Skip to Content

Sakit yang Penuh dengan Kepalsuan

BRUK!

Aku melemparkan tubuhku ini di tempat tidurrku yang mungkin hampir mau roboh. Namun aku tak memperdulikannya, aku hanya tak bisa lagi menahan tangis yang telah menumpuk di pelupuk mataku ini. Dan akhirnya tangisku pun pecah di balik bantal tanpa henti.

Kenapa kamu menangis? Diriku yang lain bertanya akan apa yang aku perbuat sekarang. Jelas-jelas dia sudah mengabaikan kepercayaan yang telah kamu dan ibumu berikan kepadanya. Kamu tidak kapok dengan kelakuannya itu? Ingat, dia bukanlah makhluk yang suci, bukan pula makhluk yang bisa menghargaimu dan ibumu. Dia hanyalah seonggok daging yang hanya menginginkan kenikmatan semata, yang hanya bisa membuat ibumu menangis tersedu-sedu seakan-akan kehilangan akalnya…

Aku semakin menyesali diriku sendiri sehingga tangisku tak mau berhenti walaupun aku ingin. Semakin aku berhenti, tangisku semakin mengalir begitu deras. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamku dalam hati.

Kring…kring…

Bunyi telpon rumahku berbunyi, dan aku pun tidak tahu siapa yang menelepon di seberang sana. Apakah orang yang selama ini selalu menyakiti Ibuku? Aku tidak tahu yang pasti aku mendengar jeritan ketika telpon itu diangkat oleh Ibu. Aku pun beranjak keluar kamar -meskipun dalam keadaan menangis- dan mencari arah tempat teriakan itu berasal.

“Siapa kamu? Aku tidak ada urusan denganmu. Mau apa lagi kamu menelepon tengah malam begini? Belum puas kamu membuatku dan anakku menderita, heh?” suara ibu begitu keras seperti orang yang sedang marah.

“Apa? Kamu memintaku untuk menceraikan suamiku? Tidak. Itu tidak akan terjadi. Kamu tahu, kenapa aku tidak akan menceraikan suamiku? Itu karena aku ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan sekarang, yaitu menderita dengan semua kepalsuan dan kebohongan yang telah suamiku perbuat padaku dan anak-anakku.” Suara ibu kembali terdengar dan semakin menegang.

Aku melihat ibu menggenggam telepon dengan raut muka yang kukira ibu sedang marah sambil terisak tapi aku melihat sebaliknya, ia begitu tenang, tidak terisak sedikit pun. Namun, wajahnya begitu murung, terlihat menerawang ke tempat dan waktu yang sangat jauh. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan, tapi yang pasti aku bisa melihat seberkas ketakutan di matanya.

“Siapa, Bu?” aku bertanya seolah tidak tahu apa-apa ketika mendekati Ibu. Tapi ibu pun pasti tahu kepura-puraanku. Ia pun menyuruhku tenang dan membiarkanku untuk mendengar percakapannya.

“…kamu mau aku santet, heh?” suara perempuan di seberang sana mengoceh dengan keras, sampai-sampai gendang telingaku mau pecah dengan kalimat terakhir yang ia katakan.

“Silahkan saja jika kamu memang berani” tukas ibu dengan tenang sambil mengusap rambutku.

“Baik. Kalau itu bisa membuatmu menyerahkan suamimu padaku. Tunggu saja.”

Tut…tut…tut…

Begitu suara telepon putus, ibu langsung membanting gagang telepon itu dan langsung memelukku.

“Tenanglah. Ibu akan selalu di sampingmu.” kata ibu seraya mengecup dahiku dengan penuh dengan kasih sayang.

Kenapa ibu bisa setegar itu? Aku tidak melihat setetes pun air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Tapi kenapa aku yang menangis begitu keras? Kenapa? gerutuku dalam hati yang semakin membuatku tidak mengerti dengan semua ini.

 

 

 

 

 

 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler