Skip to Content

KUMPULAN PUISI KARYA JOKO PINURBO 2001

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/jokpin2_0.jpg
jokpin2.jpg

SERDADU 

Ketika kau tidur, ada seorang serdadu duduk-duduk di atas
tubuhmu, merokok, main gitar, dan dengan suara sumbang
menyanyikan lagu selamat malam.

Di atas tubuhmu ada serdadu sedang tiduran, menjilat darah
pada pisau, bersiul, kemudian berdiri sambil mengacungkan
senapan. “Hidup revolusi!” pekiknya lantang.

Ketika kau tidur, Sayang, ada serdadu mencari-cari jejakku
di bilur-bilur merah di mahasakit tubuhmu.
(2001)

 

DI POJOK IKLAN SATU HALAMAN

Di pojok iklan satu halaman lelaki itu duduk mencangkung
sepanjang hari, menunggu perempuan yang pernah ia temui
di sebuah mimpi. Kutunggu kau di sudut taman ini.

Ia suka menengadah ke langit, menyaksikan ribuan pipit
mencecar senja dalam cericit, meringkas waktu ke dalam jerit.

Ia mencangkung saja sepanjang hari, lalu tertidur sampai pagi,
sampai seorang perempuan datang membangunkannya.
Aku ingin memperkosamu di taman yang hening ini.
(2001)

 

RONDA

Beberapa hari terakhir ini kampung kami sering dilanda
gangguan keamanan. Pencurian mulai merajalela, bahkan telah
terjadi perampokan disertai penganiayaan. Kepala kampung
memerintahkan agar kegiatan ronda digalakkan karena
tidak mungkin berharap sepenuhnya kepada petugas keamanan.

Malam itu Pak Aman hendak melaksanakan tugas ronda.
Ia warga kampung yang rajin dan setia, meskipun tubuhnya
yang kurus dan tua kurang mendukung gelora semangatnya.
Kalau ronda ia suka memakai topi ninja berwarna hitam,
mungkin untuk sekadar gagah-gagahan. Tapi malam itu
ia tidak mengenakannya karena topi kebanggaannya itu hilang
dicuri orang ketika sedang dijemur di depan rumahnya.

Nah, ia memukul-mukul tiang listrik, memanggil-manggil
teman-temannya, namun yang dipanggil-panggil tidak juga
menampakkan batang hidungnya.
Sambil bersiul-siul Pak Aman berjalan gagah ke gardu ronda.
Ia terperangah melihat di gardu ronda sudah ada beberapa
orang pencoleng sedang bermain kartu sambil terbahak-bahak
dan meneriakkan kata-kata yang bukan main kasarnya.
Bahkan ia jelas-jelas melihat salah seorang pencoleng
dengan enaknya mengenakan topi ninja kesayangannya.

“Ada musuh!” seru seorang pencoleng dan kawanan pencoleng
segera bersiaga untuk meringkusnya. Secepat kilat Pak Aman
melompat dan bersembunyi di sebuah rumpun bambu.
Tubuhnya menggigil demi melihat wajah sangar
para pencoleng sampai ia terkencing-kencing di celana.

Tidak lama kemudian muncul serombongan petugas patroli,
hendak memeriksa keadaan. “Bagaimana situasi malam ini?”
tanya seorang petugas. “Aman!” seru orang-orang
di gardu ronda yang sebenarnya adalah para bajingan.

Meskipun ketakutan, Pak Aman tidak kehilangan akal.
Ia punya keahlian menirukan suara binatang, dan ia paling fasih
menirukan suara anjing. Maka mulailah ia menggongong
dan melolong. Para pencoleng yang merasa sangat terganggu
oleh suara anjing serempak mengumpat: “Asu!”
Tapi gonggongan dan lolongan itu makin menjadi-jadi
sampai beberapa orang kampung mulai berhamburan keluar.

Menyadari ada ancaman, kawanan pencoleng yang sedang
menguasai gardu ronda segera lari tunggang langgang.
Dengan terkekeh-kekeh Pak Aman keluar dari tempat
persembunyian dan teman-temannya yang sudah hafal
dengan kelakuannya serempak berseru: “Asu!”
(2001)

 

HAMPIR

Ada sepasang pengemis buta suatu hari datang ke rumah.
Sebelum minta sedekah, mereka bertanya dulu:
“Apakah Tuan sudah kaya?” Aku menimpal: “Hampir!”
Dengan halus mereka mohon diri, kemudian menuju
ke tetangga sebelah yang mungkin saja hampir sisa hartanya.

Kini aku merasa benar-benar sudah mampu. Telah kusiapkan
rapelan sedekah bagi sepasang pengemis buta itu.

Mereka muncul juga akhirnya, tapi langsung menuju
ke tetangga sebelah tanpa minta sedekah dulu ke aku.
Ketika mereka lewat di depan rumahku, samar-samar aku
mendengar suara: “Tidak usah ngemis ke tuan yang satu ini.
Kasihan, dia hampir miskin. Besok saja kalau dia hampir mati.”
(2001)

 

LOPER KORAN

Pagi-pagi sekali loper koran itu sudah nongol di depan pintu,
menaruh koran di pangkuanku seraya berpesan:
“Jangan percaya koran. Koran cuma bohong-bohongan.”

Dan setiap akhir bulan, saat menerima uang langganan,
ia tak pernah lupa mengingatkan: “Jangan percaya koran.
Koran cuma bohong-bohongan.”

Suatu siang loper koran yang tak pernah membaca koran itu
mati ketabrak mobil wartawan. Tubuhnya digeletakkan
di pinggir jalan dan hanya ditutupi selembar koran.
Banyak yang pura-pura sibuk mengurusnya dan, tentu saja,
ada yang diam-diam mengincar dompetnya.

Aku tak tahu siapa yang mengantar pulang jasadnya,
tapi setiap membaca koran aku seperti sedang mengantar
jenazah loper koran yang malang itu, menyusuri gang
demi gang di tengah perkampungan kata-kata yang bising
dan pengap, dan setelah muter-muter seharian akhirnya
kutemukan sedikit tempat untuk menguburkannya.

Setiap Lebaran aku menyempatkan diri ziarah ke makamnya,
menyusuri lorong-lorong gelap di tengah kuburan kata-kata
yang luas dan lengang dan kudapatkan nisan kecilnya
hampir tertutup ilalang. Tak ada bulan di atas kuburan.
(2001)

 

PENAGIH UTANG

Penagih utang itu datang tengah malam.
Ia duduk dengan sopan, kedua tangan ditangkupkan,
baju batiknya yang murahan tampak terlalu kedodoran
untuk tubuhnya yang kurus dan kusam.

“Langsung saja, ada perlu apa?” aku menghentak.
Ia terperangah, badannya mengkerut, dan kopiahnya
yang longgar seakan bergeser dari letaknya.
“Maaf, kalau tidak salah ini sudah jadwalnya.”
“Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya sedang
banyak keperluan. Bapak lihat sendiri brankas saya
sedang ludas, kolam renang belum selesai saya perbaiki,
toilet baru akan saya lapisi emas, isteri belum sempat
saya tambah lagi. Mohon pengertian sedikitlah!”

Tamu itu berkali-kali minta maaf, kemudian permisi.
Sebelum meninggalkan pintu, ia sempat berbisik
di telingaku: “Tidak bikin keranda emas sekalian Pak?”
“Dasar rakyat!” dalam hati aku mengumpat.

Entah mengapa, setiap kali melayat orang meninggal
aku selalu melihat penagih utang itu menyelinap
di tengah kerumunan. Ia suka mengangguk, tersenyum,
namun saat akan kutemui sudah tak ada di tempatnya.
Tahu-tahu ia muncul di kuburan, melambaikan tangan,
dan ketika kudatangi tiba-tiba raib entah ke mana.

Dan orang kaya yang banyak utang itu akhirnya
mati mendadak persis saat sedang mencoba keranda emas
yang baru saja selesai dibuat oleh ahlinya.
Mewakili para pelayat, bapak tua berbaju batik itu tampil
menyampaikan kata-kata belasungkawa.
Dalam sambutan singkatnya antara lain ia mengatakan
bahwa kematian tragis almarhum tetap tidak dapat
menebus utang-utangnya. Namun ia mengajak hadirin
untuk mendoakan arwahnya, memaafkan segala salahnya,
syukur-syukur bersedia ikut menanggung utang-utangnya.
(2001)

 

PENGAMEN

Sepuluh orang pengamen menyerbu bus yang sedang lapar
karena hanya diisi seorang penumpang.
Ia orang bingung, duduk gelisah di pojok belakang
membaca peta yang sudah kumal dan penuh coretan.

Para pengamen yang tampak necis dan gagah bergiliran
memetik gitar dan menyanyi lantang kemudian
memungut uang dari penumpang lalu duduk berurutan.
Setelah semua mendapat bagian, gantian si penumpang berdiri
di depan lantas bernyanyi dan bergoyang.

Bahkan para pengamen berwajah seram terheran-heran
lantas bertepuk tangan karena penumpang itu
ternyata dapat menyanyi lebih merdu dan menghanyutkan.
Selesai melantunkan beberapa tembang, ia memungut uang
dari para pengamen lalu berteriak stop kepada sopir kemudian
melompat turun sambil melepaskan pekik kemenangan:
“Hidup rakyat! Hidup penumpang!”
(2001)

 

MUDIK

Mei tahun ini kusempatkan singgah ke rumah.
Seperti pesan ayah: “Nenek rindu kamu, pulanglah!”

Waktu kadang begitu simpel dan sederhana:

Ibu sedang memasang senja di jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di stasiun mana.
Siapa di kamar mandi?
Terdengar riuh anak-anak sedang bernyanyi.

Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di ruang doa,
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.
“Hei, bajingan kita pulang!” seru boneka singa
yang tetap tampak perkasa, dan menggigil saja ia
saat kubelai-belai rambutnya.

Ayah belum juga datang, sementara taksi
yang menjemputku sudah menunggu di depan pintu.
Selamat jalan nek, selamat tinggal semuanya.
Baik-baik saja di rumah. Salam untuk bapak tercinta.

Di jalan menuju stasiun kulihat ayahanda
sedang celingak-celinguk di dalam becak, wajahnya
tampak lebih tua; becak melaju dengan sangat tergesa.
Dari jendela taksi aku melambai ke ayah,
sekali kukecup telapak tanganku, kulambaikan;
ia pun mengecup tangannya lalu melambai ke aku
sambil berpesan hati-hati di jalan ya.

Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.
“Almarhumah nenekmu kemarin masih sempat
menumpang taksi ini,” ujar pak sopir yang pendiam itu,
yang ternyata bekas guruku.
(2001)

 

RUMAH KONTRAKAN

untuk ulang tahun SDD

Tubuhku adalah rumah kontrakan yang sudah sekian waktu
aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku.
Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa
membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman,
syukur dilengkapi taman dan kolam renang.

Tadi malam si empunya rumah datang dan marah-marah.
“Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk memperbaiki rumah ini.”
“Maaf Bu,” aku menjawab malu, “uang saya baru saja habis
buat bayar utang. Sabarlah sebentar, bulan depan pasti
sudah saya lunasi. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri.”

Pada hari yang dijanjikan si empunya rumah datang lagi.
Ia marah besar melihat rumahnya makin rusak dan berantakan.
“Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk merobohkan rumah ini.”

Dengan susah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak.
Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak.
Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya
sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana.
Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga.

“Orgil, aku tak akan pernah
merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini.”
(2001)

 

SEPASANG TAMU

Di ruang tamu ini, sekian tahun silam, saya menerima
seorang pemuda kurus kering yang datang menawarkan akik.
Saya tidak suka akik. Lebih tidak suka lagi pada bualannya
tentang kesaktian akik. Seberapa pun hebatnya,
akik hanya akan melemahkan iman.
Tanpa basa-basi saya minta anak muda yang tampak
kelaparan itu segera angkat kaki.
Ia pun pamit dengan penuh ketakutan
dan sambil pergi matanya tetap memandang sayu kepada saya.

Tentu bukan karena akik kalau rumah itu terpaksa saya jual
kepada seseorang dan orang itu kemudian menjualnya
kepada seseorang yang lain, demikian seterusnya.
Rumah itu memang angker,
tidak pernah bikin tenteram penghuninya.

Kini sayalah yang duduk terlunta-lunta di ruang tamu ini.
Wah, mewah benar bekas ruang tamu kesayanganku.
Ada pendingin udaranya, ada cermin besarnya,
ada pula lukisan tidak jelas yang pasti sangat mahal harganya.
Cukup lama saya menunggu, tapi si empunya rumah
tidak juga keluar menemui saya. Saya bermaksud
menawarkan obat kuat yang dibuat khusus untuk orang kaya.

Dengan jengkel saya mengintip ke ruang tengah.
Wah, si empunya rumah sedang sibuk bergoyang-goyang
mengikuti irama musik yang ia bunyikan keras-keras.
Setelah saya panggil berulang-ulang dengan suara lantang,
barulah ia sudi menemui saya.

Tidak salah lagi, dia adalah si bekas pedagang akik yang dulu
menghiba-hiba di hadapan saya.
Sayang ia pura-pura tidak pernah kenal saya.

“Masih jualan akik, Pak?” saya coba memancing reaksinya.
Ia menjawab ketus: “Jangan bicara akik dengan saya.
Akik hanya akan melemahkan iman.”
Setelah menimang-nimang seluruh jenis obat
yang saya bawa, dengan sinis ia berkata:
“Maaf, tidak ada yang cocok dengan kapasitas saya.”
Kemudian ia memerintahkan saya segera angkat kaki
dan sebelum saya sempat pamitan ia sudah buru-buru masuk
ke ruang tengah untuk melanjutkan kesibukannya.

Suatu hari saya mendengar kabar bahwa si bekas penjual akik
yang mulai sombong itu sedang terkapar di rumah sakit,
terkena penyakit berat yang entah apa namanya.
Saya menyempatkan diri menjenguknya.
Duh, kasihan juga melihat ia terbaring lemah dengan mata
kadang terpejam kadang terbuka.

Ketika di kamar sakitnya hanya tinggal kami berdua,
saya bisikkan di telinganya: “Rasain lu!”
Serta-merta matanya membelalak dan dengan gagah
ia menimpal: “Prek lu!”
Cukup lama kami beradu pandang, dan kami sama-sama
berusaha tidak tertawa atau malah mengeluarkan air mata.
(2001)

 

PESAN UANG

Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu
cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam
terhadap kemiskinan.”

Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya.
Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama.
Hore, aku telah mengalahkan kemiskinan.
Aku tak butuh lagi masa depan.

Kemudian aku jatuh miskin.
Hartaku amblas, harga diriku kandas.
Kekayaanku tinggal hutang-hutangku.

Ketika aku akan merantau lagi buat cari kekayaan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan kauhabis-habiskan
kemiskinan. Kalau tak punya lagi kemiskinan,
bagaimana bisa mati dengan kaya?”
(2001)

 

OBITUARI BAMBANG

Bambang adalah teman yang periang dan cerdas.
Ia pandai menghibur kita hanya dengan kesederhanaan wajahnya.
Ia cepat memahami isi hati dan pikiran kita
tanpa harus bertanya dan berkata-kata.
Ia selalu tertawa dalam suka maupun duka.
Bila kita menghardik, bahkan mencaci-makinya, ia hanya meringis
dan tersipu sehingga kita malah terharu olehnya.
Kita sering sedih dan menyesal melihat wajah cepat tua,
sementara ia tetap saja awet muda.

Bambang memang teman yang luar biasa.
Sejak kepergiannya, rumah seperti kehilangan jiwa.
Tak ada lagi yang menemani kesendirian dan ketakutan kita
saat kita bersolek di depan kaca.
Tak ada lagi yang menggantikan wajah kita bila kita bosan
melihat wajah yang maya.

Bambang, topeng kita yang pendiam itu, mungkin sudah dibuang
atau disembunyikan oleh entah siapa di antara kita
yang tidak sanggup lagi bersaing dengan keluguannya.
(2001)

 

DANGDUT

(1)
Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut.
Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata
memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut.

(2)
Para pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu
kemudian tertidur di baris-baris sajakmu.
Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan
menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.
Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang: “Aku tidak mabuk.”
Mungkin aku harus lebih sabar menemanimu.
(2001)

 

UTAN KAYU

untuk Godot

Suatu malam di Utan Kayu tak kujumpai engkau,
tak kujumpai siapa-siapa
selain kursi-kursi berjungkiran di atas meja.

Kedai sudah tutup. Malam tinggal sisa.
Kudengar tikus-tikus bermain musik bersama piring,
gelas, sendok. “Kusaksikan tadi pertunjukan besar,”
saudara kucing melaporkan.

Di mana engkau? Biasanya engkau duduk manis
di pojok, minum angin, merokok.
Engkau terlonjak girang bila aku datang:
“Hai, dari mana saja engkau?”

Ternyata engkau sedang termenung di ruang pertunjukan.
Engkau sedang mengumpulkan kembali kata-kata
yang berceceran. Engkau sedang menangis,
mencopot wajah di ruang ganti pakaian.

Malam berikutnya tak kulihat lagi engkau
di bangku penonton. Engkau tak muncul lagi
di panggung permainan. “Hai, ke mana saja engkau?”
Kupanggil engkau berulang-ulang.
(2001)

 

PENJUAL BUAH

Setiap pagi penjual buah itu lewat di kampung kami,
keluar masuk gang sambil melantunkan kata-kata hafalan:
Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya.

Dara-dara remaja senang sekali mendengarnya;
mereka cepat-cepat berdiri di depan cermin dan menyaksikan
bahwa pohon waktu mulai berbuah.
Ibu-ibu muda dengan gembira merubungnya dan merasakan
betapa pohon cinta sedang lebat buahnya.
Hanya perempuan-perempuan tua suka tersenyum kecut
dan kadang ada yang menangis sambil merengek manja:
Kembalikan buah saya kembalikan buah saya.

“Pisangnya masih, Pak Adam?” demikian ibu-ibu setengah baya
suka bertanya, dan sambil tersenyum bangga penjual buah itu
menggoda: “Aduh, kok pisang lagi yang diminta!”

Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya.
Kata-kata ini terus saja diulangnya meskipun segala buah
yang dijajakannya sudah terbeli semua.

Sudah seminggu ini Pak Adam tak muncul di kampung kami.
Kata seorang nenek yang diam-diam mengaguminya,
penjual buah itu tampaknya sudah mendapatkan buahnya buah
yang belum tentu manis rasanya, yang mungkin pahit rasanya.
“Bukan buah sembarang buah,” ujar seorang perawan tua
sambil menikmati apel yang tampak merah dagingnya.
(2001)

 

BERTELUR

Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat.

Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata
yang bisa mengucapkan kita.

Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.

Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.

Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.

Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.

Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah.
Itu bukan telurku!
(2001)

 

KEBUN HUJAN

(1)
Hujan tumbuh sepanjang malam, tumbuh subur di halaman.

Aku terbangun dari rerimbun ranjang, menyaksikan angin
dan dingin hujan bercinta-cintaan di bawah rerindang hujan.

Subuh hari kulihat bunga-bunga hujan dan daun-daun hujan
berguguran di kebun hujan, bertaburan jadi sampah hujan.

(2)
Kudengar anak-anak hujan bernyanyi riang di taman hujan
dan ibu hujan menyaksikannya dari balik tirai hujan.

Pagi hari kulihat jasad-jasad hujan berserakan di kebun hujan.

Airmataku berkilauan di bangkai-bangkai hujan
dan matahari datang menguburkan mayat-mayat hujan.
(2001; salam untuk cerpen “Hujan” Sutardji)

 

PACARKECILKU

untuk Anggra

Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,
menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya
di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu
gumpalan cahaya warna-warni.

Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.
Ketika bangun ia berkata: “Tadi kau ke mana?
Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”
Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan
pelan-pelan membuka matanya.

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.
(2001)

 

BANGUNKAN AKU JAM TIGA PAGI

Sebelum tidur ia selalu berdoa: Bangunkan aku jam tiga pagi. 

Jam tiga pagi mimpi mungkin sudah kembali ke nol lagi.
Ia ingin dengar bagaimana ranjang menyanyikan tubuhnya
dan tubuh menyanyikan sakitnya.

Bahkan aku sudah tiba sebelum jam tiga pagi.
Sudah lama aku menempuhmu, naik-turun di sengal nafasmu,
dan kini aku akan berjaga di tapal batas tubuhmu.

Ia terpejam saja. Menggeliat. Seakan waktu sedang sekarat.

Tubuh besarku tambah riuh dan tak tersembunyikan lagi.
Tubuh kecilku terlindung jauh di relung yang tak terjelajahi.


Ada, selalu, yang akan datang jam tiga pagi, menyalakan waktu
di unggun tubuhmu, menghabiskan seluruh sisa sakitmu.
Bahkan sebelum kau sempat membangunkanKu.
(2001)

 

ATAU

Ketika saya akan masuk ke kamar mandi, dari balik pintu
tiba-tiba muncul perempuan cantik bergaun putih
menodongkan pisau ke leher saya.
“Pilih cinta atau nyawa?” ia mengancam.

“Beri saya kesempatan mandi dulu, Perempuan,”
saya menghiba, “supaya saya bersih dari dosa.
Setelah itu, perkosalah saya.”

Selesai saya mandi, perempuan itu menghilang
entah ke mana. Saya pun pulang dengan perasaan waswas:
jangan-jangan ia akan menghadang saya di jalan.

Apa dosa saya? Saya tidak pernah menyakiti perempuan
kecuali saat saya dilahirkan.

Ketika saya akan masuk ke kamar tidur, dari balik pintu
tiba-tiba muncul perempuan gundul bergaun putih
menodongkan pisau ke leher saya.
“Pilih perkosa atau nyawa?” ia mengancam.
Saya panik, saya jawab sembarangan: “Saya pilih ATAU!”

Ia mengakak. “Kau pintar,” katanya. Kemudian
ia mencium leher saya dan berkata: “Tidurlah tenang
dukacintaku. Aku akan kembali ke dalam mimpi-mimpimu.”
(2001)

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto SIHALOHOLISTICK

SEKEDAR

Sekedar berbagi untuk teman-teman yang mungkin fans pada Joko Pinurbo atau mungkin sebagai bentuk pelestarian

Salam Sastra....

=@Sihaloholistick=

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler