Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004 "PETANG PANJANG DI CENTRAL PARK" KARYA BONDAN WINARNO

Foto SIHALOHOLISTICK

Entah sudah berapa kali Taka bangkit dari duduknya di bangku taman itu. Bangku yang terbuat dari batu alam utuh, dipahat menjadi balok panjang yang nyaman diduduki. Semak-semak rhododendron di belakang bangku itu masih menampakkan rona ungu dari bunga-bunga yang telah mekar sejak awal musim semi. Mungkin karena perdu itu terlindungi dari sinar matahari langsung oleh sederetan pohon cemara rendah, bunga-bunga ungu itu tak cepat menjadi layu. Sebentar lagi musim panas akan tiba. Dan rhododendron akan layu dibakar matahari yang terik. Anicca-tiada makhluk yang abadi di dunia ini.

Kolam air di dekat bangku taman itu memantulkan warna langit yang biru tak berawan. Dedaunan pohon willow yang berderet di salah satu sisi kolam berdesir ditiup angin sepoi. Yanagi, begitu nama pohon itu dalam bahasa Taka. Daun-daunnya yang lembut, dan berdesir-desir bila ditiup angin, selalu mengingatkan Taka akan butir-butir air mata dan desah tangis. Sosok pohon yang selalu menciptakan suasana melankolis.

Teduh dan tenang di sekitar bangku tempat Taka menanti. Sesekali melintas pasangan-pasangan yang sengaja berjalan menyimpang dari tapak jalan utama menuju Bethesda Fountain atau Cherry Hill yang tak jauh dari tempat itu. Dari bangku itu, ujung-ujung Belvedere Castle tampak menjulang di utara.

Masataka Sueyoshi berjalan beberapa langkah ke barat. Matanya nanar memandang ke sekeliling. Lalu ia buru-buru kembali ke bangku taman itu. Seolah- olah ia tak pernah ingin pergi terlalu jauh dari bangku itu. Ia duduk kembali di bangku itu. Dipandanginya beberapa lembar koran yang terlipat rapi di atas bangku batu itu. Ia telah membaca habis semua halaman koran itu. Tak ada lagi yang tersisa.

Tetapi, Yuki tetap belum hadir di bangku batu itu. Bangku batu di Central Park, tempat ia melewatkan setiap petangnya.

Siang terakhirnya di New York, tentu saja, Taka makan siang di “Fugakyu”. Tugas dari kantor pusat untuk merestrukturisasi kantor cabang di New York membuatnya harus berada di kota ingar-bingar itu selama dua bulan. Menemukan “Fugakyu”, sebuah restoran kecil di lantai lima sebuah gedung tak jauh dari pertigaan dengan 72nd Street di Midpark, adalah sebuah takdir-sebuah destiny-bagi Taka. Di sana ia menemukan Yuki. Ia tak mencari. Tetapi ia menemukannya. Dan ia tak pernah lagi melepaskan temuannya itu.

Siang itu – seperti semua siang selama dua bulan terakhir – Taka selalu duduk di ruang yang sama. Memesan menu yang sama pula. Ia tak pernah menyia-nyiakan waktu untuk melihat daftar menu. Ia memanfaatkan setiap detiknya bersama Yuki untuk memandangi wajah bening yang tertunduk takzim di hadapannya. Taka tahu, setelah itu ia tak akan melihat Yuki lagi sampai saatnya meminta bon makan. Seorang pelayan lain akan membawakan minuman dan makanan, dan kemudian meninggalkan Taka sendiri menyelesaikan santap siangnya sendiri.

Taka menepukkan kedua tangannya untuk memanggil bon makan. Dan seperti sebuah keniscayaan, sebentar lagi ia akan mendengar dekak-dekak geta yang dipakai Yuki mendekati pintu. Dan pintu sorong itu kemudian terkuak-hampir tanpa suara. Seperti semua perempuan Jepang, Yuki selalu berlutut sebelum membuka pintu. Ia membungkukkan badannya untuk menghormat sehingga hanya ubun-ubun dan rambutnya saja yang tampak oleh Taka.

“Please come in, Snowflake,” kata Taka.

Bahkan dalam menunduk seperti itu Taka bisa melihat wajah Yuki merona merah. Ah, betapa inginnya Taka menyentuh pipi selembut itu.

“Kenapa Tuan selalu memanggilku Hablur Salju?”

“Yuki dalam bahasa kita berarti Hablur Salju, bukan? Dan, sekali lagi, namaku bukan Tuan. Panggil aku Taka saja. Masataka! Semua orang sudah memanggilmu Yuki, hanya aku seorang yang memanggilmu Hablur Salju. Aku mau kau mengenangku dengan cara itu.”

Yuki mengingsut masuk ke dalam ruang tatami, menyodorkan baki kecil dengan bon makan yang diminta Taka. Taka tak segera mengambilnya. Dipandanginya jari-jemari lembut Yuki berlama-lama. Jari-jemari itu begitu bersih dan terpelihara, putih, dengan buku-buku berwarna merah muda.

Taka sedang kasmaran. Yuki memang cantik. Bening. Tetapi, bukan hal besar bernama kecantikan itu yang membuat Taka jatuh. Ia jatuh karena berbagai hal kecil yang dimiliki Yuki. Pipinya yang merona merah ketika tersipu. Buku-buku jari-jemarinya yang merah muda. Geliginya yang tak beraturan, tetapi menampilkan harmoni indah. Butir-butir keringat halus di puncak hidungnya.

Taka meletakkan kartu kredit di atas baki kecil itu tanpa melihat bon makan yang disodorkan secara terbalik. Dan ia segera menyesali mengapa ia begitu cepat meletakkan kartu kredit itu. Ia masih ingin memandangi jari-jemari itu lebih lama lagi. Jari-jemari yang polos, tanpa sebentuk perhiasan pun. Kuku-kuku yang terawat rapi tanpa pewarna. Ah, alangkah inginnya Taka membawa jari-jemari lembut itu ke bibirnya dan mengecupnya. Ah, alangkah inginnya Taka membawa punggung tangan yang bening itu untuk mengelus pipinya.

Yuki menghilang di balik pintu yang kemudian ditutup kembali.

“Aku ingin menemuimu di taman pukul empat petang nanti, Snowflake. Di tempat yang sama.”

Taka tahu, ia tak akan mendapat jawaban apa pun dari Yuki. Tetapi, ia juga tahu bahwa Yuki akan berada di taman, di seberang restoran, ketika suaminya tidur siang untuk mempersiapkan kerja restoran menerima tamu-tamu makan malam. Di sanalah Yuki melewatkan hampir setiap petangnya. Bersama burung-burung dara pada musim panas, dan bebek-bebek Kanada di musim dingin.

“Ini hari terakhirku di New York. Besok pagi aku pulang ke Tokyo.”

Yuki mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah Taka. Dibiarkannya Taka melihat wajahnya tanpa berkedip. Ah, air matakah yang dilihat Taka menggantung di sudut-sudut mata Yuki? Sosok di hadapannya itu tiba-tiba tampak seperti sebuah bidang transparan. Begitu beningnya sehingga pandangan Taka seolah bisa menembus permukaan kulit perempuan ringkih di hadapannya. Di dalam raga rapuh itu Taka melihat sebuah cinta. Sebuah cinta yang teramat besar!

Dari bangku taman di Central Park itu, jendela-jendela restoran “Fugakyu” di Central Park West dapat terlihat dengan jelas. Tetapi, sebaliknya, dari jendela restoran, bangku taman itu tak kelihatan karena terlindung oleh daun-daun pohon willow di sisi kolam. Diperlukan teropong yang kuat untuk bisa mengenali sosok yang dikaburkan oleh daun-daun willow. Dan Osamu, suami Yuki, tak pernah mempunyai alasan untuk mengintai istrinya duduk di bangku itu dengan teropong.

Di sanalah Taka melihat Yuki pertama kali. Seorang perempuan yang tampak rapuh karena tubuhnya yang teramat ramping. Seorang perempuan sendiri di bangku taman. Bukankah itu selalu merupakan pemandangan yang romantis?

“Snowflake-chan, aku menyayangimu. Aku tak bisa hidup tanpa kamu,” kata Taka pada perjumpaan kedua belas di taman itu. Tangannya mengelus jari-jari lembut Hablur Salju yang tertumpang di tangannya yang lain.

Yuki bergeming. Matanya menatap jauh ke arah puncak Belvedere Castle. Ia tak mengatakan apa-apa. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Dua butir air mata di sudut-sudut matanya yang bening adalah jawaban untuk pernyataan Taka.

Mungkin! Mungkin sekali Yuki memang mempunyai perasaan cinta terhadap Taka. Ia hanya tak pernah mengatakannya. Ia terlalu menghargai ikatan perkawinannya dengan Osamu sehingga ia tak akan pernah mengatakan apa pun yang dapat mencederai ikatan suci itu. Kekecewaannya terhadap Osamu, kekecewaannya terhadap dirinya sendiri, tersimpan rapat dalam bilik hatinya. Yuki adalah perempuan Jepang yang selalu mampu menyublimasikan penderitaannya ke berbagai bentuk penampilan yang indah.

Tetapi, Yuki juga tahu, hatinya bergetar keras setiap kali Taka mencuri-curi mengelus jari-jemarinya. Yuki juga tahu, betapa ia menggigil lemas setiap kali Taka mengecup pipinya sebelum meninggalkan Yuki di depan pintu restoran. Yuki kembali ke suaminya-dan pekerjaan rutinnya di restoran. Yuki tahu betapa kosong perasaannya setiap Taka pergi. Hatinya kembali beku ketika gelombang cahaya kehangatan itu mendadak lenyap dari sisinya.

Dan Taka kembali ke kamar hotelnya. Membawa degup yang kian mengeras di dadanya. Jantungnya selalu berdegup kencang bila memikirkan Yuki. Rongga dadanya meluap dipenuhi kemewahan dan kemegahan cinta.

Sebelum mengenal Yuki, kehidupan Taka begitu mudah dan tak bermasalah. Ia mempunyai seorang istri yang menyayanginya, dan seorang anak yang sudah berangkat dewasa. Sebuah kehidupan keluarga menengah ke atas yang nyaris tanpa pergumulan. Dengan kedudukannya yang tinggi di perusahaan besar itu, Taka bisa memberi keluarganya lebih dari rata-rata kesejahteraan warga Jepang.

Selama ini Taka seperti hidup di sebuah menara gading yang tak tersentuh persoalan. Pekerjaannya aman. Kehidupan rumah tangganya tenteram. Lalu, sebuah perjumpaan innocent dalam perjalanan dinasnya membuat segalanya berubah bagi Taka.

Taka seperti hidup dalam sebuah dunia yang sama sekali baru. Sebuah dunia baru yang penuh rona. Sebuah dunia baru yang penuh rasa bahagia. Taka merasa seperti terlontar ke dalam lorong waktu dan kembali ke masa remajanya.

Ah, betapa indahnya perasaan Taka setiap kali ia berjalan bergegas menuju tempatnya makan siang di “Fugakyu”. Ia berjalan ke ruang tatami yang seolah-olah sudah menjadi miliknya karena ia selalu memakai tempat itu setiap jam makan siang. Dekak-dekak cepat suara geta Yuki mengikutinya dari belakang. Dengan kimono yang dipakainya, langkah-langkah Yuki menjadi lebih pendek.

Malam telah lama menggantikan petang. Taka masih memandang lurus-lurus ke arah jendela “Fugakyu”. Ketika akhirnya lampu-lampu di balik jendela itu padam karena restoran sudah tutup, diam-diam Taka mengharap Yuki justru sedang hadir di jendela itu untuk memandanginya.

Hablur Salju, aku menyayangimu! Aku tak bisa hidup tanpa kamu. Taka mendengar suaranya sendiri menjerit di relung kalbunya. Matanya menatap lurus-lurus ke arah jendela “Fugakyu”. Tidak. Ia tidak melihat bayangan Yuki di sana. Yuki tidak menampakkan dirinya di sana untuk mengucapkan selamat jalan kepada Taka. Dan Taka kehilangan keberanian untuk mengetuk pintu restoran itu.

Ah, alangkah berbahayanya musim semi. Ketika bunga-bunga bermekaran, hati manusia pun menjadi bunga, dan menjadi lahan subur untuk menumbuhkan cinta.

Taka berdiri dari duduknya. Ia mengecup kedua tangannya dan melambaikan kecupan itu ke arah jendela itu. “Kau tak akan pergi dari hatiku, Hablur Salju. Aku telah memerangkapmu di sana. Dan kau tak akan pernah bisa pergi dari sana,” kata Taka dalam hati.

Langit bertabur bintang. Biru yang kelam menyungkup semesta. Taka memandangi bulatan bundar di langit. Ia bahkan sudah tidak tahu lagi, apakah itu rembulan atau matahari. Hatinya kosong. Otaknya kosong. Taka tak ingin merasakan apa-apa lagi. Ia tak ingin berpikir apa-apa lagi.

Pikiran tentang masa depan tanpa Yuki hanya membuatnya merujit pilu. Ada gumpalan tercekat di tenggorokannya. Bulu kuduk Taka meremang. Gelombang hawa dingin tiba-tiba muncul dalam tubuhnya. Ia tak kuasa menahan tubuhnya terguncang-guncang dalam isakan tangis yang datang begitu saja.

Dari jauh ia mendengar suara tapak-tapak kaki kuda penarik kereta mengelilingi Central Park. Seperti dekak-dekak suara geta yang dipakai Yuki di restoran.

 

Di tepi Sungai Sarawak, Juli 2004

yuki = salju, kristal salju, hablur salju, juga berarti kekuatan

chan = panggilan saying

geta = bakiak/kelompen kayu khas Jepang

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler