Skip to Content

PROSES KREATIF: MENTAL FACT DAN HARD FACT

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Teguh Puja

Mari berbincang mengenai karya sastra dan konsep ‘fakta’ di dalam studi sastra. Satu kata yang sepertinya dari masa ke masa selalu mengalami perdebatan. Ada perbedaan pikiran, ada perbedaan nilai, dan hal-hal lain yang tak berkesudahan.

Apakah ‘fakta’ yang dituliskan dalam sebuah karya harus selalu sesuai dengan apa yang ada di dunia nyatanya? Atau apakah ‘fakta’ yang dipaparkan oleh penulis harus selalu benar dan memang ada dan kita temukan di keseharian kita? Atau apakah boleh ada unsur imajinasi dalam tulisan kita, yang nantinya bergabung dengan ‘fakta’? Jawabannya akan kita bahas satu per satu.

 

MENTAL FACT/MENTIFACT DAN HARD FACT

Dalam studi sastra, dikenal dua jenis fakta, pertama ada mental fact/mentifact dan hard fact.

1. Hard Fact

Hard fact adalah fakta yang nyata, objek, peristiwa, atau segala sesuatu yang didasarkan pada apa yang sudah terjadi, something happened, atau sesuatu yang sedang dan tengah hangat, something happening. Peristiwa yang terjadi pada 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Indonesia, adalah salah satu fakta yang berdasar dari apa yang sudah terjadi. Lalu, kepemimpinan Jokowi dan Ahok, misalkan. Masih berlangsung. Itu fakta yang berdasarkan dari apa memang tengah berlangsung. Kedua contoh itu adalah contoh dari hard fact, fakta yang nyata, yang bisa kita lacak dan kita cari kebenarannya.

2. Mental Fact/Mentifact

Mental fact/mentifact adalah fakta-fakta yang telah kita olah sedemikian rupa di dalam pikiran, dan kita berikan atau kita masukkan unsur imajinasi di dalamnya. Masih menggunakan contoh di bagian sebelumnya, kita bisa membuat cerita dengan menggunakan hard fact yang kita ketahui dan menjadikannya sebagai mentifact.

HARD FACT –> MENTI FACT

Agar lebih mudah memahami proses perubahannya, saya berikan ilustrasi dari apa yang sudah saya lakukan di beberapa tulisan yang saya punya. Di dalam tulisan yang berjudul Harga Mati, saya menulis mengenai peristiwa monumental, kemerdekaan Indonesia, dan upaya beberapa orang yang memperjuangkannya. Di dalam tulisan itu, saya menuliskan nama-nama yang telah lazim kita ketahui peran dan keberadaannya, dan juga saya tuliskan nama tempat yang sama, yang menjadi latar dari cerita yang saya buat.

Penggunaan nama Renggasdengklok sebagai latar tempat. Dan penulisan nama Soekarno dan Hatta jadi salah satu proses dari perubahan itu. Soekarno dan Hatta, keduanya adalah tokoh yang memang ada pada kenyataannya. Keberadaan mereka adalah hard fact; fakta yang benar nyata dan bisa kita buktikan keabsahannya. Kita bisa lacak dan cari informasinya. Namun, dialog dan detail lain yang saya tuliskan, tidak lebih hanya sekadar bagian dari proses imajinasi yang saya lakukan untuk menggambarkan apa yang “mungkin” terjadi pada malam-malam sebelum hari kemerdekaan Indonesia.

Apakah detail-detail itu memang sesuai seperti yang sesungguhnya terjadi? Apakah dialog dan narasi yang dituliskan sama dengan kejadian yang sebenarnya? Jawabannya tentu tidak. Tapi, itu semua tidak kemudian akhirnya membuat peristiwa sejarah itu menjadi tidak benar, karena menyalahi atau menjadikan peristiwa yang ada itu jadi berubah. Tulisan ini adalah semata-mata karya fiksi. Itu mengapa tulisan ini pun harus diperlakukan tak ubahnya seperti karya fiksi lainnya. Narasi dan detail yang saya tuliskan, saya fungsikan untuk memaksimalkan pesan dan maksud yang ingin sampaikan. Proses kreatif ini yang kemudian membuat hard fact yang ada dalam tulisan kita sebut sebagai mentifact.

.

Tiga hari yang lalu, terdengar lirih dari kedua orang temanku mengenai rencana yang akan kami lakukan beberapa hari ke depan. Sudah saatnya negeri ini merdeka, dan kemerdekaan bukanlah hal yang harus kami tunggu lebih lama lagi. Sudah cukup negeri ini menderita di bawah kaki-kaki yang selama ini menginjak kami. Sudah saatnya negeri ini menjadi negeri yang bebas menentukan kehendaknya.

Beberapa orang sudah mempersiapkan dengan baik rencana ini, kami hanya tinggal menyelesaikannya. Ini akan menjadi detik-detik yang bersejarah bagiku dan juga bagi negeri ini. Semua detail dari rencana yang disiapkan sudah aku ingat baik-baik. Pada waktunya nanti tentu ini akan menentukan bagaimana sejarah negeri ini akan dibangun.

“Bagaimana, Ahmad? Kamu sudah siap?”

“Saya akan selalu siap. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk negeri ini.”

“Kamu sudah tentu tahu apa yang harus dilakukan bukan?”

“Siap. Saya, Wikana bersama Chaerul Saleh akan pergi untuk menghadap Soekarno dan juga Bung Hatta.”

“Jangan sampai rencana ini terganggu oleh alasan apa pun. Kamu mengerti kan?”

“Kami akan laksanakan semuanya sesuai rencana.”

Beberapa hari lagi kami akan menghadap Soekarno dan juga Bung Hatta, meminta mereka untuk segera mempercepat proklamasi kemerdekaan untuk negeri ini. Kami akan lakukan yang terbaik untuk negeri ini. Kami siap melakukan apa saja agar segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.

Rumah dan juga kendaraan sudah kami siagakan untuk menyambut kedatangan mereka. Suasana negeri ini memang belum sepenuhnya aman, tentara Jepang masih saja berkeliaran menjaga pos-pos yang ada di jalanan di berbagai tempat. Kehati-hatian sudah menjadi barang penting sekarang.

Waktu rasanya berlalu begitu cepat. Hari ini yang ditentukan sudah datang. Aku, Wikana dan Chaerul segera bersiap untuk mendatangi kediaman Soekarno dan Bung Hatta. Kami pergi dengan penuh harap bahwa kedua tokoh itu akan menyetujui rencana kami untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negeri ini.

Jepang telah kalah oleh pihak sekutu, dan tentu itu adalah kesempatan terbaik bagi negeri ini untuk menyatakan kebebasannya dari penjajahan. Kami tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dengan berdiam diri dan membiarkan sekutu mengganti rezim penjajahan ini dengan kekuasaan mereka nanti. Sudah cukup.

Sepanjang malam kami berbincang dengan kedua tokoh itu agar menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Namun mereka menolak, menurut mereka, ini bukanlah saat yang tepat. Perlu lebih dari satu pihak untuk menjadikan rencana pembebasan negeri ini berjalan lancar dan mereka tidak menginginkan ada pertumpahan darah di saat kemelut ini terjadi.

Kami akhirnya kembali pulang, tapi bukan untuk menyerah begitu saja. Serangkaian diskusi kembali kami buat, dan kami tetap yakin, harus ada sesuatu yang kami lakukan sekarang. Kami harus menculik kedua tokoh itu dan segera mempersiapkan proklamasi untuk negeri ini.

.

Bila dalam tulisan sebelumnya saya gambarkan dan tuliskan seperti itu. Lain lagi saat saya menulis tulisan yang berjudul Tenggelam, beberapa hari sebelum tulisan ini saya publikasikan, Jakarta tengah mengalami musibah, banjir. Beberapa tempat mengalami kesulitan dan Jakarta terendam. Peristiwa seperti banjir ini adalah hard fact, sesuatu yang memang ada dan terjadi. Orang-orang yang tinggal dan bermukim di Jakarta tentu bisa mengkonfirmasi mengenai keadaan ini. Selain itu, dari media pun, kita bisa mengetahui bahwa banjir ini telah dikabarkan secara nasional.

Dalam tulisan ini, saya menjadikan fenomena banjir ini sebagai pondasi hard fact-nya, namun seperti di tulisan sebelumnya, narasi dan juga deskripsi yang saya tuliskan, tidak lebih dari sekadar proses hasil imajinasi yang saya lakukan. Tokoh-tokoh di dalam tulisannya, tak lain hanya adalah karangan saya saja. Mereka tidak pernah ada dan tidak bisa kita lacak. Tapi, meskipun seperti itu, saya hadirkan tokoh-tokoh itu dengan fungsinya tersendiri. Untuk menguatkan pesan dan maksud yang memang saya ingin sampaikan kepada pembaca.

Lelaki itu terpaku memandang bilik kardus yang menjadi rumahnya, rembesan air hujan yang masuk melalui celah-celah atap rumah kardusnya cukup banyak membuat genangan di sekitar tempatnya beristirahat. Beberapa waktu ini hujan telah mengguyur Jakarta dan seperti sudah dimaklumi semua, kota ini kembali terjangkiti penyakit yang masih belum saja sembuh dan pulih hingga hari ini. Di sisi-sisi timur ibukota, rumah-rumah telah benar-benar tenggelam dalam banjir yang cukup tinggi.

Lelaki itu cukup beruntung, rumah dari kardus buatannya tidak sampai runtuh atau tenggelam karena banjir. Sedikit basah rasanya masih bisa ia biarkan. Yang terpenting dalam benaknya, ia masih bisa tetap tidur dan beristirahat meski keadaannya tak juga bisa dikatakan baik-baik saja.

Ia mengingat dengan jelas sejak kapan ia berada di ibukota. Ia mencoba menghitung dengan jarinya. “Sudah lima belas tahun,” ia mendesah sembari mengembuskan udara yang sudah sejak lama memenuhi dadanya dan membuatnya sesak.

Ya, sudah lima belas tahun. Ia hidup menggelandang dan berpindah-pindah tempat. Waktu mengontraknya berbatas waktu, hanya sampai satpol pamong praja menyuruhnya dan orang-orang yang tinggal di sekelilingnya pergi. Rumah-rumah kontrakan yang sebenarnya tak bisa disebut sebagai rumah. Berbilik bambu-bambu yang bisa dengan mudah diruntuhkan. Beratapkan kardus dan sisa-sisa genting yang didapat dari jalanan. Pamong praja ibukota bisa menghancurkan dengan mudah dan cepat.

Dan sudah lima belas tahun hidupnya tak mengalami perubahan. Entah apa yang dicarinya dan entah apa yang dipikirkannya. Bertahun-tahun telah ia habiskan untuk mencari sesuap nasi, tapi seperti tak ada sedikit pun angin segar yang membawanya menjadi sedikit lebih berjaya dibandingkan hari-harinya di desa.

Terkadang ia terpekur, membanding-bandingkan kehidupannya dulu sebelum berada di ibukota. Di desanya, ia masih sanggup makan dan bercanda dengan tetangga-tetangganya. Kesulitan hidup bisa dengan mudah diselesaikan karena ada gotong royong dan rasa welas asih yang tak pernah habis di sana. Sementara di ibukota, ia harus sepenuhnya berusaha sendiri.

Lalu mengapa tak pulang? Itu pertanyaan yang tak pernah hilang dari kepalanya. “Aku malu, hendak kukatakan apa kepada semua yang ada di desa nanti,” begitu jawabannya di saat beberapa kenalannya mengajak kembali pulang ke tempat yang mereka sebut rumah.

Ibukota sudah sepenuhnya memasuki liang kuburnya. Pelan-pelan terendam air hujan yang tak pernah berhenti datang. Perlahan tersapu banjir-banjir yang datang dari banyak tempat. Kata mereka itu banjir kiriman. Kata lelaki itu, “itu banjir buatan dan hasil kita sendiri yang sibuk mencari uang dan tak peduli apa pun yang ada di alam.”

Terkadang selorohnya mengagetkan orang-orang di sekitarnya. Ya, tapi kebanyakan orang pun mengakuinya. “Betul. Tidak patut kita salahkan siapa pun. Nyatanya kita sendiri yang membuatnya.”

*

Menyadari perbedaan antara mental fact dan hard fact ini menjadi penting bagi kita sebagai penulis dan juga sebagai pembaca. Sebagai penulis, kita akan kemudian lebih berhati-hati dalam menuliskan detail, membuat narasi dan deskripsi yang kita buat dalam tulisan. Sebagai pembaca, tentunya kita akan juga menjadi lebih waspada dengan apa yang kita baca. Selain itu, sebagai pembaca kita akan dituntut untuk mempertimbangkan fakta-fakta yang kita temukan dalam karya sastra. Apakah faktanya berupa hard fact atau mental fact. Bila demikian, jelaslah sudah, letak permasalahan dan fungsi ‘fakta’ dalam karya sastra dan ‘fakta’ dalam tulisan non-fiksi seperti sejarah. Jadi tak akan bisa disalahkan, bila penggambaran Arok Dedes yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer mungkin berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh sejarahwan mengenai Arok Dedes. Dan juga tak bisa kita klaim salah dan ‘ngawur’, satu karya dari Ayu Utami misalkan, bila Ayu Utami menuliskan dan memberikan penjelasan yang berbeda dalam Trilogi Bilangan Fu-nya, saat Ayu Utami menuliskan cerita dan pandangannya mengenai Candi Borobudur sebagai ‘axis mundi‘, pusat dunia, dan candi-candi lainnya di wilayah Jawa. Karena proses kreatif yang mereka lakukan, telah mengubah ‘hard fact‘ itu menjadi ‘mental fact‘. Dan itu adalah hak eksklusif penulis dalam semesta kepengarangannya. Mereka punya kebebasan menulis sesuai dengan interpretasi yang mereka rasa perlu untuk setiap tulisan yang mereka buat.

Seperti biasa, pesan di akhir tulisan ini tetaplah sama seperti di beberapa tulisan sebelumnya. Akan menjadi sebuah nilai plus bagi kita sebagai penulis, bila mengetahui lebih banyak dan berkenan belajar lebih luas lagi mengenai apa yang tengah kita lakukan. Segala sesuatu yang terkait dengan proses kreatif semesta kepengarangan kita akan membuat kita menjadi lebih sadar dan matang dengan apa yang kita tulis. Dan itu tentunya adalah sesuatu yang baik, kan? Semuanya saya serahkan kembali kepada masing-masing Anda sebagai penulis.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler