Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004 "ROTI TAWAR" KARYA KURNIA EFFENDI

Foto SIHALOHOLISTICK

Setangkup roti tawar yang tersaji di meja makan menampakkan lelehan pasta selai kacang. Itu kombinasi yang paling kugemari. Meskipun ada pilihan lain, seperti selai nenas, stroberi, atau keju lembut.

Dalam seminggu aku sarapan roti tawar sedikitnya empat hari. Bahkan sesekali aku membawanya ke kantor dalam kotak makanan yang terbuat dari plastik. Pada pukul sepuluh, saat perut belum sepenuhnya lapar, biasanya aku tergoda untuk membuka bekal dan menggigit roti tawar itu dengan perasaan iseng.

“Boleh minta separuh?” suatu saat Nila memergoki.

Aku memotong bagian yang tak tersentuh gigiku. “Suka selai kacang?”

“Apa saja.” Ia tersenyum. Matanya tampak lebih lapar. “Terima kasih.”

Akhirnya aku menghentikan pekerjaan dan memandang cara Nila makan. Sungguh tak tebersit sikap curiga seandainya aku sengaja memancingnya agar ia mengunyah lebih cepat dan menelan lebih segera. Alangkah mudah jika aku bermaksud meracuninya. Tentu dia tak akan bertahan lebih dari lima menit. Selanjutnya terjungkal dari kusi dengan – atau tanpa- mulut berbusa.

Aku tersenyum, karena memang tidak bermaksud membuatnya celaka. Aku menyelesaikan separuh roti tawar dengan selai kacang itu lebih perlahan. Perutku memang belum sepenuhnya lapar.

“Kamu mau kopi? Aku baru saja membuatnya.” Nila berjalan menuju meja kerjanya di ujung ruang. Lalu kembali dengan cangkir yang tampak mengepulkan asap.

Aroma kopi menyergap, merangsang hidungku. Segera kuberikan gelasku untuk membagi kopi itu. Dengan cara yang sungguh mumpuni, Nila menuang kopi dari cangkirnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin di rumah, dia sudah biasa melakukannya. Terhadap suami atau anak-anaknya. Eh, apakah dia sudah tak lajang lagi? sependengaranku, Nila tak pernah menceritakan perihal anak atau suami.

Kini aku mengamati caranya menyeruput kopi. Begitu khidmat. Tidak dengan sambil-lalu. Barangkali kopi adalah bagian dari ritualnya sehari-hari. Seperti roti tawar bagiku.

“Terima kasih roti tawarnya,” ujarnya begitu meletakkan cangkir. Menghindari salah tingkah lantaran kuperhatikan.

“Terimakasih juga kopinya…”

“Tapi kamu belum mencobanya,” Nila memotong.

“Oh ya, sebentar lagi. Masih panas.” Aku sengaja menyentuh gelas dengan telapak tangan.

“Percayalah, justru kalau sudah dingin akan kehilangan rasa sedapnya. Itu yang penting.”

Nila menyebut ’yang penting’ dengan cara seolah benar-benar penting. Maka aku pun mengangkat gelas dengan sergapan wangi kopi ke dalam lorong hidung. Kuhirup dan kucecap dengan lidah. Astaga… pahit! Tapi, tentu saja tidak kutunjukkan keterkejutan dengan ekspresi bibir dan lidah yang terjulur tanda menolak.

“Enak, bukan?” Nila tersenyum memandangku lurus.

“Hm, ya. Tapi…”

“Pahitkah?” pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Aku tidak suka kopi manis,” katanya kemudian.

Dengan demikian, pikirku, besok pagi jika memang ditawari lagi, sebaiknya kutolak. Sepanjang dia tak tersinggung, tentu.

Nila bangkit dari duduk. “Kuambilkan gula di pantry Mbak Mimi?”

“Oh, tidak usah.”

“Ayolah, Seto! Daripada kopiku nanti kamu buang.”

“Pasti kuminum.” Heran. Aku berjanji, mengatakan pasti, tapi setengah hati.

“Terima kasih. Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?”

Aku menyebutkan sebuah nama. Nila pasti sudah sering mendengar nama itu. Tidak terlalu populer, tapi mudah dicari di supermarket, bahkan di circle-K.

“Eh, jam berapa ini? Sudah waktunya kerja lagi.” Nila tertawa dan berdiri. “Apakah kamu selalu meluangkan waktu untuk coffee break?”

“Kadang-kadang.” Aku tersenyum. Dari seberang sana, Nila akan sulit melihat kebiasaanku. Ada berderet meja karyawan lain. Hanya saat mengambil air dari dispenser, sesekali dia bisa menoleh kepadaku.

“Ok, selamat bekerja kembali.”

Nila melenggang. Justru setelah dia pergi, wangi parfumnya tertinggal. Light Blue. Dolce & Gabbana! Harum jasmin yang meruap. Ah, aku teringat sesuatu! Tapi segera kutepis, karena orang-orang secara bersamaan keluar dari ruang rapat menuju ke meja masing-masing. Kini ruangan dengan gaya open space itu kembali ramai.

Saat perjalanan pulang ke rumah, aku teringat kembali percakapan singkat dengan Nila. Kukira itu terjadi tiga tahun sekali. Maksudku, setelah aku bekerja di kantor ini selama tiga tahun, peristiwa itu terjadi. Padahal aku kerap membawa bekal roti tawar ke kantor dan pada pukul sepuluh sering tergoda untuk menggigitnya.

Entah kenapa, sebelum tiba di rumah aku sengaja mampir ke sebuah toko bakery langganan. Entah kenapa aku sengaja membeli roti tawar dua kali lebih banyak daripada biasanya. Diam-diam aku merencanakan sesuatu untuk esok pagi. Aku akan membawa bekal dan menunggu hingga jam sepuluh. Menunggu mataku (bukan perutku) tergoda untuk menggigit roti tawarku. Menunggu Nila melangkah mendekat dan menawariku kopi. Tapi … apakah sebaiknya kopi itu kutolak?

Kasir menyebut harga yang harus kubayar untuk dua pak roti tawar tanpa kulit. Aku teringat pujian Nila: Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?

Kubaca nama toko bakery itu seperti berusaha menghafal dari awal. Lalu kuingat-ingat, sejak kapan aku mulai menetapkan pilihan padanya? Banyak sekali roti tawar yang pernah kucoba, tapi yang ini memang berbeda. Begitu lembut. Ada semacam rasa ketagihan saat mengunyahnya.

Perjalananku berakhir di depan pagar rumah. Cahaya kuning temaram menyambutku. Seseorang telah menyalakan menjelang petang tadi. Mungkin Isah, atau ibuku. Hanya dengan mereka berdua aku tinggal di rumah tipe 45 berhalaman sempit ini. Karena itulah kupilih mobil Karimun yang tak begitu panjang.

Sebelum kuletakkan segala bawaan dari kantor, yang terdiri dari lap-top dan majalah, aku mencari Isah hanya untuk mengatakan: “Besok pagi, siapkan roti tawar lebih banyak.”

“Semua dengan selai kacang?”

Aku tertegun. Apakah sungguh-sungguh Nila menyukai roti tawar dengan selai kacang? Kebetulan tadi pagi aku membawa selai kacang, tidak ada pilihan lain. Dan Nila mengatakan: Apa saja. Dengan mata yang tampak lapar.

“Kalau begitu, buatkan juga dengan stroberi dan nenas.”

Setelah itu aku menjenguk Ibu di kamar tidurnya. Tampaknya sedang sibuk membereskan lemari bajunya. Padahal aku tak sabar ingin menyampaikan berita agak penting: “Tadi pagi ada seorang perempuan, namanya Nila, minta roti tawarku.”

Lalu pertanyaan dalam hati itu mengusik kembali: apakah Nila sudah tak lajang? Kegemarannya akan kopi pahit terasa agak unik. Karena seingatku dia salah seorang sekretaris, bukan desainer atau arsitek yang umumnya bekerja begadang.

ENTAH kenapa, kemudian, aku bangun di pagi berikutnya lebih lekas daripada biasa dan penuh semangat. Entah kenapa, sebelum ke kamar mandi aku menengok persiapan di meja makan. Tentu saja belum ada apa-apa. Mungkin Isah baru saja terjaga.

Ini hari Rabu, membayangkan Nila tidak mengenakan seragam seperti hari Senin dan Selasa. Mungkin hari ini dia akan mengenakan setelan baju ketat dengan celana panjang atau justru rok mini. Ah, mengapa serentak hatiku berdebar? Aku mandi melupakan air dingin, sambil menggosok tubuhku lebih teliti ketimbang kemarin.

Ketika aku memasukkan empat tangkup roti tawar dengan aneka rasa itu (satu di antaranya diisi taburan cokelat) ke dalam tempat yang terbuat dari plastik dengan ukuran lebih besar, tebersit keraguan. Bagaimana aku membawa turun dari mobil dan masuk ke dalam lift bersama karyawan lain di gedung 12 lantai itu? Bisa jadi menimbulkan pertanyaan yang agak menggoda: “Mau piknik ke mana, Seto?”

Aku harus tiba lebih awal, saat lift masih kosong. Tapi keraguan kedua muncul. Jangan-jangan, pada pukul sepuluh nanti, tidak ada rapat seperti kemarin, sehingga tentu banyak kawan-kawan lain di sekitar kami. Aku duduk berderet dengan karyawan lain. Bagaimana mungkin ’mengundang’ Nila ke mejaku? Atau aku yang mendatanginya? Itu justru semakin tidak mungkin, menenteng tempat roti ke wilayah sekretaris, yang berdekatan dengan tempat duduk direktur, bukan pada jam istirahat pula.

Tentu nanti ada akal! Aku pun pamit kepada Ibu dan mengurungkan niatku untuk menyampaikan peristiwa kemarin karena sedang mengejar waktu. Pandangan Ibu agak heran dengan bekal yang kubawa.

“Seto, kamu tidak akan ke luar kota, kan?”

“Oh, tidak. Kebetulan aku belum sarapan, sekalian untuk makan siang.”

“Apakah tidak ada kantin di kantormu? Kamu pernah cerita ada tempat makan yang selalu ramai.”

Aku mulai gelisah. “Kadang-kadang pekerjaan sangat padat, membuat aku harus tetap berada di tempat.”

Ibu tersenyum. Mungkin karena bangga terhadap cara kerjaku. Atau karena memergoki alasan yang kurang masuk akal? Atau hanya ingin terpingkal lantaran sejak kecil aku begitu menyukai roti tawar?

“Hati-hati di jalan.” Pesannya sewaktu kucium tangannya. “Apakah di kantormu tidak ada gadis cantik yang menjadi teman kerjamu?”

Aku nyaris tersengal. Apakah sebaiknya kuceritakan sekarang? Mungkin tak cukup seperempat jam. “Ada. Tapi tidak kenal dekat. Nanti malam kuceritakan pada Ibu.”

Aku segera berlalu sebelum bertambah banyak pertanyaan. Percayalah, nanti malam kuceritakan. Aku sedang mencoba mempertaruhkan hari ini. Sebagai tanda dibukanya kembali pintu hatiku.

Sepanjang perjalanan, banyak hal melintas di kepala. Ingatan yang berlompatan, mendesak untuk tampil di ruang benakku. Beberapa nama yang sempat tertanam lama meskipun telah jauh berlalu. Saling tumpang-tindih awalnya, kemudian mulai tersusun seperti sebuah peristiwa yang diputar ulang.

Kekasihku yang pertama, Putri, melompat dari balkon hotel lantai 23. Dia patah hati dengan Rangga dan aku mencoba menyembuhkan lukanya. Namun undangan bertemu bekas kekasihnya itu, di hotel berbintang lima, membuatnya pergi secara misterius tanpa sepengetahuanku. Beberapa lama sesudah peristiwa menyedihkan itu, aku mencoba menghibur ibunya yang tak pernah menghapus tulisan terakhir anaknya di cermin riasnya.

Untuk melupakan kenangan itu aku pindah bekerja, dari sebuah rumah produksi beralih menjadi pembuat program acara radio. Aku menjadi jarang jalan-jalan karena lebih banyak bekerja di studio. Temanku seorang dara yang gagal menjadi penyanyi dan kemudian menjadi penyiar. Ia menyukai segala sesuatu yang bergambar babi: mulai dari tas, dompet, gelas minum, t-shirt, saputangan, bahkan sprei dan boneka babi. Yang tak pernah kusangka, ia ternyata memelihara babi mungil yang boleh berkeliaran di dalam rumahnya. Itu kuketahui saat aku mengantarnya pulang sesudah acara siaran langsung pertunjukan festival band kampus.

“Meristin, apakah itu bukan robot babi?” kataku kaget ketika kulihat babi merah jambu menyerbu di depan pintu yang dibuka oleh ibunya, suatu tengah malam.

“Sembarangan ngomong!” tegurnya sambil tertawa. “Dia tak akan pergi tidur sebelum aku pulang.”

Aku lebih terkesima saat Meristin memeluk dan mencium moncong babi yang basah itu. Astaga! Seandainya aku menjadi kekasihnya, apakah aku harus berbagi bibir Meristin dengan babi itu? Aku mencoba menahan muntah. Padahal, aku mulai jatuh cinta dengan penyanyi gagal itu.

Selanjutnya aku mulai menjaga jarak agar tidak terlampau jatuh hati dan mungkin lambatlaun menjadi teman sejawat saja. Bahkan untuk sekadar berjabat tangan saja aku mulai berpikir, jangan-jangan sebelumnya Meristin mengelus-elus hidung babi kesayangannya. Dan ketika untuk kedua kalinya aku terpaksa mengantar Meristin pulang menjelang pagi, babi itu juga belum tidur. Sesungguhnya aku tak percaya pada pernyataan Meristin. Babi sialan itu pasti sudah tidur mendengkur sejak sore dan terbangun menyambut majikannya ketika mendengar suara gaduh di pagar halaman.

“Hei, Baby! Kasihan kamu belum tidur…” sambut Meristin.

Saat itu aku pun ingin muntah. Lekas-lekas aku pamit. Namun rupanya Meristin gadis yang sopan, sehingga ia mengantarku sampai ke pintu pagar. Aku tak melihat babi kesayangannya meluncur dari gendongannya persis ketika aku menjalankan mobil dengan gas penuh. Bunyi ’nguik!’ dan mobil yang berguncang oleh tubuh babi yang mungkin terlindas ban membuatku menginjak rem mendadak. Maka gemparlah pagi buta itu dengan tangis Meristin dan orangtuanya yang marah-marah. Ketika dua orang satpam melangkah dari gardu di ujung jalan, aku punya pikiran kerdil untuk segera melarikan diri. Itulah yang kulakukan. Aku akan bertanggung jawab, misalnya dengan membeli babi sebagai penggantinya, tetapi tak ingin babakbelur seandainya dua orang satpam yang kurang tidur itu lepas kendali.

Selamat tinggal Meristin! Aku pun pindah kerja lagi dan kini diterima pada bagian distribusi unit di perusahaan otomotif. Tahun-tahun berjalan dengan berusaha melupakan Putri dan Meristin. Pada suatu acara pertemuan dealer mobil seluruh Indonesia, aku bertemu dengan seorang gadis wiraniaga yang selalu meninggalkan wangi jasmin setiap kali melintas di depanku. Tiga hari tiga malam di Lido Resort membuat kami dekat satu sama lain. Namun pada malam terakhir aku kecewa karena kupergoki dia menghuni kamar yang salah bersama seorang laki-laki. Aku lebih mudah melupakannya karena ia segera kembali ke kotanya di luar Jawa, namun tak mudah melupakan aroma parfumnya. Aku mencoba mengenali jenis dan mereknya.

Kemarin Nila memiliki aroma yang sama! Light Blue!

Kini aku melambatkan mobil, memasuki halaman parkir gedung kantor. Hatiku mulai berdebar. Aku merencanakan sesuatu pada jam sepuluh nanti. Akankah Nila kali ini curiga dengan bekalku yang bertambah banyak? Aku gembira mendapatkan kantor masih lengang. Dan segera meletakkan bekalku di bawah meja kerja. Tentu belum ada yang datang kecuali office boy yang sedang merapikan ruangan.

Ketika jam kerja dimulai, perhatianku mulai terpecah pada hal-hal yang kurencanakan. Aku tidak jadi sarapan, agar jam sepuluh nanti perutku cukup lapar. Dari jauh aku melihat Nila mengenakan blouse warna ungu muda ditutup blazer dan pada lehernya tersimpul scarf. Warna yang mengganggu perasaan. Warna yang dikenakan gadis wiraniaga dari luar Jawa itu pada hari penghabisan rapat nasional. Ternyata aku masih kecewa. Tapi, pasti tak ada hubungan antara Nila dengan peristiwa itu.

Mengapa jam terasa begitu lambat? Dan rupanya aku menjadi tidak produktif. Entah kenapa, saat Nila berjalan dari ujung ruang menuju dispenser, aku seperti telah mengenal ketukan langkahnya. Seperti sebuah gerakan perlambatan, sengaja kuambil bekal dan kuletakkan di atas meja. Pagi ini tidak ada rapat, semua karyawan sedang sibuk di meja masing-masing. Sementara yang kutunggu dengan perasaan berdebar tak kunjung tiba. Nila tidak menoleh sama sekali ke arahku. Saat itu teman sebelah-menyebelahku memergoki sejumlah roti tawar dari tempat transparan dengan mata bersinar.

“Seto, bagi rotinya ya!” Entah siapa yang memiliki gagasan itu, sekitar empat orang mendekat. Adi, Yong, Yudi, dan Ibnu berkerumun. Mau tak mau aku membuka kotak bekalku. Mataku mencoba mencari Nila, tapi perempuan itu sudah kembali ke mejanya. Bahkan agaknya tak mendengar kata ’roti’ yang diucapkan teman sebelahku. Sayup aroma kopi yang diseduhnya terbang ke hidungku…

Rencana pukul sepuluhku berlalu menyedihkan. Di kotak bekal tinggal setangkup roti berisi selai nenas yang tidak kusukai. Tapi tak mungkin juga kutawarkan kepada Nila, seolah menyodorkan penganan sisa. Aku tak perlu mendengar ucapan terima kasih kawan-kawan yang juga memuji lezat dan lembutnya roti tawarku. Mereka tak pernah tahu, bahwa roti tawar itu untuk Nila!

Sisa hari yang panjang tak memberi semangat, tapi mungkin aku masih punya kesempatan mengajaknya makan siang bersama. Maka menjelang pukul dua belas aku sengaja menunggu di depan elevator, pura-pura hendak turun makan. Nanti, ketika Nila muncul dari ruangan untuk istirahat makan siang, bisa turun bersama-sama.

Saat pintu lift terbuka, seorang tamu laki-laki keluar dari kabin menuju resepsionis. Sementara itu beberapa orang keluar ruangan, sebagian dengan kotak rokok di tangan, siap turun makan siang. Lantai tujuh ini memang paling banyak memiliki karyawan. Lobi segera meriah oleh suara mereka yang antri di depan lift. Tak lama kemudian, Nila muncul dari ruangan dengan wajah sumringah. Aku menanti berdebar, siap berebut tempat jika Nila masuk ke dalam lift. Namun yang terjadi, Nila berjalan lurus menuju seorang laki-laki yang berdiri di depan meja resepsionis.

“Hai, tepat waktu kamu!” ujar Nila pada laki-laki itu. Lalu mengucapkan terima kasih pada Sofie, resepsionis yang memanggilnya melalui telepon internal. Perasaanku ciut. Kekasih atau suaminya?

Kami bersama-sama menunggu lift yang selalu penuh di kala jam makan siang. Aku tersenyum kepada Nila. Ia membalas senyumku, tapi seperti lupa kejadian kemarin. Aku tentu tak bermaksud mengingatkan, apalagi di depan laki-laki lain. Entah kenapa, aku bersyukur Nila tak memperkenalkan temannya itu. Dan entah kenapa, sewaktu pintu elevator terbuka, aku tak ikut masuk ke dalamnya. Aku memilih lewat tangga darurat.

Dalam perjalanan pulang ada yang kurasakan hilang. Tapi seperti biasa aku tetap singgah di toko roti langganan. Lama aku berdiri, sampai seorang pramuniaga mengambilkan roti tawar kegemaranku. “Oh ya, terima kasih. Tapi satu saja.”

Ketika tiba di rumah, Ibu sudah menunggu di meja makan dengan wajah yang tampak segar. Aku tersenyum dan mengatakan hendak mandi dulu. Isah menyambut roti tawar yang kubawa seraya bertanya: “Besok pagi mau bawa berapa tangkup?”

“Seperti biasa satu saja. Isi selai kacang.”

Aku pun mandi dengan perasaan ngungun. Ibu masih di meja makan begitu aku selesai mengenakan baju rumah.

“Ibu buatkan kopi, agar letihmu hilang.”

“Wah, terima kasih.” Aku pun duduk di depannya.

“Kamu janji mau ceritakan sesuatu, bukan?”

Kini aku gelisah. Kemudian mencoba mencari cangkir baru. “Kopinya dibagi dua saja.” Aromanya begitu wangi menyergap hidung. Mengingatkan harum kopi Nila kemarin pagi.

Dengan cara yang sungguh mumpuni, Ibu menuang kopi dari satu cangkir ke cangkir lainnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin sebelumnya sudah biasa melakukannya. Terhadap Ayah, semasa masih hidup. Eh, bukankah Ayah sudah lama tiada? Tentu sudah lama pula Ibu tak membagi secangkir kopi menjadi dua.

“Bagaimana tentang perempuan kawan kerjamu?” tanya Ibu.

“Boleh aku minum kopi dulu?” aku mengulur waktu. Aku pun menyeruput, dan… ah! Aku menahan lidahku dalam geletar.

“Pahitkah?” tanya Ibu. Pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Ayah tak pernah minum kopi manis. Itu yang membuat ayahmu kuat, tabah, dan tak mudah putus asa untuk mencapai keinginannya.”

Mungkinkah Ibu menyindirku? Kini aku harus lebih dulu mengajukan pertanyaan. “Sebenarnya sejak kapan aku gemar roti tawar?’

Ibu nyaris tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin kedengaran aneh. Tapi aku serius ingin tahu. Kadang-kadang terpikir, apa enaknya roti tawar? Kata ’tawar’ boleh jadi membuat perasaanku selalu tawar. Kata ’tawar’ menyebabkan segala yang kulakukan berada dalam keragu-raguan: selalu dalam keadaan tawar-menawar. Sedangkan kopi pahit, sebagaimana kata Ibu, membentuk seseorang menjadi kuat, tabah, dan tidak putus asa. Nila menyukai kopi pahit seperti Ayah!

“Pasti Ibu ingat, kapan aku mulai menyukai roti tawar?”

Kini Ibu benar-benar tertawa.

 

Jakarta, 15 Agustus 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler