Skip to Content

Sunshine under the Rain (Part 1)

Disaat tubuh ini melemah dan sakit, terbersit sebuah rindu. rindu akan tubuh yang sehat. rindu pada kegiatan-kegiatan yang menguras tenaga. bahkan rindu dimana tubuh ini bisa merasakan nikmatnya angin pagi menyentuh pori-pori kulit. kini, aku harus bisa menahannya, sampai tubuh ini kembali pada haknya untuk sehat. untuk bisa kembali pada saat-saat  yang menyenangkan. menghabiskan waktu yang terkadang terasa memuakkan. kembali pada hari-hari menyejukkan dan menikmati indahnya kaki ini berjalan di atas tanah.

...

"Apa yang terjadi sampai wajahmu pucat begitu? apakah sakit kepalamu sudah sembuh atau semakin menjadi-jadi?"

"Aku tidak apa-apa. jangan khawatir begitu, kau seperti dokter saja tanya ini dan itu." sahutku tanpa memperdulikan kerutan di keningnya. tapi aku tidak tahan melihatnya menderita karena mengkhawatirkanku begitu. aku pun mencoba meyakinkannya dengan berkata, "percayalah, semuanya akan baik-baik saja."


Laki-laki yang berdiri di hadapanku, tiba-tiba menyentuh kedua pipiku seraya berkata, "Aku tidak mau sesuatu terjadi padamu. jadi, ku harap kau mau menerimaku dan membiarkanku menjagamu."

wajahku mulai memanas dan mungkin sudah berubah warna seperti wortel rebus saking panasnya. aku tidak bisa menemukan suaraku, tenggorokanku tercekat dan merasa jantungku berhenti berdetak ketika menyadari bahwa dia telah menarik tubuhku ke dalam pelukannya.

Aku bisa mendengar debar jantungnya dan nafas beratnya di telingaku. tapi, apa yang terjadi  padanya. kenapa tiba-tiba dia bersikap seperti ini.

"Aku baik-baik saja. kau tidak usah khawatir." ucapku lirih.

dia melepaskan pelukannya dan memandang ke bawah. "tidak. kau tidak baik-baik saja. aku tahu apa yang kau sembunyikan selama ini." katanya setelah dia mengangkat wajah dan menatapku dengan tatapan, marah?!


Aku terpaku menatap matanya yang seram itu. aku pun mengalihkan pandanganku dan tersenyum hambar.

"Kau tahu sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu."

aku bisa melihat dia mengerutkan kening. mungkin dia bingung dengan ucapanku. "hmm, kau tidak tahu apa-apa karena aku tidak menyembunyikan apa pun darimu." kataku berusaha mencari kepercayaannya.

"Baiklah, kalau kau siap mengatakannya padaku, aku akan ada di hadapanmu untuk mendengarkannya." sahutnya seraya mengangkat tangannya dan menyentuh kepalaku. kini, aku bisa melihatnya tersenyum. senyum yang menenangkan hati, dan membuatku melupakan sejenak beban berat di pundakku.

"Aku antar kau pulang." serunya tenang meski sikapnya agak berbeda.


Rasa canggung timbul di antara kami berdua ketika kami menuju luar gedung.
"dimana mobilmu terparkir? aku ingin cepat-cepat pulang." seruku dibuat riang mencoba memecah suasana itu setelah kami keluar dari perpustakaan yang cukup padat pengunjung hari ini.

"di basement. kalau begitu, kau mau menungguku di depan sementara aku mengambil mobil?"

"baiklah." sahutku riang. ternyata dia sudah bersikap biasa. syukurlah.

tidak membutuhkan waktu lama, dia sudah ada di depanku dengan mobilnya. aku pun meraih kenop pintu mobil untuk membukanya, tapi tiba-tiba tanganku menjadi lemas. aku pun bisa merasakan hantaman luar biasa di belakang kepalaku. dingin menyergap seluruh tubuhku dan membuatku lumpuh dan terjatuh lemas. dengan kesadaran yang masih tersisa, aku bisa mendengar teriakan samar di telingaku.


"Mba, anda tidak apa-apa?"

aku tidak bisa membuka mataku, aku terlalu takut. lalu...

"ti! tina! kau kenapa?" teriak seseorang. dia...

satu keinginan kuat berkelebat di benakku. dengan perlahan aku pun membuka mataku. aku bisa melihat orang yang memelukku dengan raut muka yang khawatir.

"kau.. hahaha.. buang muka khawatirmu itu, aku tidak apa-apa. ck.." aku segera tersenyum lebar menatapnya. kelihatannya, dia mulai bingung. aku segera bangkit dan meminta maaf pada orang-orang - yang ternyata banyak orang yang sedang mengerubuniku karena menyaksikan adegan itu.

setelah semuanya bubar, aku kembali menatap laki-laki yang sedang menatapku juga.

"kau kenapa? sudahlah, aku mau cepat pulang."

tidak ada respon yang baik kurasa.

"maaf, aku cuma bercanda kok. hmm.."


"JANGAN MELAKUKAN HAL BODOH SEPERTI INI LAGI!" teriaknya tepat di depan mukaku.

dia marah..

"maaf." lirihnya sementara dia menundukkan kepala dan memandang ke bawah. aku tidak bisa melihat wajahnya ketika tiba-tiba dia membukakan pintu mobil untukku. awalnya aku enggan untuk masuk, tapi dia menunggu di sana masih memegang pintu mobil. meskipun dia tidak berkata apa-apa bahkan dia tidak memandangku, aku masuk dengan perasaan aneh.
dia menutup pintu mobil dan berlari menuju pintu mobil kemudi. dia pun masuk, dan menyalakannya.

sepanjang perjalanan pulang, tidak ada satu pun kata yang keluar di antara kami berdua. hingga saatnya aku harus turun di depan rumahku.

"maaf." katanya di belakang bahuku. aku pun berhenti melanjutkan kegiatan membuka pintu mobil. aku berbalik dan berusaha menyunggingkan senyumku yang mungkin akan terlihat aneh.

"kau.. tidak berubah ya. kau langsung minta maaf begitu. hm.."


"Hmm.. kau benar. mungkin karena aku tidak bisa bertahan dengan situasi yang serba salah dan diam seperti tadi." jawabnya dengan senyum yang ditujukan padaku.
aku pun tak ragu membalas senyum manisnya. syukurlah..

"kalau begitu, aku masuk dulu. untuk hari ini, terima kasih banyak sudah menemaniku."

"ti."

"ya?"

"besok siang kau ada waktu? kau tentu tahu kalau aku tidak biasa makan sendirian. kau tidak keberatan aku menjemputmu di tempat kerjamu besok?"

"apakah kau mengajakku kencan?"

"begitulah. mungkin."

"aduh, tapi maaf sekali. besok aku ada janji makan siang dengan ayahku. eum.. bagaimana kalau besok lusa? aku bisa menemanimu makan siang."

terlihat wajah yang murung di sana. aku tidak bisa membiarkannya lebih lama. tapi apa boleh buat, besok aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya. aku harus pergi ke suatu tempat.

"maaf." lirihku penuh dengan penyesalan.


Esok harinya..

aku tidak bisa berhenti memandangi isi surat keterangan dari dr. mario sambil duduk di salah satu bangku taman rumah sakit. selama ini belum pernah aku membayangkan akan mengidap penyakit bawaan ini, karena aku tidak pernah merasakan tanda-tanda penyakit ini dalam tubuhku. aku tidak bisa menahan air mata yang memaksa keluar. aku membiarkan air mata itu membasahi kertas putih dalam genggamanku sehingga memudarkan tinta hitam di dalamnya. dan aku pun berharap hal itu bisa menghapus rasa sakit ini yang mungkin akan terus menggerogoti tubuhku. namun, apalah daya. penyakit ini akan terus menyiksaku.

terdengar dering lagu as long as you love me dari ponselku, tanda seseorang meneleponku. aku membuka flapnya dan melihat sebuah nama di layar. aku tidak mungkin menjawab telepon dalam keadaan seperti ini. ingin aku merejectnya, tapi apa yang kubuat?! aku malah menekan tombol dial.

"halo."

terdengar suara di sebrang sana. aku pun segera menghapus air mataku dan berdeham seraya berkata, "hai."


"Apa yang terjadi dengan suaramu?" tanyanya di sebrang sana.

"oh, sepertinya aku kena pilek. ngomong-ngomong ada apa kau meneleponku? jangan bilang kau akan memaksaku untuk menemanimu makan siang. hahaha" tawaku terdengar sengau di telingaku sendiri. aku pun melanjutkan, "kalau begitu kau ada dimana sekarang?"

"hm.. ayahmu?"

"oh, beliau membatalkan janjinya karena punya gebetan baru. lagi pula aku sedang kelaparan sekarang." rajukku.

"oh, oke. aku tunggu di tempat biasa kita makan dulu, di depan gedung SMA kita."

"what? ngapain makan di san.."

"aku rindu masa-masa kita sekolah dulu."

"baiklah. aku ke sana sekarang. pesankan makanan untukku ya, biar langsung kumakan habis. hahaha.."

bip..

apa yang harus kulakukan dengan keadaanku yang acak-acakan begini?!


Aku menatap bangunan tua yang masih kokoh hingga saat ini, meski renovasi telah terjadi di sana-sini. sekolahku, tempatku belajar dulu sekaligus tempat bermain yang sangat menyenangkan. guru-guruku yang dirindui, ingin sekali kusapa mereka satu per satu. merasakan peluk-cium yang hangat, meski terkadang aku mengingat rasa sakit di telingaku, tubuhku yang pegal setengah mati akibat harus lari pagi setiap hari, dan panasnya terik matahari sambil menatap bendera kebanggaanku yang berkibar di langit sana. itu semua karena ulahku sendiri. dan senyumku mungkin akan melebar jika mengingatnya seperti saat ini.

beep..

Aku segera merogoh saku celanaku. sebuah sms muncul di layar setelah aku membuka flap ponsel.

from rama : jgn bngong sj, cpt msuk! baksony kbru dngin n aq jg klpran krn mnggumu.

to rama : y y y. jgn mkan pnyaku!

dengan sedikit kesal, aku membalikkan badan dan masuk ke dalam kantin kecil yang sudah tak asing lagi untukku.

ketika aku melangkah masuk, aku langsung bisa menemukannya. namun, dia tidak sendiri.


Aku menatap kedua orang yang duduk di sana. sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang membuat mereka tersenyum satu sama lainnya. aku terkejut ketika rama menatapku dan tersenyum seperti biasa. dia melambaikan tangan. aku pun membalasnya dan segera bergabung dengan mereka.

"permisi. bolehkah saya bergabung bersama anda berdua?"

dengan seketika, orang yang berada di hadapan rama menoleh ke arahku. aku tersenyum lebar.

"tina?" tanya pak hendra.

setelah menjabat dan mencium tangannya aku berkata, "ya, pak. saya tina. anak yang sering bapak hukum di lapangan. boleh saya bergabung di sini, pak?"

"oh, ya. tentu, silahkan."

"terima kasih, pak." tukasku lalu segera duduk di antara keduanya.

"ngomong-ngomong, dari dulu kalian bareng-bareng terus dan kompak. kapan kalian berdua akan menikah?"

membutuhkan waktu lama untuk mencerna pertanyaan pak hendra. mungkin rama juga, karena kami berdua saling menatap bingung dan spontan memandang ke arah pak hendra yang sedang tersenyum menatap kami berdua.

"APA???"

 

Kini aku sedang berjalan berdampingan dengan orang yang tadi sama-sama merasa terheran-heran ketika pak Mario mengucapkan pertanyaan yang kami pun tidak tau dari mana pertanyaan itu berasal. Kami hanya saling bertatapan satu sama lain dengan mulut yang sedikit menganga.

Jujur saja, saat itu jantungku pun rasanya ingin meledak mendengar pertanyaan itu meluncur mulus dari mulut beliau. Butuh waktu lama aku menyadari bahwa napasku pun tertahan di tenggorokan. Segera aku mengendalikan diri dan berusaha bernapas dengan normal ketika aku menatap kedua mata Rama yang terlihat bertanya-tanya. Aku sedikit bingung mengapa aku bersikap berlebihan seperti itu. Apakah mungkin karena selain aku, Rama yang menjadi bahan pertanyaannya juga?!

"Oh, ya. Kalian mau menyapa guru-guru lainnya, tidak? Mumpung masih jam istirahat," serunya memecah ketegangan yang mulai merambat ke dalam diriku. Rama juga sepertinya sudah bisa mangendalikan diri dengan sedikit menganggukkan kepala seraya berkata, "Ya, pak. Kita akan mampir setelah menghabiskan bakso kami."

"Kamu yakin mau masuk?" tanyaku sambil menarik lengan kemeja Rama.

Tapi, apa yang kudapatkan? Dia hanya menoleh sebentar ke arahku dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Tanpa menghiraukan ekspresi wajahku yang sedikit aneh, dia langsing menggenggam tanganku dan menarikku masuk ke gadung sekolah lama kami.

 

Ternyata apa yang kutakutkan terjadi. Pertanyaan demi pertanyaan datang silih berganti dari mulut ke mulut, menanyakan hal yang sama yaitu, "Sejak kapan kalian pacaran?" atau "Kapan kalian akan menikah?"

Alhasil, apa yang bisa kami perbuat? Tidak ada selain senyum yang tersungging di bibir kami. Aku pun sedikit menyesali hal tersebut karena seperti yang kita ketahui bahwa budaya Indonesia mengajarkan tentang "Silence is gold, and everything if we silence, it shows that we agree about what we are talking about." Oh, sungguh miris sekali menurutku. Tapi apa yang telah kulakukan barusan adalah hal yang menurutku tabu itu. Entah apa yang mendorongku berbuat seperti itu. Mungkinkah aku tidak ingin membuat suasana menjadi kaku dan mandapati raut wajah orang-orang yang kusayangi begitu sedih? Mungkin.

"Hey, kenapa melamun?" tanya Rama di sampingku.

Kami sedang duduk di taman belakang sekolah yang menjadi tempat kramat bagi kami sejak dulu. Tempat dimana menjadi saksi bisu saat kami berdua kabur di saat jam pelajaran masih berlangsung atau tempat persembunyian saat kesiangan.

"Aku hanya sedang memikirkan tentang sikap diam kita menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka tadi. Aku rasa ada yang salah disini," ucapku setengah melamun.

"Tidak. Tidak ada yang salah karena di taman keramat ini aku akan mengikrarkan sesuatu padamu."

Seketika aku menoleh ka arah Rama berada. Dia sedang menatapku dengan senyum termanisnya. Kemudian, dia bangkit dari duduknya sambil merogoh saku celananya.

Dia kembali menatapku lalu tangannya meraih tangan kananku. Aku mengikuti arahannya untuk berdiri. Namun, sedetik kemudian dia berlutut di hadapanku. Aku sangat kaget dibuatnya. Aku berpikir bahwa dia mulai tidak waras. Aku pun menyuruhnya bangun tapi dia enggan beranjak dari posisinya.

Aku semakin kaget lagi dengan apa yang dia bawa dari balik saku celananya tadi. Sebuah cincin dia sematkan di jari manisku.

"Ternyata pas juga, ternyata kamu benar-benar takdirku, Tina," ucapnya.

 

Sunyi. Tak ada suara yang keluar dari mulutku maupun dari mulutnya. Rama yang sedang berlutut di hadapanku saat ini hanya tersenyum menatap lurus padaku. Jujur saja sejak tadi aku menahan napas sehingga aku harus berusaha keras mencari kekuatanku untuk kembali bernapas karena ini sudah tidak wajar. Aku pun harus segera mengendalikan diriku yang semakin tak karuan menatap kedua matanya. Entahlah, aku tidak bisa berpikir sekarang.

Sayup-sayup aku mendengar gemuruh panjang yang semakin terdengar di antara kami. Aku dan Rama segera mencari sumber suara itu. Dan apa yang kulihat sekarang? Segerombolan guru dan siswa sedang menyaksikan adegan yang kami buat di taman. Rasa panas mulai menjalari wajahku membuatku semakin salah tingkah karena rasa malu. Rama pun demikian. Dia segara bangkit dan melepaskan tanganku. Dia mulai menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal tapi senyumnya belum lepas dari wajahnya.

"Kenapa prosesi lamarannya berhenti?" seru seseorang di antara kumpulan orang-orang itu.

"Kakak, katakan 'Ya'," seseorang berteriak sambil menekan kata 'ya'-nya.

"Aduh.. Jadi teringat masa muda dulu."

"Ya ampun, kalian serasi sekali."

"So sweet..."

"..."

"..."

 

"Akhirnya, kita berhasil terbebas dari mereka. Benar-benar," katanya setelah dia sudah berada di balik kemudi sambil menyalakan mesin.

Ya. Kami telah berhasil keluar dari lautan manusia itu. Dan sekarang kami sudah berada dalam mobil Rama. Aku bisa melihat raut wajah yang tenang di sana. Senyum yang masih terpasang manis di bibirnya meski dia harus fokus pada jalan yang ada di depannya.

"Kamu tidak apa-apa kan, Ti?" tanyanya.

Kenapa kamu melakukan hal ini, Rama?

"Apa?"

Aku kaget setengah mati karena mungkin aku telah mengungkapkan apa yang ada di pikiranku sekarang. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali menanyakan hal yang sama, "Kenapa kamu melakukan hal ini?"

 

 


...)
tunggu kelanjutan ceritanya ya.. ;)

 

Original created by Siti Rohmah Mary

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler