Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004 "PELAYANAN KUDUS" KARYA BRE REDANA

Foto SIHALOHOLISTICK

Aku mendarat, dan seperti biasa-aku sudah diberi tahu sebelumnya-Joni-lah yang akan menjemputku di airport. Kota tempat tinggal Ros, kakak perempuanku, masih sekitar satu setengah jam dari kota di mana airport ini berada.

“Om…”

Kudengar teriakan anak perempuan. Aku menoleh. Dua keponakan perempuanku-alasan utama aku selalu datang ke sini-menghambur ke arahku. Ini hari istimewa, terutama bagi si kecil, Wida (kelas V SD), yang hari ini berulang tahun. Dia berlari-lari ke arahku, diikuti kakaknya, Vivi (kelas II SMP), yang setahun tak kulihat, dalam pandanganku sekarang terlihat begitu cepat besar dan manis. Di belakang keduanya, ada Joni yang senyum-senyum-satu ekspresi paling khas pada dirinya.

“Kalian tidak sekolah?” tanyaku.

“Kan libur, Natal…,” jawab Wida sambil menggeleyot manja. Si adik ini memang selalu begitu.

“Om dulu kalau Natal tidak libur ya?” sela Vivi. Ini khas ekspresi sang kakak: agak jahil.

Coba kucubit pipinya. Dia menghindar sambil tersenyum meledek.

Joni mengambil alih bawaanku. Kami berendengan menuju area parkir.

“Kamu apa kabar Jon?”

“Baik.”

Dia kulihat juga bertambah dewasa kalau mengingat pertama ikut Mama di kota kelahiran kami dulu, ia baru lulus SD. Kecil, udik, dan penakut. Bahkan kalau bicara pun, sering bergemetaran. Dia ikut keluarga kami, bersekolah sampai lulus SMA, sebelum kemudian pindah ke kota ini, ikut Ros. Ia kelihatan gagah dan penuh kepercayaan diri sekarang. Kudengar, dia aktif berlatih silat, bahkan kadang sudah bertindak sebagai pelatih.

“Umur kamu sekarang berapa Jon?” tanyaku.

“Dua empat, eh, dua lima,” jawabnya.

“Sudah punya pacar?”

Ia cuma tersenyum.

“Ibu di rumah?” aku bertanya tentang Ros.

“Tidak,” kata Joni. “Pergi, pelayanan…,” tambahnya. Ia selalu berkata satu-satu begitu, dan cenderung tidak bersuara kalau tidak ditanya.

Siang ini cuaca mendung. Udara menjadi agak dingin, sejuk.

Nasi kuning dengan sejumlah lauk-pauk termasuk ikan asin yang dibakar-makanan yang menurut hematku terenak di dunia-terhidang di meja. Beberapa anak tetangga teman-teman Wida menunggu di rumah. Satu lagi yang kusukai dari lingkungan kota kecil: kesederhanaan semacam ini.

“Selamat ulang tahun…,” seruku sambil mencium Wida. “Siapa yang membikin nasi kuning luar biasa ini? Mama?” tanyaku.

“Bukan,” jawab Wida. “Mas Joni.”

Aku melirik Joni. “Kamu yang membikin, ya Jon?”

Lagi-lagi ia cuma tersenyum, sembari sibuk menurun-nurunkan dan mengatur barang bawaanku.

“Gila, kamu makin pandai memasak,” aku bicara sambil mencomot tempe yang dipotong kecil-kecil, dimasak dengan bumbu manis-manis pedas. Kepiawaian memasak Mama rupanya Joni yang mewarisinya. Bukan Ros. Aku tahu Ros tidak suka memasak, dan barangkali tidak punya waktu. Apalagi, sejak dia makin sibuk melakukan pelayanan rohani di tahun-tahun belakangan ini.

“Kita akan makan nasi kuning ini bersama Mama?” tanyaku pada anak-anak.

“Mama bilang dia akan pergi seharian. Mama pesan kita-kita saja yang pesta…,” kata Vivi.

Aku mencari penegasan pada Joni.

“Ya, ibu pesan begitu,” ujar Joni.

“Ooh, pelayanan…,”

Tiba-tiba telepon rumah berdering. Vivi mengangkatnya, bercakap-cakap sebentar, sebelum kemudian menyodorkan gagang telepon padaku. “Mama,” ucapnya memberitahuku.

“Hai Ros…,” kataku.

“Ya, kamu baru datang ya? Perjalanan lancar? Di rumah semua sudah siap. Sudah ada nasi kuning segala, dibikin oleh Joni. Kamu makan saja sama anak-anak, tidak usah menunggu aku. Hari ini aku sibuk sekali. Pagi tadi sudah ke gereja, mengurusi persiapan bazar. Lalu aku harus segera lari ke Efatta karena harus ceramah di situ mengenai kesiapan wanita kalau harus hidup sendiri, memimpin keluarga sendiri…,” ia bicara seperti berondongan mitraliur, tentang topik yang terus terang sangat tidak menarik perhatianku.

Itulah Ros. Sejak berpisah dengan suaminya, dia menjadi sangat sibuk dengan kegiatan gereja, melakukan pelayanan rohani, ceramah dengan topik seperti disinggungnya tadi (yang tampaknya didasarkan pengalaman pribadi, bagaimana sebagai orangtua tunggal dia membesarkan dua anak), memberi kursus bahasa Inggris pada para mahasiswa sekolah theologia yang tidak sanggup membayar kursus di tempat-tempat kursus resmi, dan lain-lain.

“Nah, dari Efatta nanti aku harus ke desa tempat kami mendirikan taman bacaan untuk anak-anak. Kasihan sekali lho, anak-anak di desa itu. Mereka sama sekali tidak punya fasilitas apa-apa. Kamu mbok kalau punya buku, entah buku apa saja, dikirimkan kesini, disumbangkan kepada mereka. Tempatnya jauh. Aku pulang mungkin agak malam….”

Aku mulai jemu mendengar bicaranya. Nasi kuning di meja lebih menarik perhatianku daripada taman bacaan di desa.

“Ros, anak-anak sepertinya ingin pesta ulang tahun segera dimulai,” aku memotong pembicaraannya.

“Oke, oke, oke… baik. Tuhan memberkati,” katanya.

Kututup telepon.

“Mari kita makan…,” aku berseru di hadapan anak-anak, berlagak seperti bajak laut memimpin perompakan.

Semuanya siap menyerbu.

“Eh, tunggu, berdoa dulu,” sela Vivi.

“Oh, ya… Siapa yang memimpin doa? Kamu Joni. Kamu yang menghadirkan berkah ini,” selorohku pada Joni.

Joni tersenyum.

“Ayo…,” seruku.

“Saya tidak bisa berdoa,” ucap Joni malu-malu.

Entah siapa yang kemudian memimpin doa. Yang jelas, nasi kuning tersebut sangat istimewa, dan anak- anak semua bergembira. Ada beberapa penganan lain lagi setelah itu.

Tuhan memberkati Joni…

Seusai makan, aku merasa sangat ngantuk. Ada tetesan air. Hujan agaknya akan segera turun. Kesejukan udara inikah yang menstimulasi kantuk? Atau mungkin karena tadi aku bangun terlalu pagi, untuk penerbangan yang sangat awal?

“Om ingin tidur, kalian jangan terlalu ribut,” ujarku kepada anak- anak. Aku masuk kamar dan menutup pintu.

Rumah ini dipimpin Joni. Kubayangkan betapa repot kalau tidak ada dia. Mataku terasa semakin berat, sementara di luar terdengar berisiknya keponakanku dan teman- teman kecilnya-entah melakukan apa mereka.

Rasanya belum terlalu lama aku terlelap ketika aku dikejutkan oleh ketukan di pintu kamar yang cukup keras. Aku mendengar suara keponakanku berseru-seru membangunkanku. Apa yang terjadi?

“Om, bangun, bangun… Mas Joni sakit….”

Aku meloncat dari tempat tidur dan membuka pintu. Wida berada di depan pintu dengan wajah cemas. “Mas Joni sakit…” katanya.

“Di mana?”

“Di depan.”

Kudapati Joni tengah duduk di kursi di teras, bersama Vivi yang kebingungan. Tak jelas bagiku, apa yang sebenarnya terjadi.

“Ada apa Jon?”

Joni mencoba menjawab, tapi tampaknya membuka bibir pun dia kesulitan. Kulihat bibirnya bahkan agak miring. Dari matanya, kulihat dia juga berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar.

“Ada apa?” tanyaku lagi.

Ia mencoba bangkit dari kursi, tetapi tiba-tiba hampir saja dia jatuh. Dengan cepat aku memegangnya. Tubuhnya sangat dingin. Tangan kanannya, kaki kanannya, bibir, dan sorot mata itu….

“Ya Tuhan,” seruku dalam hati. “Mungkinkah stroke…”

“Di mana rumah sakit terdekat?” tanyaku kepada Vivi.

“Maranatha, tidak jauh dari sini…,” jawab Vivi.

“Kalian semua siap-siap. Kita bawa Mas Joni ke Maranatha. Kamu Vivi, menunjukkan jalan. Om yang nyetir.”

Kuangkat Joni ke dalam mobil. Ia duduk di belakang, ditemani si kecil Wida. Duduk di jok depan, di sebelahku, Vivi terus sibuk memencet- mencet handphone, untuk coba menghubungi mama-nya, Ros, kakak perempuanku.

“Tidak bisa Om, handphone Mama tidak aktif,” katanya. “Mungkin Mama sedang ceramah, atau melakukan pelayanan….”

Sulit rasanya memercayai kejadian ini. Betapa tak terduga kehidupan. Beberapa saat lalu aku melihat Joni yang sehat, cenderung perkasa. Tiba-tiba, ia tergeletak tak berdaya seperti ini. Di ruang gawat darurat Rumah Sakit Maranatha beberapa selang segera ditancapkan ke Joni, setelah sebelumnya aku mengisi berbagai formulir, termasuk menandatangani beberapa persetujuan untuk tindakan medis yang akan diambil. Apa yang disebut CT Scan Kepala (NK) segera dilakukan. Hasilnya keluar berupa film besar, yang dengan singkat diterangkan oleh dokter padaku apa artinya semua itu.

“Gejala semacam ini umumnya disebabkan dua hal, pendarahan di otak atau penyumbatan,” kata dokter yang bisa kuingat. “Dari foto ini bisa kita lihat. Tidak terjadi pendarahan. Hanya terlihat di situ ada suatu titik yang tampaknya merupakan penyumbatan. Ini bisa dianggap cukup melegakan,” tambah dokter, berusaha menenangkan kepanikanku. “Oke, tindakan pertama saya akan memberikan lovenox injection, itu untuk coba mencairkan sumbatan tadi….”

Aku mengangguk. Ia memang menginformasikan semua tindakan medisnya padaku, sebagai bagian dari pertanggungjawabannya. Ia katakan pula, ia adalah dokter umum, yang beberapa saat lagi akan dibantu oleh dokter khusus untuk kasus ini, seorang neurolog.

“Kasus semacam ini sering terjadi?” aku bertanya.

“Ya, tapi jarang terkena pada mereka yang berusia muda. Berapa umur dia tadi?”

“Dua empat, eh, dua lima….”

Dokter menggeleng-gelengkan kepala. Vivi terus sibuk dengan handphone-nya, namun tak kunjung bisa berkomunikasi dengan mamanya.

Natal yang penuh kepanikan, tetapi neurolog atau dokter khusus ahli saraf yang beberapa saat kemudian datang, memberi penjelasan padaku secara lebih rinci lagi mengenai keadaan Joni sehingga kami bisa merasa lebih tenang. Tak lama kemudian, Joni dipindahkan dari ruang gawat darurat ke kamar rawat inap biasa. Dalam semua proses itu, aku bersama dua keponakanku terus mendampingi Joni. Dua keponakanku itu kulihat seperti malaikat-malaikat kecil.

Beberapa waktu kemudian pula, Joni juga membuka mata, dalam tatapan yang berbeda dibanding ketika dia di rumah dan kami larikan ke rumah sakit tadi. Meski dengan sangat susah payah, ia mulai bisa berkomunikasi.

Saat itu pula Vivi tergopoh-gopoh mendatangiku, dan menyodorkan handphone-nya. Rupanya Ros telah bisa dihubungi. “Mama ingin bicara…,” kata Vivi.

“Ya Ros…,” kataku.

“Apa yang terjadi? Kenapa dia? Tidak apa-apa? Kamu bisa menangani semuanya? Sudah di rumah sakit, jadi apa hasilnya? Waduh, bagaimana ya, aku sangat sibuk. Ini Natal, kamu tahu kan… aku tidak segera bisa ke situ karena aku masih harus melakukan pelayanan di dua tempat berbeda, jaraknya berjauhan….”

Segera kupotong omongan Ros yang membuat kepalaku mendadak pusing. Kataku, “Ya Ros, kamu selesaikan urusanmu dulu, nanti kita bicara lagi….”

“Nanti kuberi tahu lagi aku di mana. Tuhan memberkati…,” kata Ros sebelum menutup telepon.

Aku kurang peduli.

DI luar, hujan kelihatannya mulai turun. Aku menatap mata Joni, yang balik menatapku, dengan pantulan seperti paduan antara pasrah dan terima kasih. Bahkan matanya kelihatan berkaca-kaca. Aku ingat, di kampungnya, Joni sudah tak punya siapa-siapa. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Adik-adiknya tersebar di berbagai tempat, salah satunya ikut Mama di kota asalku.

“Kita sama-sama tidak bisa berdoa Jon, tapi percayalah, Tuhan akan menolong kita. Dia mungkin sudah turun, bersama hujan…” kataku mengajaknya sedikit bercanda.

Mata Joni makin berkaca-kaca. Hujan terdengar semakin deras.

“Nah, ya kan, Tuhan makin deras…,” ujarku lagi melucu.

Kali ini Joni terlihat tersenyum.

Entah di mana Ros. Aku tak berpikir mengenai dia. Ini memang Natal, dan tahu kan, seperti dikatakannya tadi, dia sibuk….

Aku hanya berpikir satu hal: mudah-mudahan Tuhan benar-benar datang bersama hujan, dan Joni cepat sembuh.

 

Banjarsari, Ciawi, Desember 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler