Skip to Content

PROSES KREATIF: MENCIPTA ‘LATAR’ DENGAN INDRA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Teguh Puja

Ada satu hal yang tak bisa dihindarkan ketika kita membaca satu tulisan, terutama dalam cerita pendek atau novel. Selain karakter dan pemaparan karakteristiknya, latar atau setting juga seringkali menjadi satu yang juga penting untuk diperhatikan. Membangun latar sebenarnya tidaklah terlalu sulit, karena dengan memanfaatkan indra yang kita punya, kita bisa mengeksplorasi dan mengangkat emosi pembaca agar menjadi lebih mudah memahami apa yang tengah kita hadirkan dalam imajinasi dan benak pembaca kita.

Latar ini punya banyak sekali peranan dalam tulisan, ia berguna untuk memperkuat tema, menuntun watak karakter, dan membangun suasana cerita. Maka, apabila kita bisa menyiapkan latar cerita yang kita tulis dengan cermat, maka kemungkinan cerita kita membekas di pembaca kita akan menjadi lebih kuat.

Sebuah cerita umumnya memiliki dua macam latar, yaitu: latar secara fisik dan latar secara kronologis (berurutan). Latar secara fisik adalah tempat di mana cerita terjadi (where the story takes place). Formulasi dari latar fisik ini dapat kita paparkan dengan bebas, misalnya, di sebuah sekolah, di sebuah rumah ibadah, atau bisa juga lebih spesifik, misalnya, di Universitas Trisakti, atau di depan gedung MPR/DPR.

Demikian pula, latar secara kronologis (when the story happens) dapat saja dikatakan atau kita tuliskan seperti ini, ‘pada akhir bulan Desember di malam hari yang dingin mereka memutuskan untuk bersama’ adalah bentuk penceritaan latar waktu yang umum. Sedangkan secara spesifik, bisa kita ungkapkan seperti ini, ‘pada tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi dibacakan di Jakarta oleh Bung Karno dan Bung Hatta’, misalnya.

Latar sebaiknya dideskripsikan secara spesifik dan juga diiringi detail yang proporsional untuk membuat cerita seolah-olah nyata terjadi, mengatur mood dan suasana yang diinginkan agar pembaca juga ikut merasakan apa yang tengah kita ‘panggungkan’ dalam pikiran-pikiran pembaca kita. Tidak jarang latar pun bisa kita gunakan sebagai  sumber konflik cerita, misalnya cerita fiksi yang bercerita tentang bencana alam atau peristiwa-peristiwa tertentu yang lekat dalam ingatan, seperti riwayat-riwayat atau kejadian tertentu di sekitar kita.

Pilihan penulis untuk mempergunakan latar seperti apa, sangat penting untuk dicermati. Apakah penulis memang sengaja tidak mempergunakan latar yang spesifik agar ceritanya menjadi lebih universal dan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, ataukah penulisnya memang secara sengaja mempergunakan latar yang spesifik karena cerita menuntutnya demikian.

Untuk membuat latar, kita bisa mempergunakan dan mengeksplorasi indra yang kita miliki. Mulai dari indra pendengaran, penglihatan, dan penciuman kita. Karena dengan menghadirkan apa yang tertangkap indra kita, pembaca pun bisa ikut merasakan dan dekat dengan apa yang tokoh kita ‘hadapi’ di dalam ceritanya.

Sebagai contoh, untuk menggambarkan latar, kita bisa mengeksplorasi apa yang kita dengar dan menggiring pembaca untuk membayangkan ‘kapan’ dan ‘dimana’ latar itu ditunjukan melalui deskripsi yang kita buat.

 “Tidurlah, Nak. Kamu akan membutuhkan itu.”

Aku menggangguk. Lalu Bapak mengantarkanku ke kamar yang dulu pernah dipergunakan anaknya, dimintanya aku untuk beristirahat di sana. Aku haturkan terima kasih yang tak terhingga untuknya. Gegas aku baringkan tubuhku di atas ranjangnya. Sembari berusaha untuk tidur dan tak memikirkan perihal Bapak dan anak-anaknya.

Pintu kamar sudah tertutup. Namun suara-suara yang ada di baliknya masih dapat kudengar. Nyala siaran radio yang Bapak hidupkan mengisi keheningan malam. Lamat-lamat kudengar Bapak menangis di tengah-tengah siaran radio yang didengarnya. Bapak jelas kesepian dan tak seorang pun anak-anaknya mendengar tangisnya. Tak ada seorang pun yang terlihat peduli dengan kondisinya. Mereka tak pernah tahu karena mereka pun tak pernah ada. Kutarik bantal yang ada di dekatku dan kubenamkan kepalaku di sana. Dan tak lama setelah itu aku tertidur. (Tak Sempurna)

Dengan menggunakan indra kita, kita bisa menghadirkan satu panggung cerita yang juga bisa diraba dengan mudah oleh pembaca. Deskripsi mengenai itu, pendek atau panjang, lengkap atau samar, bisa diatur sekehendak kita, sesuai dengan apa yang kita harapkan diterima oleh pembaca. Apa yang kita dengar, apa yang kita lihat, apa yang kita cium, apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan adalah pondasi awal yang bisa kita jadikan sebagai awal dari tulisan kita. Bahan untuk menulis sesunggguhnya sangat banyak dan tidak pernah habis. Eksplorasi indra yang kita punya dan ‘bagi’kan itu kepada orang lain.

Dalam ‘Menawar Kesaksian‘, saya coba menghadirkan satu bentuk panggung penceritaan tentang satu fenomena yang terjadi di masyarakat kita, tentang kesurupan. Saya bawakan ceritanya dari sudut pandang orang pertama dan membiarkan ‘aliran pikiran’ tokohnya bercerita tentang apa saja yang didengar, dilihat, dipikirkan dan dirasakan tokoh itu dengan kondisi yang ada di sekitarnya. Latar (fisik) tempat dan (kronologis) waktunya saya hadirkan terpisah-pisah. Latar fisiknya adalah kelas-kelas yang ada di sekolah dan latar waktunya ketika masih berlangsung kelas belajar mengajar siswa.

Tidak biasanya kursi-kursi yang ada di depanku ini kosong, tak pernah seperti ini sebelumnya. Keadaan kelas yang awalnya khidmat kini tengah dirundung kepanikan. Semua orang berteriak ketakutan. Beberapa perempuan bahkan telah lama pingsan, yang lelaki pun juga tidak kalah hebohnya, berlarian mereka ke sana kemari mencari tempat terbaik untuk berlindung dari bisik-bisik yang semakin lama semakin penuh dengan caci maki, yang kemudian berganti dalam rupa teriakan-teriakan yang menyesakkan dada.

Beberapa orang tiba-tiba berlaku aneh dan berbicara bahasa yang tak bisa aku mengerti. Ada yang mengumpat dengan bahasa yang tak pernah kami dengar sebelumnya. Mata-mata mereka entah mengapa terasa aneh. Yang aku tahu, mata mereka normal, berwarna hitam, tapi sekarang tidak lagi seperti itu. Kesadaran mereka hilang. Mata mereka membelalak dengan tatapan yang sangat menakutkan. Kekuatan mereka menjadi lebih dari biasanya.

Guru-guru dari sisi lain sekolah berdatangan. Di tangan mereka, kulihat kitab suci tergenggam dengan kuat. Rasanya seperti melihat para pembela Tuhan yang sedang bersiap menghalau setan dan iblis di hadap mereka. Beberapa sibuk berdzikir, mengucap nama-nama Tuhan, lantunan-lantunan ayat suci pun terus menerus dikumandangkan, meski dengan suara yang tertahan di ujung lidah mereka, sebab takut yang juga mengisi hati-hari mereka.

Mereka yang masih sadar masih saja berlarian, kebingungan. Tak tahu harus melakukan apa lagi untuk mengatasi kegelisahan yang ada dalam hati mereka. Mereka takut, mereka akan bernasib sama seperti orang-orang yang kini tengah berlaku aneh, dan tak sadar dengan dirinya sendiri itu.

Lalu mengapa aku tak ikut berlari atau mencari tempat lain? Entahlah. Aku rasa tak ada gunanya juga ikut panik dan gelisah seperti mereka. Kalau pun ya aku nantinya akan tak sadarkan diri. Mungkin itu memang sudah menjadi bagianku.

Ini sudah menjadi hari kesekian aku melihat kejadian yang serupa, semua orang di sekolah ini pun sepertinya lambat laun sudah mendapatkan bagiannya, tak lelaki, tak perempuan, semua tetap juga pernah ‘kehilangan akal’ dan ‘berubah’ menjadi pribadi yang berbeda. Awalnya aku takut. Ya, gelisah juga. Tapi ketika hal seperti ini terus berulang hampir setiap pekan, aku pun menjadi mafhum dan maklum. Sepertinya setan-setan itu senang berganti wadah, mencari sesiapa saja yang semakin berlumurkan dosa setiap harinya.

Menarik, bukan? Latar bisa kita tuliskan dengan mengedepankan indra yang kita miliki. Namun, bila memang ingin penceritaannya lebih kuat, akan menjadi lebih baik untuk membuat riset terlebih dahulu mengenai latar yang kita gunakan. Bila kita ingin menuliskan deskripsi sebuah kota yang belum pernah sekalipun kita datangi, riset adalah satu hal yang patut kita perhatikan.

Tidak ada alasan untuk tidak menulis. Semua hal yang ada di sekeliling kita adalah bahan baku utama yang bisa kita kemas menjadi panggung-panggung cerita baru. Sesekali, duduklah, diam dan perhatikanlah apa yang nampak, karena dengan mengambil jeda seperti itu, kita bisa melihat dunia dengan ‘sudut pandang’ yang berbeda. Cobalah.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler