Skip to Content

KUMPULAN PUISI KARYA JOKO PINURBO 2002

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/JOKPIN_0.jpg
JOKPIN.jpg

TIKUS

Banyak orang begitu jijik dan benci pada tikus, tapi perempuan lajang yang tinggal sendirian di rumahnya yang besar itu justru merasa tentram bersahabat dengan tikus-tikus yang mencericit terus tiada hentinya. Entah berapa tikus berumah di rumahnya. Dan setiap hari ada saja tikus mati, lalu dengan sedih ia buang ke selokan.

Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca buku Hidup Bahagia bersama Tikus sementara konser tikus berlangsung terus sampai jauh malam, juga ketika ia sudah nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang selama ini ia sembunyikan dalam ingatan.

Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan ada tikus besar dari kuburan mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus sakitnya. Saat bangun ia menjerit mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku bangkainya!
(2002)

 

RENDEZVOUS

Kau sudah tak sabar menungguku di halaman rumah berdinding putih itu.
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya
sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.

Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu.

Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu.
Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."

Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.
(2002)

 

ANAK SEORANG PEREMPUAN

Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang lelaki yang biasa disebut ayah. Ibu pernah mengaku bahwa dulu ia memang suka kencan dengan banyak lelaki, tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana yang tercetak di rahimnya, kemudian terbit menjadi saya.

Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah pernyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, "Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?"

Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masing-masing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya. Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia.

Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya ini sebenarnya anak siapa? Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala saya, ia menjawab hangat: "Anak seorang perempuan!"
(2002)

 

MATAAIR

Di musim kemarau semua sumber air di desa itu mengering.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.

Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.

Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.
(2002)

 

IBU YANG TABAH

Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.

Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.

Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya, "Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”

Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis, menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu penting," pesannya berulang-ulang.

Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”
(2002)

 

TELEPON GENGGAM

Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.

Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.

Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.

Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.

Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?

Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.

Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.

Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.

Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa.

Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya.

Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
(2002)

 

TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU

untuk Wibi

Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”

Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”

Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
(2002)

 

BOLONG

Bahkan celana memilih nasibnya sendiri:
ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat
belajar bugil dan mandi.
“Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil
yang tampak pemalu tapi hebat.”

Entah berapa pantat telah ia tumpangi,
berapa kenangan telah ia singgahi,
sampai suatu hari aku menemukannya kembali
di sebuah kota, di sebuah kuburan.
“Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,”
kata perempuan tua penjaga makam.

Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu
dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!”
Aku termenung melihat seorang bocah
di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana
yang sudah bolong di bagian tengahnya.
(2002)

 

PENJUAL CELANA

Konon ia seorang veteran, bekas pejuang kemerdekaan,
sehari-hari bergiat sebagai pedagang celana di sebuah pasar
di dekat kuburan di pinggiran kota.
Orang-orang sangat suka membeli celana bikinannya
karena terjamin kwalitetnya, sangat enak dipakainya,
terkenal sejak 1945.

Mentang-mentang pakai celana serdadu, penjual celana itu
tiba-tiba menjadi sombong dan pura-pura lupa sama aku.
“Anda dari kampung ya?” ejeknya ketika aku sibuk
mencoba-coba berbagai celana dan tidak juga membelinya.

“Semua celana itu palsu. Yang asli cuma ini,” katanya
sembari menunjuk-nunjuk celananya sendiri.
Ia tertawa hebat ketika aku berniat membeli celana antik
yang dipakainya, berapa pun harganya.
Ia bertahan: “Jangan. Ini celana perjuangan.”

Ketika sekian tahun kemudian kami bertemu lagi
di sebuah rumah sakit jiwa di dekat kuburan di pinggiran kota,
bekas serdadu itu mengaku bahwa celana loreng
yang dibanggakannya itu sebenarnya palsu dan ia menyesal
mengapa dulu tidak menjualnya ke aku.
Celana itu sudah dibeli seorang kolektor kaya
yang gemar mengumpulkan berbagai macam benda pusaka.
(2002)

 

PENYAIR KECIL

untuk Nur

Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai-rangkai kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
“Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah, Ibu tidur saja
di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.”

Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa
melihat penyair-kecilmu tertidur kedinginan
di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.
(2002)

 

MAMPIR

Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
(2002)

 

BAYI MUNGIL DI KAMAR MANDI

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku.

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku.

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.
(2002)

 

LUKISAN BERWARNA

untuk Andreas dan Dorothea

Hujan beratus warna
tumpah di hamparan kanvas senja.

Pohon-pohon bersorak gembira
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.

Burung-burung bernyanyi riang,
terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.

Dua malaikat kecil menganyam cahaya,
membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.

Airmata beratus warna kautumpahkan
ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
(2002)

 

PENUMPANG TERAKHIR

untuk Joni Ariadinata

Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.

Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang.

Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.

Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”

Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.

Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
(2002)

 

AKU TIDUR BERSELIMUTKAN UANG

Aku tidur berselimutkan uang.
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.
(2002)

 

PENJAGA MALAM

Penjaga malam itu masih setia menjaga rumah besar
yang tak pernah dihuni pemiliknya.
Ia sangat mencintai rumah kosong itu,
bahkan merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.

Suatu malam ia berhasil menangkap seorang penjahat
yang berusaha masuk ke rumah itu tanpa seizinnya.
Ia tidak rela rumah itu diganggu karena, ya itu tadi,
ia merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.

Keesokan harinya penjaga malam itu tak kelihatan lagi
batang hidungnya. Ia sudah ditangkap polisi
karena telah menghajar pemilik rumah yang dijaganya.
(2002)

 

GADIS ENAM PULUH TAHUN

Gadis enam puluh tahun berdiri di ambang jendela,
berbincang-bincang dengan senja.
Senja menggerayangi wajahnya, dan ia merasa
sorot senja sangat menyilaukan matanya.
"Ngapain ngeliatin gue melulu? Ntar gue colong mata lu!"
Senja meredup, kemudian angslup ke pelupuknya.

Demikianlah, setiap berangkat bermain layang-layang
di kuburan, aku melihat gadis buta itu sedang berdiri
di ambang jendela, berpacaran dengan senja,
dan sorot senja memancar dari kelopak matanya.
(2002)

 

DOA MEMPELAI

Malam ini aku akan berangkat mengarungimu.
Perjalanan mungkin akan panjang berliku
dan nasib baik tidak selalu menghampiriku
tapi insyaallah suatu saat
bisa kutemukan sebuah kiblat
di ufuk barat tubuhmu.
(2002; kado buat Ade & Fajar)

 

JURANG

Berputar-putar di rimba ranjang, mencari jalan setapak
menuju tubuhmu yang terjal dan curam, sementara hari
mulai gelap dan hujan sebentar lagi datang, awas ada
penjahat siap menghadang, akhirnya aku tersesat
dan terperosok ke dalam jurang.
Tubuhmu terlindung jauh di luar ranjang.
(2002)

 

PERIAS JENAZAH

Untuk terakhir kali perempuan cantik itu akan merias jenazah.
Setelah itu selesailah. Ia sangat lelah setelah sekian lama
mengurusi keberangkatan para arwah .

Kini ia harus merias jenazah seorang perempuan
yang ditemukan tewas di bawah jembatan, tidak jelas
asal-usulnya, serba gelap identitasnya, tidak ada yang sudi
mengurusnya, dan untuk gampangnya orang menyebutnya
gelandangan atau pelacur jalanan, toh petugas ketidakamanan
bilang ah paling ia mati dikerjain preman-preman.

Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan malang itu.
“Biar kurias parasmu dengan air mataku hingga sempurna ajalmu.”

Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal dunia
dan tak ada yang meriasnya.
Jenazahnya tampak lembut dan cantik, dan arwah-arwah
yang pernah didandaninya pasti akan sangat menyayanginya.

Kadang perias jenazah itu diam-diam memasuki tidurku
dan merenungi wajahku. Seakan ia tahu bahwa aku
yatim piatu, tidak jelas asal-usulnya, serba gelap identitasnya.
Kulihat wajah cantiknya berkelebatan di atas ranjang kata-kataku.
(2002)

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto SIHALOHOLISTICK

SEKEDAR

Sekedar berbagi untuk teman-teman yang mungkin fans pada Joko Pinurbo atau mungkin sebagai bentuk pelestarian

Salam Sastra....

=@Sihaloholistick=

Foto Fildzah Ruriana Patisina

TERIMA KASIH

Terima kasih atas postingan ini, saya fans dari Mas Joko Pinurbo dan ini sangat memberi kesempatan bagi saya membaca puisi-puisinya

Foto Fildzah Ruriana Patisina

TERIMA KASIH

Saya salah seorang penggemar karya Joko Pinurbo merasa senang dengan posting ini

Foto SIHALOHOLISTICK

SEMOGA

Semoga postingan ini memberikan kepuasan tersendiri dalam menikmati karya-karya Mas Joko Pinurbo

Salam Jendela Sastra/Media Sastra Indonesia

=@Sihaloholistick=

Foto Fildzah Ruriana Patisina

terima kasih... kemarin baru

terima kasih... kemarin baru saja aku mengikuti diskusi puisi bersama Jok Pin di acara Festival Sastra Basabasi 2017.

Bagi teman yang ingin mendapatkan buku puisi Joko Pinurbo edisi tanda tangan, WA saya di 089615671902

Foto Fildzah Ruriana Patisina

Saya pernah melakukan

Saya pernah melakukan teaterikal puisi dengan puisi karya Joko Pinurbo dan alhamdulillah apresiasi penonton sangatlah luar biasa .
Karyamu akan selalu dikenang

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler