Skip to Content

HANYA ADA SATU KATA: LAWAN!

Foto Steven Sitohang

Oleh: Nurani Soyomukti

KAMU TAKUT KEBENARAN?

            Kamu tak menyukai kebenaran karena kamu seringkali dibiasakan dengan kebohongan, kesalahan, dan kemunafikan–karena kita hidup dalam masyarakat semi-feodal yang masih menyisahkan cara pandang kuno pada saat kehidupan sudah modern. Kamu tak menyukai kebenaran dan selalu tunduk patuh pada kebodohan dan kesalahan karena kamu telah terbiasa menghadapi hidup dengan prasangka, bukan pengetahuan.

Di hadapanmu banyak sekali kesalahan, penyimpangan, kebohongan, dan kejahatan, tetapi kamu tidak mau mengatakan bahwa itu salah. Kamu hanya membatin dalam kebimbangan, atau bahkan kamu tak tahu bahwa itu sangatlah salah. Kamu tahu itu salah tetapi kamu hanya diam, hanya mengeluh, tak mampu atau takut berkata dan bertindak karena kamu tak begitu tertarik pada filsafat, kamu tak hirau apakah hidupmu memakai prinsip atau tidak.

“Di hadapan kita jelas-jelas ada kecurangan. Mereka melakukan kecurangan yang bahkan semakin memalukan dalam sejarah. Mereka mencuri uang rakyat, meraka memasukan anak-anak dan rekan-rekannya dalam lingkungan kekuasaan, padahal kita tahu rekruitmen jabatan harus dilakukan dengan transparan dan adil. Mereka curang”, kataku padamu. Aku ajak engkau bergerak untuk mengatakan pada banyak orang bahwa itu salah karenanya itu harus digagalkan.

Tetapi apa yang engkau jawab, pengecut? Kau malah menjawab, dan selalu tunduk patuh pada kebodohan dan kesalahan “Aku tak ingin neko-neko. Kalau aku neko-neko malah nanti dicap neko-neko. Biarkanlah kita serahkan saja pada waktu. Apa yang akan terjadi. Kalau niat kita baik, pasti nanti ada balasannya. Tuhan Maha Tahu!”

Niat baik? Kamu tahu kan. Para pejabat itu, para manipulator dan pembunuh kebenaran itu, mereka jelas tidak memiliki niat baik. Mereka secara sadar mengupayakan agar kecurangan mereka dapat berjalan tanpa kita ketahui. Apa yang akan dilakukan waktu justru akan menghasilkan tingkat kejahatan moral yang paling parah jika kita biarkan”, kataku.

“Kau pikir kita bisa melakukan sesuatu yang nyata untuk merubah hal itu?”

“Tunggu dulu! Kita sepakati dulu, apakah kau percaya bahwa yang mereka lakukan itu salah atau benar”.

“..........................”

“Kenapa kau diam?”

“..........................”

“Jawab. Aku ingin tahu jawabanmu! Gunakan pikiran yang waras sebab selama ini kita terbiasa dibiasakan untuk berfikir secara tidak waras. Jawablah pertanyaanku. Apakah korupsi dan curang dalam tes CPNS itu suatu kebenaran?”, tanyaku lagi dengan nada yang agak serius.

“OK, itu salah. Tapi apa yang dapat kita lakukan. Itu semua sudah menjadi budaya dan kebiasaan. Kalau kita melawannya, kita ikut tergilas”, katamu dengan nada yang juga tampak serius.

“Begini kawan. Kalau kita percaya pada kebenaran, maka inilah yang kita jadikan prinsip. Tidak takutkah kamu, jika ketidakpercayaan itu kita pelihara. Maka dari luar akan banyak pupuk yang menumbuhkannya, banyak godaan yang akan membuatmu semakin tidak percaya pada kebenaran. Akhirnya, kesalahan dianggap sebagai kebenaran, dan kebenaran dianggap sebagai hal yang lucu. Seperti saat kita menggugat kecurangan dan bergerak menyuarakan kebenaran, maka hal itu akan dianggap banyak orang sebagai hal yang aneh dan lucu... Apakah kamu tidak takut kalau ini terjadi, maka hidup akan benar-benar diwarnai kepalsuan?”

“..... Kamu benar! Lalu kalau kesalahan begitu kuat, apakah kita akan berdaya melawannya?”

“Ya ampun! Ini epos sejarah masyarakat. Kebenaran dan kesalahan akan terus bertarung. Yang jelas, kebenaran akan abadi. Dan kalau kita memperjuangkannya berarti kita memperjuangkan keabadian. Boleh saja kamu mendapatkan kekuasaan, seperti anak-anak pejabat dan anak-anak yang beruang yang bisa menyogok untuk mendapatkan jabatan. Mereka memulainya dengan sebuah kebohongan, dan kebohongan mereka akan berlangsung dalam keseluruhan hidup mereka. Lihatlah mereka yang diterima jadi PNS dengan jalan nyogok, rata-rata mereka adalah anak yang bodoh, pemalas, cemen. Berhasil mendapatkan jabatan bukan dari tes objektif tetapi dari nyogok. Mereka tak akan becus bekerja. Mereka tak punya dedikasi. Bahkan mereka adalah anak-anak pemalas berjiwa nista, praktis, tak pernah berfikir, tak hirau pada kebenaran. Mereka menjunjung tinggi kecurangan karena orangtua mereka mewariskan sifat manipulatif pada mereka”.

“..............................”

“Dan kita hanya bisa melawan kesalahan jika kita menjaga kebenaran. Kita harus percaya bahwa kebenaran itu ada dan bisa kita pertahankan. Kebenaran bukanlah suatu yang abstrak. Ia merupakan hasil dari otak waras kita yang menilai realistis. Jadi, ukuran utamanya adalah realistis material, yang bisa diukur, dirasa, dilihat, didengar, dinilai. Jadi bukan sekedar prasangka... Memperjuangkan kebenaran adalah memperjuangkan kehidupan!”

“............................”

“Kamu takut kebenaran, karena kebenaran akan mengungkap kenyataan dan kamu tak suka kenyataan karena kenyataan tak sesuai keinginanmu. Kamu miskin dan dimiskinkan, tetapi kamu menutup-nutupi fakta akan hal itu, bukan menutupi tetapi karena kamu malas untuk mengetahui suatu hal yang menyakitkan. Kebenaran itu menyakitkan bagimu... Tapi kamu perlu ingat. Hilangnya kebenaran dan ketidakpercayaan pada kebenaran itulah yang membuat penindasan dan kecurangan terus beroperasi. Dan itulah yang akan membuatmu tetap miskin, bahkan anak dan cucumu akan tetap miskin selama kita gak mau berani melawan kejahatan. Karena sumber kemiskinan bisa dijelaskan, bukan karena takdir Tuhan, tetapi karena ada sebab-sebab material dan nyata di dunia... Keberanianmu untuk bangkit melawan kecurangan akan menjadi tolak ukur apakah kau manusia atau bukan... ataukah kamu tak lebih dari orang miskin dan dimiskinan yang akan tetap tunduk dan patuh mengikuti sistem dan tatanan yang berdiri di atas kebohongan. Kamu bukan lahir sebagai budak dan sahaya. Sesungguhnya kita mewarisi semangat orang-orang berani yang telah mempertaruhkan nyawa, jiwa dan raganya untuk melawan penindasan. Memperjuangkan kebenaran. Kamu takut pada kebenaran, berarti kamu takut pada dirimu sendiri. Kamu takut pada dirimu sendiri, berarti kamu bukan dirimu, kamu hanyalah pribadi terbelah dan manusia palsu. Jalan satu-satunya bagi kita untuk menjadi manusia adalah percaya pada diri sendiri, mengatasi kebuntuan dengan prinsip dan bukan dengan kebohongan!”

“..........................”

“Kenapa kamu diam?”

“..............................”

“Oh, kamu mengigil. Kamu takut pada dirimu sendiri, seorang munafik, manusia palsu! pengecut! Kamu tak bisa berbuat apa-apa, kamu telah lama dipasung dengan kebodohan-kebodohan”.

“....... Kawan, maafkan aku. Aku kedinginan! Aku mengigil. Mungkin aku takut. Mungkin ada pertarungan dalam diriku. Kau telah menusuk sesuatu pada diriku. Aku pecundang dan pengecut yang paling memalukan. Aku ingin mandi air hangat. Aku kedinginan! Ijinkan aku ke belakang”.

“Baiklah. Bersihkan dulu tubuhmu. Kau belum mandi seharian. Terlalu banyak pikiran, terlalu banyak mengeluarkan keringat, berharap bahwa pengabdianmu pada pemerintah ini akan terbalas dan pengabdian 5 tahun di dinas itu akan segera berbuah pengangkatan. Tetapi kita baru saja tahu, yang diangkat dari dinas tempatmu kerja adalah seorang anak pejabat, dan yang seorang lagi adalah orang yang belum jelas. Tetapi kita tahu, keduanya diangkat jadi pegawai negeri karena kecurangan, bukan? Kau telah dicurangi dengan cara yang paling memalukan. Tetapi kau masih percaya bahwa kebohongan yang menahun dan kecurangan yang tegak berdiri ini akan dapat ditaklukan dengan diam, tunduk, patuh taupun berpura-pura. Jangan bermimpi.  .....  OK, mandilah dulu. Nanti kita fikirkan jalan keluarnya. Kau adalah kawanku. Jika kau dipecundangi, maka aku pun ikut merasakannya. Hanya kebenaran yang mengikat kita, lainnya tidak ada. Hanya kebenaran yang memicu semangat kebersamaan.  ..... Mandilah! Lalu kita makan malam, kawanku!”.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler