Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004: “MEREKA CUMA KETAWA” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Foto SIHALOHOLISTICK

Aku sudah lama duda, meski umurku tergolong muda. Pada umur 40 aku sama sekali tak punya niat buat kawin lagi, kendati Ibu-Bapak di Mojowarno mendesak-desak supaya aku tidak terus menduda. Sejak kutinggalkan delapan tahun lalu aku tak bisa lagi ketemu istriku. Aku tak bisa melupakannya. Bagaimana aku bisa menuruti saran Ibu-Bapak yang terus saja mendesak-desak tiap kali mengirim surat.

Anakku, Ferdi dan Lusi, praktis sudah yatim-piatu. Mereka masih kecil, diasuh Eyangnya di Malang, yaitu mertuaku. Lama aku tak mampu menanggung hidup mereka, kecuali dalam dua tahun terakhir ini sejak aku mendapat penghasilan lumayan. Namun aku jarang mengirim uang, rata-rata satu kali tiap dua bulan. Aku hanya bisa berbicara dengan anak- anakku lewat surat, tetapi pasti mereka baru mengerti bila suratku dibacakan oleh paman atau bibinya karena mereka belum sekolah. Mereka pun hanya bisa berbicara padaku lewat surat yang ditulis si bibi kepadaku selama saat-saat merana sejak ibunya meninggalkan alam fana.

Mengapa anak-anakku seolah sudah yatim-piatu, mengapa pula akhirnya aku sedia menuruti saran Ibu-Bapakku? Tentang ini sebaiknya kusajikan isi surat paling akhir yang ditulis si bibi seperti berikut ini.

Mas,

Aku sudah bulat mau berangkat. Soal-soal sulit yang membelit terpaksa kuretas di jalan pintas. Ternyata tak serumit yang kubayangkan bila orang punya cukup uang. Hanya itu jalan satu-satunya. Berkat kirimanmu, tentu. Akhirnya anak-anak jadi satu dengan pasporku. Beruntunglah Ayah dan Ibu berpikir panjang, mereka dibiasakan memanggilku Mama sejak ibunya tiada. Setiap anak perlu merasa punya ibu-bapak seperti semua teman sekolahnya bukan? Kami selalu bilang, “Papa sedang belajar di luar negeri.” Kadang aku khawatir lama-lama mereka tidak percaya.

Aku setuju saranmu, lebih baik naik Garuda, bukan Cathay Pacific atau British Airways. Soalnya cuma makanan. Anak-anak doyan makan apa saja kecuali daging babi, sebab eyangnya melarang, gurunya melarang, semua melarang. Dulu bapak-ibunya suka mengajak makan swikee dan cap-jae di Pecinan.

Lusi agak payah, sulit makan sayur dan buah. Eyangnya sering membujuk-bujuk, besok pagi Mama belikan rok mini asal mau makan wortel dan buah apel. Bakatnya sudah kelihatan, barangkali calon balerina. Bila kuputar pelat Antonin Dvorak yang dulu dibawa ibunya dari Praha, dia lantas menari-nari sambil molat-molet seperti penari balet. Gadis cilik yang cerdik! Eyangnya sangat menyayanginya. Sekarang sudah diterima di TK.

Ferdi berbakat lain. Dia sudah pandai berhitung sampai dua atau tiga ribu, tambah dan kurang, kali dan bagi, pecahan angka desimal. “Kelak kamu jadi sinyur atau propecong, ya Le…,” kudang eyangnya. Asal jangan seniman bukan? Tahun ini dia naik kelas tiga. Baru empat tahun umurnya ketika ibunya tiada. Bayangkanlah berapa lama kita berpisah.

Bandi sudah menikah tetapi tetap serumah bersama kami. Aku tak habis pikir, kenapa dulu ambil vak filsafat. Tahun ini dia tamat, ngajar honorar di sebuah universitas swasta. Berapalah gajinya! Tetapi istrinya hidup sederhana, bekti sekali kepada Ibu. Tak akan jadi pikiran jika aku menyusulmu.

Kini aku bulat mau berangkat. Ayah tak pernah menyatakan keberatan hingga saat wafatnya. Ibu bahkan mendorongku. “Demi anak-anaknya,” katanya. Sebuah amanah khusus bila kurenungkan. Sebab sebenarnya aku yang selalu dipikirkannya-anak perempuan umur tiga puluhan. Begitulah Ibu, jarang mau terus-terang, padahal maksudnya ingin menjodoh-jodohkan. Aku tak tahu apakah engkau benar-benar mengharap kedatanganku. Tapi demikianlah kesan yang kurasakan. Aku tak hendak bertepuk sebelah tangan.

Aku lantas teringat Tyas. Dulu Ibu sekali seminggu pergi ke Tembok Biru tempat dia diasramakan, perlu ngirim makanan. Dia selalu menanyakan buah hatinya, si kecil yang malang, kapan bisa ketemu ayahnya. Sampai suatu hari ketika Tyas dinyatakan tak perlu lagi dibesuki. Dia tak sendirian. Ada belasan lainnya bernasib sama. Kami semua sangat tersiksa, kebingungan, karena tahu apa arti tak perlu lagi dibesuki. Berbulan-bulan kami bersusah payah melacak jejak Tyas hingga di pedesaan dan tepi hutan, siapa tahu Pak Tukul ikut menyaksikannya. Tetapi siapa pula mau nekat buka mulut? Engkau tentu ingat siapa Pak Tukul penjual arang dari Singosari itu. Lama dia tak pernah lagi datang mengantar arang. Begitulah, tak ada harapan Tyas kembali di tengah-tengahkami. Semogaengkau tetaptawakal. “Padangadalane jembara kubure…,” doa Ayah dan Ibu.

Aku menyempatkan diri bersama Ibu menabur kembang telon pada Selasa Kliwon di sebuah perempatan. Itulah hari ajal yang diramal wong pinter. (Apa boleh buat, Ibu percaya banget). Tengah malam Tyas datang dengan baju renda pengantinnya untuk mengucap terima kasih dengan sedih, mencium Ayah, Ibu, aku, anak-anakmu. Kemudian melayang ke awang-awang, menari bagai bidadari menyusup kabut dengan lembut. Kukira itulah sekilas wajah Tyas dalam bayangan mimpi seorang Ibu yang sangat menyayanginya. Aku sendiri tidak menangi, kecuali mencium bau harum bunga kenanga dalam kamarnya. Padanga dalane jembara kubure.

Anak-anak sudah kuajak sowan ke Mojowarno memohon restu ayah-ibumu-priayi sepuh yang ramah. Mereka merasa berbahagia bila kami segera berangkat. Aku tak mengira, merekamemanggil FerdiFerdinand, LusiLusienne. Apakahitu nama paringan mereka saat pembaptisan? “Pergilah ke gereja tiap hari Minggu dengan Mama dan Papa,” pesan Eyang sepuhnya. Beliau tentu tak lupa siapa menantunya, siapa yang disebutnya Mama. Apakah ini juga amanah? Aku curiga, engkau pasti sudah menyurati mereka tentang masalah kita.

Ferdi dan Lusi tentu saja tak ingat wajah sang ayah. Bukankah aku selalu mengharap suatu saat menerima surat berisi potretmu? Tapi harapan itu akhirnya kulepaskan ketika Ayah mengingatkan, di mana-mana mereka menunggu kedatanganmu. Bahkan pada hari pemakaman Ayah ada yang datang naik Yamaha, langkahnya tegak, rambutnya cepak, ngomongnya cekak. Ia mengaku kawanmu, menanyakan apakah hari itu engkau datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada bapak mertua. Ibu menjawab hanya seperlunya, “Lihatlah sendiri, Nak. Kalau dia datang alangkah bahagia kami semua.” Lelaki itu pergi tanpa mengucap belasungkawa. Begitulah ulah seorang manusia yang mengaku kawanmu. Aku yakin benar engkau segar-bugar, tetapi barangkali mereka menduga engkau mengidap penyakit menular hingga mesti dikarantina.

Sekarang aku bulat mau berangkat. Nomor flight Garuda itu GA-127. Sebelum itu aku menelepon lebih dulu. Tetapi engkau bebas, Mas. Katakan jika kau berniat membatalkan.

Pagi itu aku sudah mencuci mobil, mengisi bensin, memompa ban, mengelap kaca, menyiapkan peta autobahn. Selesailah persiapan menjemput keluarga hari Selasa lusa. Besok pagi tinggal membersihkan rumah, mengepel lantai, dan mengatur tempat tidur. Hari itu aku tak hendak meninggalkan rumah karena perlu menunggu telepon yang dijanjikan. Seperti belum yakin pada kepastiannya, beberapa kali kubaca lagi surat itu sambil beristirahat. Tergurat sikap bertanggung jawab seorang perempuan yang layak mengaku Ibu. Terkesan beratnya beban sekaligus sikap rela mengorbankan nasibnya sendiri, dan selalu sadar matahari masih bersinar. Hidup tak cukup dengan keluh dan penyesalan berkepanjangan. Segalanya demi aku dan anak-anakku.

Bunyi telepon yang mendadak menyentak membuatku terloncat, melipat surat panjang yang seolah tak pernah tamat kubaca. Kusambar gagang telepon. Ia bilang,

“Mas! Kami sudah berada di Jakarta. Nginap di rumah teman.”

“Semua sehat? Jadi berangkat?”

“Jadi dong Mas, gimana sih! Besok sore kami berangkat.”

“Jangan ragu. Aku memahami sepenuhnya persoalanmu, nanti saja kita selesaikan bersama. Dua jam sebelum pesawat mendarat, aku pasti sudah menunggu di airport. Aku cuma khawatir engkau kerepotan di perjalanan.”

“Memang repot. Tapi aku sudah bertekad.”

“Hati-hatilah. Aku percaya, engkau sudah biasa menjaga anak- anak. Engkau layak dipanggil Mama oleh mereka.”

“Mereka tanya, Papa menjemput pakai taksi apa becak. Aku bilang, Mama juga tak tahu.”

“Bilang saja, yang penting ketemu Papa. Asal jangan terkejut, aku tinggal di sebuah rumah sewa yang sederhana. Kita perlu waktu beberapa bulan sebelum mendapat rumah sewa yang agak besar. Sekarang ini cuma ada dua kamar, itu pun yang satu kamar tamu. Buat sementara anak-anak bisa tidur di kamar tamu, Mama di kamar tidur. Apakah aku terpaksa tidur di dapur?”

Terdengar tawa nyaring adik iparku yang terpancing.

“Sudahlah Mas, itu urusan nanti. Yang mendesak sekarang, jangan lupa hari Selasa lusa. Flight nomor GA-127. Sekian saja. Telepon mahal nih, Mas.”

“Peluk cium! Sampai lusa.”

Kami menutup telepon.

Selasa pagi aku sudah berada di bandara menunggu pesawat yang segera akan mendarat. Aku masih sangsi apakah semua rencana akan terlaksana. Ada bayangan kesulitan yang barangkali sukar diatasi. Anak-anak jadi satu dengan paspor perempuan yang bukan ibu mereka. Carut-marut jalan pintas yang diretas sendiri oleh adik iparku!

Sebuah suara keras dan tidak jelas yang melengking dari pengeras suara membuatku terlonjak, lantas melangkah menengadah meninggalkan bangku tempat dudukku. Mataku menatap deretan huruf dan angka-angka yang berkeretap melompat-lompat di atas jalur membujur sepanjang papan ARRIVAL. Pesawat itu tertunda-tunda landing-nya. Sudah beberapa kali aku mengedari Terminal A, B, C, dan D, keluar masuk pertokoan, beli majalah di sebuah kios koran-koran internasional, lantas duduk di sudut sebuah kedai fast food, memesan milk shake, menghabiskan waktu sambil baca Far Eastern Economic Review yang memuat banyak berita-berita Asia Tenggara. Dan akhirnya kembali menuju ke tempat itu. Ada kekhawatiran yang selalu mengganggu, jangan-jangan pesawat itu segera mendarat.

Beberapa orang dengan kereta dorong yang kosong juga berdiri menengadah seperti mengagumi huruf-huruf yang meloncat-loncat berkejaran tanpa henti pada papan pengumuman.

“Come on! It’s still far away in Dubai!” Seorang lelaki berdasi menghela lengan teman perempuannya. Barangkali mereka peserta atau pengunjung Pekan Buku Internasional yang menjemput rombongan Singapura atau Malaysia. Kantong-kantong plastik berisi brosur reklame buku-buku terbitan baru yang dengan cuma-cuma tersedia di kios koran-koran internasional tampak bergantungan di tangan mereka.

Agak gemas kulihat, bukan cuma GA-127 yang tertunda landing-nya, tapi juga beberapa pesawat dari jurusan Asia. Dengan malas aku kembali beranjak meninggalkan terminal itu.

Saat-saat menunggu pada jam itu kurasakan seperti kenikmatan tersendiri untuk duduk di kedai fast food, makan apa saja sembari baca Far Eastern Economic Review nomor minggu lalu yang memuat seri berita Malari. Ada kekhawatiran dalam hatiku, kerusuhan itu mungkin berekor panjang dan menghalangi warga yang bepergian ke luar negeri.

“Sorry Sir, it’s occupied,” tolak seorang wanita yang lebih dulu membeset kursi kosong. Aku mengenali kembali, wanita itu ternyata teman lelaki berdasi yang barusan meninggalkan papan pengumuman.

Di kursi lain yang sempat kubeset aku melahap kue donat. Kulihat si lelaki berdasi sudah duduk berdua menyantap hamburger yang supertebal. Sangat mengagumkan, bagaimana mulut Asia bisa melahapnya! Seperti piton sedang mencoba menelan anak babi hutan.

Jam 18:30

Aku yakin benar, itulah adik iparku. Perempuan itu berjalan menggandeng kedua anakku bersama pasasir yang baru nongol di pintu eksit. Tetapi siapa lelaki yang menyorong kereta dorong dengan setumpuk koper itu? Ia tampak banyak berbicara dengan anak-anak. Aku cepat mendekat.

“Larasati?”

“Mas…!”

Kami berpelukan, mencoba menumpas tiap emosi dan keharuan. Tetapi sebentar saja. Kami ingat anak-anak yang perlu mendapat perhatian pertama dari ayahnya. Cepat-cepat kulepaskan Larasati, lantas kupondong dan kuciumi Lusi dan Ferdi berganti-ganti-kuncup-kuncup yang harus hidup. Baru sekarang aku benar-benar merasa sebagai bapak-lelaki yang bertanggung jawab atas kehadiran mereka di dunia. Aku kehilangan perhatian pada lelaki yang menyorong kereta dorong.

“Mas,” tegur adik iparku. “Kenalkan dulu dong, Bapak ini wartawan dari Jakarta. Sejak berangkat banyak menolong kami.”

Kuturunkan Ferdi dan adiknya dari gendongan, memberi salam.

“Maafkan kelengahan saya. Terima kasih, Anda sudah membantu mereka. Saya bapaknya anak-anak ini.”

“Mbakyu sudah bilang sejak dari Jakarta.”

“O ya. Garuda sangat terlambat tiba di Frankfurt. Hampir setengah hari. Kenapa?”

“Tertahan di Athena. Ada percobaan kudeta, rupanya gagal. Tapi semua pesawat Yunani dilarang terbang. Garuda sempat mendarat, tapi take off–nya beberapa jam tertunda.”

“Oh, sialan! Mangkanya…”

“Kami sempat ngeri. Mbakyu sudah kebingungan.”

“Maafkan, tentu sangat merepotkan. Maklum belum pernah pergi ke Eropa. Anda bertugas dinas?”

“Cuma mau lihat pameran Pekan Buku Internasional.”

“Silakan singgah ke rumah.”

“Enggak banyak waktu nih. Habis ini ke Paris. Tapi maaf ya Mas, saya punya saran.”

Aku agak penasaran mendengar kalimat itu. Kataku,

“Wah, terima kasih jika Anda sudi mengucapkannya.”

“Kok lama sekali di luar negeri? Sebaiknya Mas yang pulang. Terbalik dong, kalau Mbakyu yang diboyong. Iya kalau kerasan. Ha-ha- ha….”

Sebuah saran yang mengejutkan! Aku tidak menjawab, namun menangkap kebenaran yang sudah lama mengendap dalam naluriku sendiri. Lelaki tak dikenal itu memberi salam, membelai Ferdi dan Lusi, lantas mengangkat kopernya sendiri dan melangkah menuju deretan taksi di luar pintu putar.

Seperti rombongan pengungsi yang kelelahan, kami berjalan menyorong kereta dorong menuju garasi. Ada kekhawatiran dalam hatiku, jangan-jangan adik iparku kelewat banyak berbicara dengan lelaki tadi. Tapi aku cuma menanyakan nama,

“Siapa wartawan itu? Koran apa? Kok ramah sekali. Kelewat ramah malah!”

“Oh ya, siapa ya? Aku lupa namanya, tapi ada kartu namanya di tasku. Untung kebarengan. Kalau enggak,….”

“Aku sengaja tidak kasih alamat kita.”

“Kenapa?”

“Ah enggak. Cuma malas nulis.”

“Tapi sudah kuberi. Sudah kupersilakan singgah.”

“Dia mengira aku suamimu.”

“Dia percaya aku istrimu. Mas mesti resmi melamar dulu, lho! Itu pesan Ibu.”

Kami terus melangkah menuju garasi. Sampai di mobil aku mencoba menggoda anakku,

“Papa lelah. Sekarang Ferdi yang nyopir, ya?”

Ferdi cuma ketawa. Adiknya ikut ketawa. Adik iparku juga ketawa. Mereka jemput nasibnya dengan ketawa.

Hari itu Selasa, 23 Maret 1974.

 

1)Padanga dalane jembara kubure – Semoga jalannya terang, kuburnya lapang

2)Paringan – pemberian

 

Paran, awal Juni 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler