Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004 "JURU RIAS DAN SEORANG PESOLEK" KARYA KURNIA EFFENDI

Foto SIHALOHOLISTICK

Malam beranjak larut, tapi Maharayi masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu berhasrat mendapatkan hasil yang sempurna. Setelah menggunting rapi alis lelaki gagah yang terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar terlihat segar. Sumringah dalam setelan jas hitam yang masih tegas garis lipatan setrikanya dari jasa laundry.

“Sekarang sudah malam. Boleh saya menyanyi?” bisik Maharayi di depan almarhum Sugondo. Ya, nama lelaki itu Sugondo. Terhenti usianya di angka enam puluh satu tahun tiga bulan empat belas hari. Mungkin ditambah beberapa jam. Serangan jantung. Kemarin tampak tubuhnya sedikit membiru.

Lalu bibir Maharayi menyenandungkan sebuah lagu yang-kemungkinan besar, jika Sugondo masih mampu mendengarnya-akan dikenalnya dengan baik. Lagu yang digubah oleh Ismail Marzuki. Lagu yang pasti tidak populer bagi telinga anak muda sekarang. Maharayi memilih lagu itu karena jenazah yang berbaring di depannya berusia enam puluh satu tahun. Bukan enam belas tahun.

Maharayi membuka tutup bedak. Terus bernyanyi seraya memulas wajah pucat itu dengan serbuk lembut yang hanya sedikit menyiarkan aroma jasmin. Begitu hati-hati tangannya bergerak, seperti khawatir membangunkan lelaki yang terpejam tenang itu.

“Bapak dulu tentu seorang yang dipuja banyak perempuan.” Maharayi tersenyum. Barangkali, jika boleh jujur, ia juga tertarik dengan garis rahang yang kuat itu.

“Nama saya Maharayi. Siapa tahu, di tempat yang baru, ada yang bertanya mengenai perias wajah Bapak.”

Maharayi tersenyum lagi. Di tengah sunyi malam, di tengah rumah duka yang lengang, ia biasa bercakap-cakap sendiri. Seolah para jenazah itu sahabat yang dapat mendengar dan bahkan menyahut sesekali dengan ucapan yang tulus. Ia merasa berbahagia memperlakukan seorang almarhum atau almarhumah dengan ramah. Sering kali seperti terdapat senyum dari bibir jenazah itu saat ia pamit meninggalkan ruangan yang dikelilingi harum hio terbakar.

“Akhirnya selesai juga. Semoga Bapak dapat melangkah dengan tenang ke rumah yang lebih luas. Saya akan pulang.”

Maharayi memasukkan sisir, gunting kecil, bedak, pensil alis, dan beberapa peralatan rias lainnya ke dalam beauty case berwarna coklat muda. Ia memandang sekali lagi wajah Sugondo sebelum melangkah menjauh. Ia tak mungkin menciumnya karena bukan istri atau kerabatnya. Bukan pula kekasih gelapnya. Ia hanya seorang perias jenazah.

Di depan pintu yang ditinggalkan, ia dijemput seorang petugas rumah duka yang kemudian mengiringinya berjalan ke ruangan yang mereka sebut ruang tunggu. Ada seorang kerabat almarhum yang segera menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih. Maharayi sedikit terkesima memandang wajahnya. Seperti wajah seorang model yang kerap tampil di halaman majalah. Wajah halus dengan bedak tipis dan, mungkin, celak di bawah mata serta selapis pemerah bibir yang samar.

“Keluarga yang lain di mana?”

“Kebetulan sedang makan di luar sebentar. Apakah Ibu perlu saya antar pulang?”

“Oh, tidak,” Maharayi buru-buru menampik. “Saya membawa mobil.”

“Baiklah. Sekali lagi terima kasih.” Anak muda Tionghoa yang matanya tidak terlalu sipit itu sedikit membungkukkan badan.

Mereka pasti orang terpelajar, pikir Maharayi. Anak atau cucu sulung Pak Sugondo? Keluarga dengan bibit yang baik, gumamnya, sebelum meninggalkan rumah duka. Minibus yang dikendarainya meluncur memasuki padat lalu lintas.

SEJAK suaminya berangkat berlayar empat bulan yang lalu, Maharayi mengemudikan mobil sendiri. Membuatnya terlihat lebih lelah setiap tiba di rumah. Biasanya, begitu masuk ke dalam rumah, dia akan memeriksa kamar kedua anaknya. Mula-mula Dito, kelas I SMP, yang meringkuk dalam dengkur halus. Radio di dekat ranjangnya dinyalakan sepanjang malam. MTV Sky, 101,4 FM. Tapi malam ini bukan Kemal yang siaran. Maharayi tersenyum sendiri karena ternyata mengenal suara penyiar radio ABG itu. Ia membetulkan letak selimut di atas tubuh Dito, lalu mencium pipinya.

Listy masih terjaga. Sedang memasang foto pada sebuah album. Hanya menoleh sebentar sewaktu ibunya membuka pintu kamar.

“Besok tidak ada ulangan, Nak?”

“Sudah belajar,” sahut Listy tanpa memandang.

“Ibu mandi dulu ya,” Maharayi berbalik badan, namun ekor matanya sempat menangkap sebuah potret yang tergeletak di atas meja belajar Listy. “Siapa?”

“Alessandro.”

“Pemain sepak bola?” Maharayi merasa karib dengan nama itu. Tapi sesuatu berkelebat dalam ingatan. Wajah itu!

“Peragawan.”

“Kamu kenal?” Terdengar nada kagum.

“Hampir semua temanku kenal. Dia main sinetron juga.”

Maharayi menyadari jarang pulang pada jam tayang sinetron. Menyadari sejumlah letih menggayut saat tiba di rumah. Tapi kini justru semakin jelas kelebat wajah dalam ingatannya.

“O, hebat! Kamu berteman dengan bintang televisi.”

Kepala Listy tengadah mendadak. Ada rona berang pada parasnya, menduga ibunya menyindir. Namun, tak ditemukan gelagat itu pada muka ibunya yang sedikit berminyak.

“Ibu aneh.” Listy meneruskan pekerjaannya. “Dia model terkenal, karena itu aku kenal.”

“Apakah menurutmu tidak tampak terlalu cantik sebagai laki-laki?”

“Zaman sekarang kan begitu? Yang bersolek tak hanya perempuan. Cantik juga menjadi hak laki-laki, Bu.”

“Ya, sudah.” Maharayi meninggalkan kamar Listy. Pikirannya mencoba menangkap kelebat wajah yang mengganggu. Rasanya baru saja memandangnya. Ah, Alessandro!

Anak atau cucu Bapak Sugondo? Ia ramah dan terpelajar. Tentu. Karena dia seorang peragawan sekaligus bintang sinetron. Atau karena ramah dan terpelajar, maka Alessandro menjadi bintang film?

Maharayi melangkah terburu kembali ke kamar Listy. Tapi pintunya terkunci dan dia urung mengetuk. Ia hanya ingin bilang: “Tadi Ibu ketemu Alessandro di rumah duka.”

Sinar matahari mulai kendur ketika Maharayi tiba di rumah. Ia tak langsung memasukkan mobil, melainkan turun di depan serambi dan mengunci pintu dengan remote yang meninggalkan bunyi bip dua kali.

Langkah sepatunya mengetuk dengan gegas di ubin keramik teras rumahnya. Ia tak perlu mengetuk pintu karena ternyata tidak dikunci.

“Dito!” Panggilnya seraya meletakkan tasnya di sisi meja televisi. “Listy!”

Di ruang tengah Dito menatap ibunya. Memancar cemas dari wajahnya. Kecemasan yang tak biasa. Dan Maharayi mengulang pertanyaannya.

“Kak Listy pergi.”

“Ke mana?” Mata Maharayi tak berkedip. Meminta jawaban.

“Apakah Ibu tahu kalau Alessandro meninggal karena kecelakaan?” Dito menatap dengan raut cemas. Cemas yang tidak biasa.

“Ya Tuhan…” Maharayi menutup wajahnya. Ia tadi memang ditelepon keluarga Sugondo, tapi tak terlalu jelas karena dihiasi isak tangis. Ia buru-buru pulang dari kunjungan rutin ke rumah mertua oleh sebab berita yang tak terlalu meyakinkan itu. Mungkin Listy belum mendengar, atau justru dapat menjelaskan?

Dito berlari ke dapur, mengambil segelas air putih untuk ibunya. Maharayi menerima dan segera meminumnya. Duduk dan bersandar di sofa ruang tamu, menenangkan diri. Sekarang ia lebih menduga Listy tahu kabar tentang musibah yang menimpa bintang favoritnya. Dapat dibayangkan, tokoh pujaan yang fotonya disimpan secara khusus itu kini tak mungkin tampil lagi di depan penggemarnya kecuali memutar ulang film-film yang dibintanginya sebagai memoar. Dapat dibayangkan kesedihan macam apa yang kini sedang bergelimang di hati anaknya. Tapi… ke mana sebenarnya Listy?

“Kalau begitu, Ibu mau melawat ke rumah…”

“Lihat, Bu! Beritanya masuk televisi.” Dito membesarkan volume suara. Maharayi tertegun memandang liputan sore itu: proses pengangkatan mobil Alessandro dari sebuah jurang sebelum kawasan Cianjur. Tampaknya tak banyak luka yang diderita, namun benturan di kepala membuatnya langsung tewas. Potongan gambar berikutnya adalah suasana rumah sakit saat jenazahnya turun dari ambulans.

Maharayi hampir menelepon ke rumah keluarga Sugondo, tapi urung. Apakah akan ada yang menjawab? Ditatapnya Dito, sejenak ragu akan meninggalkan anak bungsunya sendiri di rumah. Kemungkinan besar ia akan lama berada di rumah keluarga Alessandro seandainya sulit membujuk Listy pulang. Aneh, kenapa telepon seluler Listy tidak diaktifkan?

“Ibu akan menunggu sampai sore. Jika Listy tak juga pulang, kita harus mencarinya.” Itu keputusan Maharayi.

Sunyi memenuhi relung ruang tunggu krematorium itu. Ibu Alessandro menyambut kedatangan Maharayi dengan sepasang mata sembab. Orang yang sama, yang memintanya beberapa hari lalu untuk merias wajah Pak Sugondo.

“Saya tak tahu apa maksud Tuhan, tapi inilah yang terjadi.” Suaranya tersedu.

Maharayi menjabat tangan perempuan itu dengan takzim. Menyampaikan perasaan turut berduka.

“Dia masih muda. Cita-citanya masih panjang. Dia sedang menuju puncak.”

“Sayang sekali, memang. Kemarin dulu saya bertemu dengannya. Dia pemuda yang baik.”

Ingin Maharayi meneruskan dengan kata-kata: “Anak saya sangat memujanya…” tapi urung. Saat ini Listy, dengan cara yang lain, pasti juga merasa kehilangan.

“Saya minta Bu Rayi membuat Alessandro setampan pangeran.”

“Terima kasih atas kepercayaan Ibu.”

Seseorang mengantar Maharayi ke tempat jenazah Alessandro disemayamkan. Di depan pintu, sebelum masuk ke ruang yang mulai dipenuhi harum setanggi Cina, Maharayi membuka tas yang dibawanya. Ia terperanjat karena beauty case warna coklat muda tidak terdapat di dalamnya. Apakah tertinggal di mobil? Sejak kapan terpisah dari tas besarnya? Atau justru tertinggal di rumah? Tapi, ia tak pernah merasa membongkar tas itu sepanjang tiga hari ini.

“Kenapa?” tanya pengantar itu.

“Tidak apa-apa,” Maharayi menggeleng cepat. “Ayo, kita masuk.”

“Apakah boleh saya tinggal?”

“Ya. Biarkan saya sendiri.”

Maharayi menunggu sampai pintu tertutup. Sore ini di ruang itu hanya ada satu jenazah. Alessandro! Sang peragawan yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang laki-laki. Langkahnya perlahan mendekat. Apa yang hendak dilakukannya tanpa alat rias? Maharayi belum hendak memutuskan apa pun. Ia hanya ingin melihatnya dari dekat.

Tertegun ia memandang jenazah Alessandro. Begitu ranum. Kulitnya terlampau halus. Segar. Seperti masih dijalari denyut kehidupan, tidak sepucat mayat yang selalu ditangani selama ini. Diperhatikannya alis yang rapi, rambut yang terletak tepat pada tempatnya. Wajah yang tak berminyak dengan pori-pori lembut. Pipi yang kemerahan…

“Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu, Alessandro?” bisik Maharayi sendiri. “Rasanya engkau bisa bersolek sendiri.”

Tiba-tiba mata Maharayi terasa panas. Tak pernah ia merasa sesedih sore ini. Setiap jenazah selalu meninggalkan aroma duka, tapi Alessandro membenamkan luka yang tak pernah dibayangkan. Bagaimanapun ia dapat merasakan kehancuran hati Listy.

“Benar pertanyaan ibumu, Nak. Kita tak pernah tahu apa maksud Tuhan,” bibir Maharayi gemetar. “Kamu masih muda, cita-citamu masih panjang. Dan kamu seorang yang cantik. Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu?”

Pandangan Maharayi begitu mendalam pada paras pemuda itu. Ia seperti melihat pemuda itu tersenyum. Oh, tidak! Bahkan ia melihat sepasang mata Alessandro membuka perlahan. Mata yang kemudian tersenyum.

“Ibu tak perlu merias wajah saya. Listy, anak Ibu, telah melakukannya.” Maharayi mendengar suara Alessandro. Tenang dan sopan. Ia ragu, apakah ia melihat gerakan bibir pemuda itu? Tapi ia jelas mendengar suara itu. Suara yang menyapa dengan santun tiga hari lalu, seusai merias jenazah Pak Sugondo.

Mata itu kembali menutup. Atau sesungguhnya tak pernah membuka? Maharayi gemetar, tertegun dengan denyar darah tak beraturan. Kini rasa takut menjalar perlahan dan membuat sepasang kakinya berangsur dingin.

Listy? Apakah kamu telah mengambil alat rias Ibu? Mata Maharayi basah. Ia bergeser mundur. Baru sekali ini ia gemetar di depan jenazah. Sunyi merayap. Senyap mengertap. Tak ada suara burung gereja yang biasanya bercericit di lubang angin. Tak ada suara angin yang biasanya menggerakkan daunan pohon di sisi krematorium.

Tapi ia mendengar isak yang lain. Ia terus bergeser mundur dan tiba-tiba merasa membentur lembut seseorang. Segera ia membalik tubuh dan mendapatkan Listy yang menggigil dengan wajah basah air mata. Di tangannya tergenggam beauty case coklat muda miliknya.

“Maafkan aku, Ibu.”

Maharayi memeluk Listy. Seraya kembali mengingat: apakah benar Alessandro bicara padanya? Apakah benar sang pesolek itu membuka mata dan memandangnya? Dadanya mulai basah oleh air mata Listy.*

 

Jakarta, 15 Agustus 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler