukagumi
arsitektur rumahnya yang langka dan spesial,
tampak sederhana tapi menggoda.

“Bertahun-tahun aku menabung kemiskinan
untuk membangun rumah ini,” kata temanku.
“Bukan kemiskinan, tapi kematian,” aku menyanggah.
“Iyalah,” ia kembali mengalah.

Ketika itu Jakarta hampir punah.
Seluruh pelosok telah habis dijarah
petualang-petualang kampung dari berbagai daerah.
Di mana-mana orang bikin gedung, pabrik, hotel, toko,
salon, kesenian, pemerintahan, panti pijat, warung gaul
sehingga untuk mukim kau harus cari kapling
di kompleks perumahan bawah tanah.
Temanku beruntung bisa bikin rumah besar di sebidang tanah
bekas kuburan Cina yang konon banyak jinnya.

Kujelajahi rumah temanku yang ada kolam renang
dan kolam ikannya.
Dinding-dindingnya penuh lukisan dan topeng.
“Jin tidak berani gentayangan di sini,” sindir temanku,
“sebab jin takut topeng, apalagi topengnya
lebih ganteng dari kamu.”

Wah, rumah temanku banyak benar kamarnya.
Di bagian depan, misalnya, ada kamar khusus
untuk tamu-tamu miskin dari luar kota yang datang
untuk sekadar numpang mandi, tidur, dan, tentu saja, makan.
Persis di bagian tengah tersedia sel tahanan,
lengkap dengan terali dan cahaya remang-remangnya.
“Siapa tahu ada seniman kriminal
tiba-tiba mengamuk di sini,” jelasnya.

Nun di pojok belakang ada kamar gelap yang dijaga
sepasang jerangkong, dirancang untuk kuburan.
“Kau anak jadah, sebatang kara. Kalau suatu saat kau mati
di Jakarta, biar kukubur kau di sini,” temanku bercanda.
Aku merinding, dan ia tunjukkan nisan coklat
yang belum diberi nama.

Masih banyak ruangan lain yang entah untuk apa.
Ada, konon, ruangan dingin buat bercinta,
tapi aku tak tahu di sebelah mana.

Ah, kurang apa rumah temanku.
Sayang si empunya jarang pulang, eh singgah.
Kalaupun singgah, ia lebih suka mendekam dan menulis
di dalam sel dan tak seorang pun bisa mengusiknya.
“Bahkan topeng pun tidak berani menggangguku,” katanya.

Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku
jauh dan tersembunyi.
Tidak mudah menemukan alamatnya.
Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya,
bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung
dalam keluasannya.
Tapi aku selalu ingin singgah ke sana.

Teman, aku datang naik andong. Kling klong kling klong.
(1999)

 

DI BAWAH KIBARAN SARUNG

Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.

“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.

Di bawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil di mana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.

“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.

Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.

Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.

Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.

Ayo temui aku di bawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.
(1999)

 

VETERAN

Sehabis merumput di atas kepalaku, selalu ia tanyakan:
“Mau dicukur rambut yang lain?” “Jangan,” aku katakan,
“nanti tak ada lagi rambut yang saya banggakan.”

Ia seorang veteran, tukang cukur yang intelek dan cekatan,
yang membiarkan rambutnya tumbuh panjang tak beraturan.
“Tukang cukur sejati tak akan memangkas
rambutnya sendiri,” katanya pasti.

Ia sudah bertahun-tahun di sana, di bawah pohon beringin
yang rimbun daunnya, di sebuah sunyi di sudut kotanya.
Ia sangat berpengalaman menangani berbagai macam kepala,
hafal merek dan isinya.
“Hanya di kepala bisa tumbuh berbagai jenis rambut,” katanya,
“sebab memang hanya kepala yang punya otak dan pikiran.”
Sambil membabat rumput liar di kepalaku ia lanjutkan:
“Ada sebuah tempat nun di pusat pergolakan di mana rambut
hanya bisa semrawut. Sebab makhluk yang berdiam di sana
memang tidak punya otak dan pikiran, hanya bisa diperintah
dan melaksanakan tindakan.”

Di meja kerjanya yang antik kulihat album besar berisi koleksi
berbagai model rambut dan kepala.
Ada gambar Yesus yang mulai botak kepalanya.
Ada gambar presiden yang tampak cabul kepalanya.
Ada pula gambar penyair yang kelihatan brutal rambutnya.

Malam itu aku datang lagi hendak menertibkan si kepala,
tapi ia tak ada di tempat tugasnya. “Ke mana tukang cukur saya?”
tanya saya kepada seseorang di situ.
“Katanya pergi sebentar hendak bercukur,” jawab orang
berkepala sederhana itu yang ternyata seorang mata-mata.

Di jalan pulang kulihat tukang cukur itu sedang diangkut
mobil patroli bersama seluruh peralatan kerjanya.
“Selamat malam Veteran,” aku menghormat.
Dan sang veteran tersenyum sambil memiring-miringkan
telunjuk tangannya di atas jidatnya.
(1999)

 

MISBAR

Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.

Mereka duduk berdesakan menyaksikan pertunjukan film
layar lebar dengan bintang-bintangnya yang cantik dan segar.
Suasana begitu hingar. Suara-suara begitu bingar.
Setiap orang bebas bicara dan bertingkah, bikin gosip,
kabar kabur, colak-colek, clapclup, cicitcuit, berteriak cabul,
tanpa menghiraukan benar cerita yang sedang diputar.

Ada yang memilih mojok di bawah pohon beringin
sambil minum cendol dan bersayang-sayangan.
Ada yang lebih suka ajojing sambil mabuk dan menjerit-jerit
kesetanan. Ada yang main kartu, perang mulut, ribut
dan akhirnya gelut. Ada yang menyetel radio keras-keras
dan serius amat mendengarkan pidato presiden.
Ada yang bercakap-cakap dengan topeng.
Ada yang menyinden. Ada yang main kuda lumping,
mengamuk, kemudian terpelanting. Ada yang sesenggukan
membaca sepucuk surat dari pacarnya yang minggat.
Ada yang bertengkar memperebutkan laki-laki hidung belang.
Ada yang mencopet dan mengutil, kemudian dihajar
habis-habisan. Ada yang jual tampang, pamer pamor,
menjaring iseng, dengan wajah menor-menor.
Ada yang kencing sembarangan di bawah pohon pisang.
Ada juga yang menjajakan berbagai mayat orang hilang
yang gambarnya sering terpampang di koran.

Penyair adalah penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk
di sudut yang remang, yang sambil klepas-klepus
memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kesehatan.”
Yang menyimak segala hingar dan segala bingar
sambil mendengar yang tak terdengar.
Yang berani menduga siapa di antara orang-orang
yang sibuk tertawa itu yang melengos pulang
kemudian menggantung diri di kamar
karena diam-diam merasa sangat kesepian.

Tontonan makin seru. Kacau bukan soal.
Tiba-tiba terdengar letusan. Banyak yang ngacir. Kocar-kacir.
Lintang pukang. Tunggang langgang. Maling berteriak maling.
Spiker melengking-lengking. Ada yang lari terkencing-kencing.
Lalu datang orang berseragam, mengamankan keadaan.
“Tenang. Situasi dapat dikendalikan.
Pertunjukan dapat dilanjutkan.”

“Jakarta memang asyik euy,” kata penjual rokok itu
yang sambil klepas-klepus memperingatkan:
“Merokok dapat merugikan kemiskinan.”

Kemudian turunlah gerimis, pertunjukan pun bubar. Misbar.

Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Suatu saat akan aku temui penjual rokok itu.
Siapa tahu ia saudara kembarku.
(1999)

 

TETANGGA

Ada baiknya sekali-sekali main ke tetangga.
Sekadar mengobrol, minum kopi, main kartu, mabuk bareng,
pamer utang, atau saling mencabuti uban sambil merencanakan
kapan bisa duel untuk saling mengalahkan.

Biasanya tetangga lebih cermat mengamati keadaan rumah kita.
Siapa tahu ia juga bisa menyumbangkan gagasan cemerlang
tentang cara batuk yang sopan supaya tidak mengganggu
tetangga yang sedang tidur atau makan.

Kita suka menunda-nunda waktu untuk main ke tetangga.
Kita suka bilang sibuk atau pura-pura ingin saling menjaga privasi,
padahal sebenarnya cuma takut dan malu mendengar
gunjingan orang tentang (keburukan) kita.

Saya baru sadar bahwa saya punya tetangga yang baik
dan penuh perhatian. Rumahnya cuma di seberang.
Saya sering melihatnya baca koran atau main catur semalaman
sambil bersiul-siul sendirian. Kadang ia main pantomim
di halaman tanpa seorang pun menghiraukan.
Setiap saya pergi dan pulang kerja ia selalu menyapa: “Mampir!”
“Terima kasih, kapan-kapan,” jawab saya tanpa pernah
mampir sungguhan.

Sialan. Tetangga saya itu rupanya sering mengintip saya.
Suatu saat kami bertemu di jalan dan ia mengatakan: “Aku tahu
apa yang kausembunyikan di balik baju dan celanamu. Aku tahu
apa yang paling kaubanggakan dari tubuhmu. Kau tak tahu
diam-diam aku sering mabuk dan berjoget di bugil badanmu.”

Malam itu ia coba-coba mengintip lagi. Saya cepat-cepat membuka
jendela, hendak mendampratnya. Tapi ia segera menghilang
ke rumahnya yang suram dan tak terawat di bawah pohon kemboja.
“Kapan-kapan saya mampir,” kata saya sambil menutup jendela.
(1999)

 

KACAMATA

Baru tiga puluh tahun menyair, ia sudah pakai kacamata.
Biar tampak bijak dan matang. Biar dikira banyak mikir
dan merenung. Biar lebih kebapakan.

Kalau lagi kencan dengan kata-kata, ada-ada saja tingkahnya:
mencopot kacamata, membersihkannya, menerawangnya,
kemudian mengenakannya kembali sambil pura-pura batuk
dan pilek. Biasa, cari perhatian. Biar kelihatan berwibawa.
Biar dikagumi topeng yang nampang di hadapannya.

Dan ia sudah punya bermacam-macam kacamata.
Tapi ia masih harus mencari matakaca yang bisa membuatnya
tidak grogi menerima teluh cinta kata-kata;
yang bisa menjadikannya tidak nyeremimih dan ingah-ingih
saat menghadap yang mahamakna.
(1999)

 

UBAN

Pasukan uban telah datang memasuki wilayah hitam.
Hitam merasa terancam dan segera merapatkan barisan.
“Putih lambang kematangan, hitam harus kita lumpuhkan.”
“Hitam lambang kesuburan, putih harus kita enyahkan.”

Tiap malam pasukan putih dan pasukan hitam bertempur
memperebutkan daerah kekuasaan sampai akhirnya
seluruh dataran kepala berhasil dikuasai masyarakat uban.
“Hore, kita menang. Kita penguasa masa depan.”

Tapi uban jelek di lubang hidungmu memperingatkan:
“Jangan salah paham. Putih adalah hitam yang telah luluh
dalam derita dan lebur dalam pertobatan.”

“Demikianlah sabda uban,” sindir uban-uban pengecut
yang tiap hari minta didandani dengan semir hitam.
(1999)

 

UTANG

Orang miskin itu memberanikan diri bertamu ke sahabatnya
yang dulu miskin tapi sekarang kaya raya.
Tak ada jeleknya menghibur orang kaya, pikirnya.
Orang kaya toh sering kesepian juga.

Baru saja melangkah ke ambang pintu,
tuan rumah langsung menyergapnya: “Kau ke sini cuma mau
menagih utang kan? Utang lama kan? Waktu aku masih miskin kan?
Aku akan lunasi sekarang, sekian lipat dari yang kupinjam. Paham?”

Sambil menepuk-nepuk bahu tuan rumah yang pemberang
tamu itu menjelaskan: “Jangan berburuk sangka. Saya ke sini
cuma mau bilang bahwa utang itu sudah saya ikhlaskan.
Besok saya mungkin sudah mati. Paham?”
Tuan rumah terpana dan merasa utangnya makin bertambah saja.

Tamu miskin itu sekarang berdiri di dalam cermin di hadapan saya.
Ia mengucapkan hallo, dan saya merasa tertusuk oleh senyumnya.
(1999)

 

MALIN KUNDANG

Malin Kundang pulang menemui ibunya
yang terbaring sakit di ranjang.
Ia perempuan renta, hidupnya tinggal
menunggu matahari angslup ke cakrawala.

“Malin, mana isterimu?”
“Jangankan isteri, Bu. Baju satu saja robek di badan.”

Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu
seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga.

“Benar engkau Malin?”
“Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.”
“Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering
dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar
bahwa Malin, anakku, akan datang
dengan isteri yang bagus dan pangkat yang besar.”
“Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.”
“Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.”

Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya:
“Ke mana saja engkau selama ini?”
“Mencari ayah di Jakarta.”
Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang
dan aku telah sukses mengusirnya.”

“Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi.
Dan anak yang sudah lelah mengembara itu pun bicara:
“Benar, saya Malin. Malin yang diam-diam
telah menemukan ayahnya dan membunuhnya.”

Sambil memejamkan mata, perempuan itu berkata:
“Bila benar engkau Malin, biar kusumpahi ranjang
dan tubuhku ini menjadi batu.”
Tapi ranjang tidak menjadi batu, dan perempuan itu pun
masih di situ, seakan ada yang masih ditunggu.
(1999)

 

NAIK BUS DI JAKARTA

untuk Clink

Sopirnya sepuluh,
kernetnya sepuluh,
kondekturnya sepuluh,
pengawalnya sepuluh,
perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal kondektur minta ongkos:
“Sialan, belum bayar sudah mati!”
(1999)

 

NAIK ANDONG KEHUJANAN

Andong terguncang-guncang di bawah hujan.
Hujan mengguyur malam, melecut kudaku yang kecapaian.
(Andong: keranda indah yang membawa kita tamasya
keliling kota. Kling klong kling klong.)

Andong: kudanya kurus kering tinggal tulang-belulang,
terseok-seok mendaki jalanan licin berkelok-kelok.
“Hoya! Hoya!” teriak kusir
sambil menyabet-nyabetkan pecutnya.

Kusirnya gundul, gendut dan gendeng.
Enak-enak merokok, minum bir, makan apem.
“Hoya! Hoya!” hentaknya garang
sambil dipecutnya kudaku yang kelaparan.

Andong tertatih-tatih di bawah hujan,
membawa sepasang pengantin ke sebuah kondangan.
Kudanya kurus kering tinggal tulang-belulang,
terengah-engah mendaki jalanan gelap dan basah.
“Hoya! Hoya!” teriak penumpang
membentak kusir yang ketiduran.

Penumpangnya pakai topeng, banyak tingkah, pecicilan.
Yang satu mabuk, yang lain kesurupan.
“Nikmat juga euy naik andong kehujanan,”
kata penumpang edan sambil enak-enak minum bir,
makan lemper, dan dangdutan.

Andong berhenti di kuburan. Pesta kawinan
sudah disiapkan. Dan sudah ada pertunjukan jaran kepang.
“Selamat datang Pengantin,” sambut seorang arwah
penjaga gerbang. Kudaku ketakutan. Melesat minggat
sendirian. Kusir dan penumpangnya ditinggalkan.
(Andong: keranda kosong yang melaju kencang
mencari penumpang. Kling klong kling klong.)

Andong meluncur di bawah hujan. Hujan mengguyur
malam, melecut kudaku yang kesakitan. “Hoya! Hoya!”
gertak kudaku kesetanan, ngebut menembus malam.
(1999)

 

TOILET

(1)
Ia sangat mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain rumahnya.
Ruang tamu boleh kelihatan suram, ruang tidur
boleh sedikit berantakan, ruang keluarga boleh
agak acak-acakan, tapi toilet harus dijaga betul keindahan
dan kenyamanannya. Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci,
tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri.

Bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita,
padahal kita dapat dengan mudah menemukannya,
yakni saat bertahta di atas lubang toilet.
Karena itulah, barangkali, kita mudah merasa waswas
dan terancam bila melihat atau mendengar kelebat orang
dekat toilet, karena kita memang tidak ingin ada orang lain
mengintip wajah kita yang sebenarnya.

Demikianlah, ketika saya bertandang ke rumahnya
tanpa saya tanya ia langsung berkata: “Kalau mau ke toilet,
terus saja lurus ke belakang, putar sedikit ke kiri,
kemudian belok kanan.” Mungkin ia bermaksud memamerkan
toiletnya yang memang mewah. Begitu saya keluar dari toilet,
ia bertanya: “Dapat berapa butir?” Butir apa?

(2)
Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung dan gelisah.
Dengan meringis dan bersungut-sungut ia berjalan
tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet,
wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai,
matanya cerah. “Merdeka!” Sambil senyum-senyum
ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah.

Terus terang saya suka membayangkan yang bukan-bukan
kalau ia berlama-lama di toilet. Apalagi tengah malam.
Apalagi mendengar ia terengah, mengerang, mengaduh,
sesekali menjerit lalu berseru: “Edan!”
Seperti sedang melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan.

O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet
malam-malam untuk mengerami telur-telurnya.
Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur
dan toilet untuk melihat apakah telur-telur mimpinya
dan telur-telur mautnya sudah menetas.
(1999)

 

TOPENG BAYI UNTUK ZELA

Melihat kau tersenyum dalam tidurmu
aku ingin kasih topeng bayi yang cantik untukmu.
Kau pernah bertanya: “Cantikkah saya waktu bayi?”
Sayang, aku tak sempat membuat foto bayimu.
Padahal kau sangat lucu
dan tak mungkin aku melukiskannya.

Di sebuah desa kerajinan aku bertemu
seorang pembuat topeng yang sangat aneh tingkahnya.
Ia suka menjerit-jerit saat mengerjakan topeng-topengnya.
“Anda masih waras kan?” aku bertanya.
“Masih. Jangan khawatir,” jawabnya. “Saya hanya
tak tahan menahan sakit dan perih setiap memahat
dan mengukir wajah saya sendiri.”

Aku sangat kesepian setiap melihat kau
asyik bercanda dengan topeng bayimu.
Kok wajahku cepat tua dan makin mengerikan saja.
Tapi kau berkata: “Jangan sedih, Pak Penyair.
Bukankah wajah kita pun cuma topeng
yang tak pernah sempurna mengungkapkan
kehendak penciptanya?”
(1999)

 

SURAT MALAM UNTUK PASKA

Masa kecil kaurayakan dengan membaca.
Kepalamu berambutkan kata-kata.
Pernah aku bertanya: “Kenapa waktumu kausia-siakan
dengan membaca?” Kau jawab ringan: “Karena aku ingin
belajar membaca sebutir kata yang memecahkan diri
menjadi tetes air hujan yang tak terhingga banyaknya.”
Kau memang suka menyimak hujan, bahkan dalam kepalamu
ada hujan yang meracau sepanjang malam.

Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja dan bertanya
minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang: “Kasih saja saya
beragam bacaan, yang serius maupun yang ringan.
Jangan bawakan saya rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan.”
Kumengerti kini: masa kanak adalah bab pertama sebuah roman
yang sering luput dan tak terkisahkan, kosong tak terisi,
tak terjamah oleh pembaca, bahkan tak tersentuh
oleh penulisnya sendiri.

Sesungguhya aku lebih senang kau tidur di tempat yang bersih
dan tenang. Tapi kau lebih suka tidur di antara buku-buku,
berkas-berkas, yang berantakan. Seakan mereka mau bicara:
“Bukan kau yang membaca kami, tapi kami yang membaca kau.”

Kau pun pulas. Seperti halaman buku yang luas.
Dalam kepalamu ada air terjun, sungai deras di tengah hutan.
Aku gelisah saja sepanjang malam, mudah terganggu suara hujan.
(1999)

 

KEPADA PENYAIR HUJAN

: SDD

Lembut sayap-sayap hujan menggelepar di antara pepohonan
dan rumput liar di remang sajakmu.
Seperti kudengar kepak sayap burung
dari khasanah waktu yang jauh.
Matahari sebentar lagi padam.
Senja hanya diam mengagumi
selendang panjang warna-warni
yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya;
malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya.

Hujan yang riang, yang melenyap pelan
dengan derainya yang bersih,
makin lama makin lirih dan akhirnya lengang.

Tapi kudengar juga hujan yang risau dan parau.
Seperti kudengar seorang musafir
kurus dan sakit-sakitan
batuk terus sepanjang malam
dengan suara serak dan berat,
berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak
yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat.

Musafir itu bikin unggun di atas sajakmu. Aku akan menemaninya.
(1999)

 

SELIMUT

Selimut  telah dilipat.
Dongeng perlu  juga tamat.
Cepatlah  berangkat
walau nafasmu masih tersengal
tersendat.
Musim panas telah datang
mengepak-ngepakkan sayapnya yang lunglai.

Datang pula gagak
mencabik-cabik sprei,
mencari-cari sumber air
di balik bongkahan guling
dan hanya menemukan ular
yang meringkuk melingkar
di bawah bangkai bantal yang terlantar terbengkalai.
Terdengar juga lengking rusa yang terkapar terbantai.

Pemburu liar mondar-mandir mengitari ranjang,
mencari suara di balik belukar.
Dan ketika angin berhembus kencang
semak-semak itu pun terbakar.
(1999)

 

TAHANAN RANJANG

Akhirnya ia lari meninggalkan ranjang.
Lari sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya
dan menjebloskannya ke nganga waktu yang lebih dalam.

“Selamat tinggal, negara.
Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara.
Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.”

Ranjang memang sering rusuh dan rawan kekuasaan.
Penuh horor dan teror. Di sana ada psikopat gentayangan
sambil mengacung-acungkan pistol dan berteriak:
“Tiarap. Kau akan kutembak.”
Kemudian ada yang balik mengancam sambil membentak:
“Angkat tangan. Pistolmu tak bisa lagi meledak.”

Ada yang lari meninggalkan ranjang.
Ada yang ingin berumah kembali di ranjang.
Pada kelambu merah ia baca tulisan:
“Ini penjara masih menerima tahanan.
Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.”
(1999)

 

PERBURUAN

Unggun api masih marak di atas ranjang.
Dua pengelana saling merapat menghangatkan badan.
“Berapa jauh lagikah kita berjalan?”
“Berapa lama lagikah sampai tujuan?”

Langit makin malam. Malam makin mendung.
“Tampaknya kita tersesat.” Lidah api menjilat-jilat.
Mereka kemudian memasang tenda, melanjutkan perburuan.
“Sudah kutempuh perjalanan panjang di rimba ranjang
dan hanya gigil yang kudapatkan.”
“Sudah kurambah seluruh kilometer tubuhmu
sampai ke gua-guanya yang paling dalam
dan tebing-tebingnya yang paling curam
dan hanya labirin yang kutemukan.”

Ketika bangun, tenda sudah rubuh,
unggun sudah padam.
“Kapan hujan turun?”
“Kapan kita pulang?”
Waktu mengkerut di seonggok pakaian.
(1999)

 

DI SEBUAH LUKISAN

Menjelang usia lima puluh
kristal waktu di matanya masih juga utuh.
Seperti dua butir bulan menyala di kerlap kerling.
Seperti dua butir mimpi menyembul di bawah kening.
Seperti dua butir maut? “Bukan!” sergahnya sambil berpaling.

Pelukis itu sudah lelah sebenarnya.
Sudah dibujuknya ia ke sebuah taman,
duduk tenang di bangku panjang dengan latar langit mendung
sebentar lagi hujan. Tapi perempuan di dalam lukisan itu bilang:
”Beri dong langit yang garang, yang merah cemerlang.”

Apa yang lebih merah selain darah?
“Brengsek ah,” pelukis itu berkesah.
Diirisnya urat darah, diratakannya merah pada langit
di atas bukit. Ke sana burung-burung terbang mencari arah.
Dari sana sayap-sayap malam akan merendah.
“Hatiku damai sekarang,” kata perempuan itu riang.
Ia pun memandang ke seberang, ke tempat anak-anak bermain
layang-layang di atas kuburan. Ada juga liuk sungai
di kejauhan, merayap pelan memasuki hutan.

Pelukis itu ingin rebah sebenarnya.
Tapi masih ada sedikit ruang di sudut kanvas
belum terjamah. “Biarkan tempat itu tetap suwung,”
perempuan itu meminta, “ke sana ku akan nyemplung.”
(1999)

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto SIHALOHOLISTICK

SEKEDAR

Sekedar berbagi untuk teman-teman yang mungkin fans pada Joko Pinurbo atau mungkin sebagai bentuk pelestarian

Salam Sastra....

=@Sihaloholistick=

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler