Skip to Content

The Ded Is Dead

Foto LuckyOktaf
files/user/3646/141.jpg
141.jpg

The Dad is Dead

 

            Mentari ku rasa kini tak bersahabat lagi. Seakan membenciku, teriknya serasa mencubiti seluruh tubuhku. Peluhku pun tak henti-hentinya bercucuran. Panasnya menyengat seluruh badan ku yang cungkring ini. Aku bergegas mencari tempat berlindung dari benda yang menyebalkan itu. Ku tepis tubuh ku mendekati pohon beringin yang rindang untuk sekedar beristirahat sejenak. Ku kipaskan topi kumal yang selalu menemaniku disetiap waktu ini pada tubuh ku. Setidaknya agak mengurangi gerah tubuhku. Tiba-tiba aku mendengar suara yang tak asing ditelinga ku. Ah, ada es cendol kesukaan ku. Aku mencari-cari uang dalam saku celana ku. Yang ku temukan hanya recehan-recehan lima ratusan dan uang kertas seribuan. Itupun hasil ngamen ku hari ini. Ku terpaksa membasahi tenggorokan ku yang kering keronta ini dengan air liur ku. Kalau aku membelinya, aku bisa tak makan besok. Ku hela nafas panjang ku. Betapa malangnya aku ini. Bahkan untuk sekedar membeli minum saja aku tak mampu. Dan siang ini harus berlalu seperti siang-siang sebelumnya. Menyedihkan.

            Aku beranjak dari peristirahatan ku, kembali mengais rizki. Rupiah demi rupiah, agar tetap bisa bertahan dari kehidupan yang begitu tak sempurna ini, menurut ku. Aku berpindah dari bus ke bus lainnya. Hanya gitar usang ini benda berharga ku satu-satunya. Lagu demi lagu ku dendangkan, meski terkadang ada segelintir orang yang mencibir ku. Aku tak perduli. Hari ini penghasilan ku lumayan juga. Hari mulai petang, aku harus segera pulang. Ada yang sudah tak sabar menantikan kepulangan ku di rumah. Aku bergegas pulang, tak lupa aku mampir ke warung bang Mamat tetangga ku untuk membeli beras. Bukan membeli, menghutang lebih tepatnya. Entah sudah berapa kilo beras hutangku pada bang Mamat. Tapi ia tak mempermasalahkan hal ini. Kalau aku punya uang, pasti langsung ku cicil hutang ku padanya. Sebenarnya aku tak enak hati, namun ini terpaksa ku lakukan. Biasa lah masalah klasik orang miskin, selalu tak punya banyak uang.

            Akupun tiba di rumah, senyum yang selalu ku rindu. Ia tak pernah lupa untuk menyambutku dengan hangat.Wajahnya yang teduh selalu tenangkan aku, meski segudang masalah sedang menghimpitku. Aku begitu menyayanginya. Hanya dia satu-satunya orang yang paling ku sayangi didunia ini.

            “Sudah pulang kau, Han?” Suaranya lembut menyambutku.

            “Iya,Bu. Kenapa ibu belum tidur? Ini sudah malam?” Aku begitu khawatir dengan kondisi ibu yang semakin tua dan sakit-sakitan.

            “Lebih baik ibu istirahat saja.” Tambahku.

            “Bagaimana ibu bisa tidur, sementara anak tersayang ibu masih diluar mencari uang malam-malam begini!” Tegas ibu sambil menuntun ku menuju dapur. Dan menyuruhku makan, ia pun menunggui ku sampai selesai makan. Dan memang ini lah hal yang selalu ibu lakukan untuk ku. Aku merasa bahagia memiliki ibu seperti beliau. Tiba-tiba mata ibu berkaca-kaca, aku tak tahu apa yang telah aku perbuat hingga ibu seperti ingin menangis.

            “Ibu kenapa? Maaf bu kalau Farhan banyak salah dan sering mengecewakan ibu. Dan Farhan juga belum bisa membahagiakan ibu.” Kata ku sambil menatap ibu.

            “Bukan, nak? Ibu hanya teringat ayah mu. Dimana dia sekarang. Lihatlah dirimu yang kini telah tumbuh dewasa, ayah mu mirip sekali sepertimu, nak.” Mendengar itu aku seketika meletakan sendok makan ku, nafsu makanku tiba-tiba hilang.

            “Kenapa tak kau habiskan makanmu,nak?” Tanya ibu heran. Tanpa menjawabnya aku berlalu meninggalkan ibu sendirian menuju kamar. Ibu hanya bisa diam, mungkin ia tahu penyebab aku seperti ini.

            Aku terdiam disudut kamar, aku berusaha untuk tetap tegar dan tenang. Tapi entah mengapa rasanya seperti ada yang memukul-mukul dada ini. Sakit sekali. Aku adalah laki-laki, tapi aku beda dengan lelaki itu. Dan sialnya aku harus menyebutnya sebagai ayah. Aku tak tahu mengapa aku begitu membencinya. Namun aku tahu ini pantas untuknya. Untuk lelaki macam dia. Dia tak pantas ku panggil ayah! Aku tak sanggup lagi membendung air mata ini, terlalu deras. Sebenarnya aku malu, namun aku juga manusia biasa. Aku juga bisa menangis. Aku berusaha mengingat semua kenangan indah bersama ayah, ku harap bisa tenangkan hati ini. Namun tak ada yang bisa ku ingat kecuali saat ayah pergi dengan seorang wanita yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Ia pergi dan ibu meronta memohon agar ayah tetap tinggal. Namun sedikitpun ayah tak memperdulikan ibu. Aku yang saat itu masih terlalu kecil untuk sekedar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun kini aku mengerti, ia memang lelaki bajingan yang tak punya hati. Dalam waktu singkat, kami yang dulu begitu berkecukupan harus pindah nasib menjadi seperti ini. Ibulah yang membesarkan aku sendiri. Beliau berjuang sendiri tanpa lelaki brengsek itu.

            Tanpa sadar pipi ku telah basah oleh air mataku. Bukannya aku cengeng, namun aku hanya tak kuat menanggung nasib yang begitu pilu ini. Biarlah aku hanya punya seorang ibu, beliau sudah lebih dari cukup. Jam berputar begitu cepat, tak terasa pagi telah sayup-sayup menampak kan kesejukannya. Ternyata aku tertidur semalam. Ku mulai kembali aktivitasku seperti biasanya. Kembali mengamen menyusuri kota demi kota untuk sekedar recehan. Kali ini aku lelah, aku turun ditempat yang tak pernah ku jamah sebelumnya. Aku beristirahat di halaman depan gedung yang lumayan mewah,entah gedung apa ini. Aku memesan es cendol kesukaan ku, dan sedikit mengobrol dengan pedagang es cendol.

            “Bang ini gedung perusahaan apa sih?”

            “Perusahaan pabrik televisi lokal,mas?”

            “Emmm....saya kira pabrik apaan,bang. Dah lama bang dagang di sini?”

            “Ya lumayan lama lah mas, udah delapan tahunan.”

            “Kalau pabrik itu abang tahu nggak kapan dibangunnya?”

            “Ya tahu, orang rumah saya disekitar sini kok,mas. Ini baru sepuluh tahunan mas berdirinya. Kenapa mas, mau nglamar kerja disitu ya. Gak apa-apa, iseng-iseng siapa tahu diterima gajinya lumayan mas.” Aku terdiam sejenak, boleh juga pikirku.

            “Oke,bang saya duluan mau nglanjut ngamen lagi.” Sambil membayar es cendol lalu bergegas pergi.

            Disepanjang perjalanan ku pulang sehabis ngamen tak henti-hentinya hasrat ku ingin mencoba melamar ke tempat itu. Namun aku ragu, sedang aku hanyalah tamatan sekolah menengah atas. Tapi apa salahnya mencoba. Toh, kalaupun tidak diterima aku bisa turun ke jalan lagi untuk ngamen. Aku bergegas pulang ke rumah. Akupun mulai menulis baris demi baris dalam surat lamaran. Sengaja ku hati-hati dalam menulisnya, agar tidak sampai ada coretan dan agar terkesan rapi. Semoga ini bisa mengubah hidupku, walau aku tahu tak seberapa. Akupun bergegas tidur, agar esok bisa bangun lebih pagi dan bisa segera menyerahkan surat lamaran ini.

            Aku bergegas mandi lalu sarapan setelah bangun pagi. Aku begitu terburu-buru, dengan pakaian seadanya walau aku tahu ini begitu ku benci namun ini adalah kemeja ayah semasa dulu, ibu yang menyimpannya untuk ku, masih terlihat bagus dan bersih. Akupun berangkat, tak lupa aku mencium kening dan tangan ibundaku tercinta. Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku pagi ini lalu tersenyum bahagia melihat aku yang begitu bersemangat. Akupun tiba ditempat kemarin, lagi-lagi ada abang cendol.

            “Bang!” Dengan ramah aku menyapanya, seperti sudah kenal bertahun-tahun lamanya.

            “Wah, masnya yang kemarin toh? Makin ganteng aja mas.”

            “Abang menghina saya ya?” Dengan nada bercanda, lalu kami tertawa bersama.

            “Doakan saya ya, bang! Entar biar bisa beli es cendol abang terus disini. Hehe” Tambahku

            “Ow, kalau itu sudah pasti, mas.”

Aku pun masuk dengan tubuh gemetar, tapi untunglah mereka menyambutku dengan ramah. Sepertinya mereka sudah tahu apa tujuanku datang kemari. Aku langsung dibawa oleh seseorang menuju ke ruangan lantai atas, entahlah ruangan apa ini yang jelas rasanya dingin, seperti di kutub utara.

            “Masnya tunggu disini ya, sebentar lagi mas akan langsung diinterview sama yang punya perusahaan ini.” Lalu pergi berlalu, aku hanya mengangguk tanda mengerti. Hampir lima belas menit menunggu, dan akhirnya orang yang ku tunggu telah dihadapanku. Aku ditanyai ini dan itu, semua ku jawab dengan jujur dan apa adanya tanpa rekayasa. Dan akupun diterima. Begitu senangnya aku, walau aku ditempatkan hanya sebagai OB ditempat ini. Akupun bisa mulai kerja besok.

            “Kami sangat butuh karyawan dibagian ini, pak! Semoga anda bisa cepat beradaptasi ditempat ini.” Kata Pak Budi, yang sebelum wawancara memperkenalkan dirinya.

            “Ya, pak. Terimakasih.” Kamipun berjabat tangan lalu akupun bergegas keluar dari ruangan ini. Sebelum keluar tiba-tiba Pak Budi memanggilku. Akupun sontak langsung menghentikan langkahku.

            “Ya, Pak” Aku menoleh ke arahnya. Dia yang tetap duduk disana.

            “Ah, tidak apa-apa Pak Farhan. Kemeja anda bagus sekali.” Aku hanya tersenyum lalu melanjutkan langkahku keluar dari ruangan ini.

            Aku buru-buru pulang ke rumah. Tak sabar rasanya ingin segera mengabarkan berita menggembirakan ini pada ibuku tercinta. Sesampainya dirumah aku langsung memeluk ibu. Ibu yang tak tahu apa-apa hanya tersenyum. Sepertinya ibu sudah tahu maksudku memeluknya.

            “Aku diterima kerja, bu?!!”

            “Alhamdulillah,nak? Ibu senang sekarang kamu sudak nggak ngamen lagi di jalanan.”

            “Tapi aku hanya seorang Office Boy ditempat itu,bu?” Aku pn tiba-tiba murung.

            “Sudah lah nak syukuri saja apa yang sudah kamu dapat saat ini. Toh ini jauh lebih baik daripada kerjamu yang kemarin-kemarin.” Lalu tersenyum padaku. Wajahnya yang teduh memberikan ku ketenangan. Aku pun merasa senang dengan semua ini.

            Tiga bulan berlalu, tak terasa aku sudah seperempat tahun bekerja di perusahaan ini. Pak Budi begitu baik pada ku, sangat baik malahan. Apa lagi anaknya yang cantik itu. Dia manager disini, tapi sikapnya tak seperti seorang manager. Dia sangat lemah lembut, sikap keibuannya yang menambah dirinya semakin istimewa. Hemm... untuk ku? Ku rasa tidak. Aku hanya seorang OB disini. Kami bagai singkong dan keju, atau mungkin seperti minyak dalam air yang tak akan mungkin pernah bersatu. Biarlah aku menjadi salah satu fans beratnya. Rita namanya, sepertinya aku hampir saja jatuh hati padanya. Namun kini aku sedang berusaha menepisnya perlahan agar kelak tak sampai terlalu sakit.

            “Pak Farhan.” Suara lembut itu menghentikan lamunan ku.

            “Kenapa Pak Farhan melamun? Ada masalahkah dirumah atau disini yang membuat Pak Farhan sering melamun akhir-akhir ini.” Tambahnya. Kalimatnya membuat ku matikutu. Tak berkutik, namun entah rasa apa ini. Tiba-tiba jantung ku berdegup kencang saat berhadapan dengan Ibu Rita.

            “Emm...Eh, anu Bu Rita? Saya, emmm saya mau ngepel loby depan dulu. Permisi Bu Rita.” Lalu pergi berlalu meninggalkan Putri Salju sendirian. Ada rasa menyesal saat meninggalkan Rita tadi. Tapi aku begitu canggung saat berbicara dengan nya. Sore ini aku tak dapat angkutan umum, aku terpaksa jalan kaki untuk sampai dirumah. Tiba-tiba ada yang menegurku dengan mobil mewahnya.

            “Selamat sore Pak Farhan? Kenapa anda jalan kaki?”

            “Ya Bu Rita, nggak dapat angkutan umum. Sudah terlalu sore.” Sambil malu-malu kucing.

            “Kalau begitu bolehkah saya memberi tumpangan pada Pak Farhan? Kebetulan kita searah.”

            “Emm...tapi Buk!” Aku gugup tak tahu harus bagaimana. Tapi pada akhirnya akupun tetap dihantar pulang oleh Rita.

            “Emm.. Terimakasih Bu Rita itu rumah saya. Disini saja menghantarnya. Sekali lagi terimakasih.”

            “Kalau diluar jangan panggil saya Bu Rita, cukup panggil nama saja. Lagian kita kan seumuran.” Aku begitu kikuk dengan pernyataannya barusan. Lalu akupun turun dari kereta kencana itu dan melangkahkan kaki menuju rumah kontrakan yang cukup usang ini. Aku ingin segera tidur agar bisa segera bertemu Rita lagi ditempat kerja besok.

            Dua minggu berlalu aku dan Rita kini semakin dekat, Rita juga sering menghantarku pulang ke rumah sekarang. Bila di tanya alasannya agar aku bisa lebih irit uang angkot katanya. Aku sih orangnya santai, yang penting tidak merepotkannya saja. Hingga suatu hari Pak Budi mengajak ku untuk makan malam dirumahnya. Sungguh aku benar-benar  terkejut, bagaimana tidak! Jabatan ku saja tak sederajat dengan golongannya. Aku malu, aku tak enak dengan orang-orang kantor. Apalagi aku orang baru disini, hanya aku yang diajak makan malam.

            “Yang benar saja,Pak?” Aku kikuk.

            “Ya, saya harap anda mau datang ke acara makan malam nanti Pak Farhan.” Dengan nada serius. Aku benar-benar bingung aku tak kuasa menolak ajakan bos. Apalagi dia yang berkuasa di perusahaan ini.

            “I..i..iya Pak, saya usahakan untuk datang.”

            “Ah..Terimakasih Pak Farhan.” Terlihat lega mendengar kesiapanku hadir dalam acara makan malam besok. Terlihat wajah Rita yang teduh menatapku ketika aku keluar dari ruangan ayahnya. Ia hanya melempariku senyuman. Pertanda apa itu? Ah, aku tak tahu. Aku berlalu darinya.

            Aku terdiam disujut jalan, menunggu angkot yang tak kunjung lewat. Tiba-tiba aku teringat ayah. Dimana dia sekarang, bahkan aku lupa dengan wajahnya. Seperti apa orang yang sudah menyia-nyiakan aku dan ibu sekarang. Atau kah telah menjadi tua bangka. Ataukah sudah tinggal tulang belulang dalam kuburnya. Ah...bicara apa aku ini. Walau bagaimana pun juga tanpa dia aku tak ada didunia ini. Tapi kenapa dia begitu tega, Aku masih kecil saat itu, aku hanya bisa menangis. Mungkin usia ku baru satu tahunan. Bahkan namanya saja aku tak ingin tahu. Lupa. Barhan atau Burhan seingatku. Entahlah! Yang ingin ku lakukan saat bertemu dengannya hanyalah memakinya sampai puas. Itupun jika ia masih hidup.

            Hari ini pun tiba saat makan malam bersama keluarga Pak Budi pun tiba. Meraka menyambutku dengan hangat. Sungguh ini diluar batas naluri dan aku benar-benar tak tahu maksud dari semua ini. Atau mungkin mereka tahu aku sedang dekat dengan putri semata wayang mereka. Dan mereka setuju dengan hubunganku. Ah, aku terlalu terbang tinggi. Pasti sebentar lagi aku akan menangis karena jatuh dan kesakitan. Kami banyak mengobrol, apalagi Bu Budi tak ada bedanya dengan Rita, begitu lembut tutur katanya. Pak Budi banyak cerita tentang kehidupannya dulu. Beliau dulu hanya orang biasa yang tak begitu sukses seperti sekarang ini. Pak Budi juga pernah tinggal di daerah tempat tinggalku dulu. Namun sekarang lupa karna sudah lama sekali. Akupun akhirnya pamit karena sudah malam. Tak lupa aku berterimakasih kepada Pak Budi sekeluarga atas jamuan makan malam yang sangat sangat ini. Akupun tak sabar ingin segera sampai kerumah untuk bercerita pada ibu atas pengalamanku yang menyenangkan ini.

            Sesampainya dirumah ku dapati ibu sudah tertidur disofa ruang tamu, mungkin sedang menunggu ku sampai ketiduran. Ku dekati ibu, namun aku tak tega untuk membangunkannya. Akhirnya ku ambilkan selimut ibu dikamarnya. Saat aku hendak keluar dari kamar ibu, aku melihat benda yang tak asing di atas meja rias ibu. Oh, itu surat nikah. Pasti punya ayah dan ibu. Hati ini tergelitik ingin melihatnya. Ku beranikan mengambilnya, dan perlahan membukanya. Aku begitu tak asing dengan foto ayahku. Dan alangkah terkejutnya diriku saat ku baca nama ayah kandungku. Burhan Budiman. Bukan kah ini Pak Budi bos termpatku bekerja. Jangan-jangan, jadi Rita? Dek, hati ku berdesir. Seperti tak percaya dengan semua ini. Namun aku diam saja. Aku pura-pura tak tahu apa-apa tentang semua ini. Aku hanya ingin memastikan kebenaran ini.

            Keesokan harinya aku bersiap-siap sarapan pagi. Ibu menemaniku untuk sarapan seperti biasanya.

            “Bagaimana makan malam mu semalam,nak?” Dengan riang ibu menanyaiku. Namun aku tak menjawabnya.

            “Kenapa kau diam ,nak. Apa mereka membuatmu kecewa?” Ibu mulai cemas.

            “Bu, apakah ibu masih begitu mencintai ayah.?

            “Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu pada ibu,nak? “

            “Jawab saja,Bu?” Aku mendesak ibu agar berkata jujur padaku.

            “Iya nak, sungguh ibu masih mencintai ayahmu. Walau kau membencinya, walau kau tak suka padanya. Namun sungguh dia adalah pria yang baik.”

            “Lalu pria baik mana yang menelantarkan istri juga anaknya!!!” Ku naik kan nada bicara ku. Ibu malah terdiam lalu perlahan malah menangis membuatku merasa bersalah.

            “Ayolah ,Bu. Farhan ini sudah dewasa. Sudah saatnya Farhan tahu yang sebenarnya dari mulut ibu.” Suasana hening. Hanya isak tangis dari ibu yang membuatku semakin pilu. Aku tak tahan aku hendak pergi meninggalkan ibu.

            “Ayah mu terpaksa melakukan ini nak?” Suara ibu menghentikan langkahku. Aku terdiam seperti patung. Mencoba mencerna kalimat demi kalimat dari ibu.

            “Kakek dan nenekmu lah yang jahat. Mereka yang jahat. Mereka yang memisahkan ayah dan ibumu.” Diam sejenak ibu terisak sedih.

            “Ibu dulu menikah diam-diam dengan ayahmu. Kami tak dapat restu dari kakek dan nenekmu. Mungkin karena ibu terlalu miskin. Mereka hendak menikahkan Mas Burhan dengan anak pengusaha kaya raya teman kakekmu. Tapi Mas Burhan malah menikahi ibu dan memilih pergi dari rumah. Kami pikir mereka sadar dan mau menerima kehadiran ibu, setelah setahun lamanya mereka tak ada kabar. Namun mereka tetap saja jahat pada ibu. Mereka mengancam akan membunuh kau dan ibu jika ayahmu tak mau menikah dengan anak teman kakekmu. Ayahmu memilih untuk meninggalkan ibu dan menikah dengan wanita pilihan kakekmu nak” Ibu semakin tersedu. Aku pun tak dapat menahan airmata ini. Aku berusaha menepisnya.

            “Ibu, Farhan mau mengajak ibu ke suatu tempat.”

            “Kemana, Han! Tapi ibu...tapi, Han!!” Aku langsung menarik ibu keluar dari rumah dan membawanya menemui Pak Budi.

            “Ini rumah siapa, Han! Kenapa kamu bawa ibu kesini?” Aku hanya diam sambil terus mengetuk pintu rumah Pak Budi. Pak Budi yang membuka pintu sontak langsung kaget ketika melihat ibu, Pak Budi hanya terdiam lalu menangis dan memeluk ibu. Rita dan Ibunya hanya tersenyum menyaksikan ini.

            “Aku sudah tahu sejak lama mas kalau kamu itu kakak ku.” Lalu melempar senyum pada ku. Ya Tuhan aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bila orang yang ku cintai ternyata adalah adik ku sendiri. Semenjak saat itu Pak Budi mengangkatku menjadi penerusnya. Dan ibu mereka bertiga termasuk Ibu tiri ku sudah bahagia hidup bersama.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler