Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “LUMPUR KUALA LUMPUR” KARYA TRIYANTO TRIWIKROMO

Foto SIHALOHOLISTICK

Siapa pun boleh menari, untukmu Gusti. Tapi tak seorang pun boleh menceritakan gerimis-Mu yang menghanyutkan kisah-kisah orang-orang yang teraniaya di penjara-penjara penuh kalajengking dan lipan itu. Maka, dengarkanlah ceritaku, Gusti. Dengarkanlah lengking mataku yang kehabisan sungai dan embun sejuk itu.

Ayat-ayat Sunyi Ramli

Mengapa masih kau cari Kresna di ujung rambutmu, Ramli? Bukankah teriakan Kumar Kundu dalam lagu-lagu pedih itu tak juga bisa menghentikan kereta perang yang melesat ke ujung malam dan pekat darahmu? Bayangkan saja Kresna telah mati, sehingga kau tak perlu lagi menari di pantai, memedihkan mata dengan getir pasir, mencari surga yang tak pernah diciptakan di telapak kaki, dan membaca sutra-ayat-ayat suci yang perih itu-dengan telinga yang disumbat derita.

Memang biola Naranjan Bival telah menidurkan Kuala Lumpur. Namun Kresna tak bisa bermimpi tentang Sungai Buloh tanpa penjara, tanpa cambukan. Kresna akan selalu menghapus jejak cinta dan menatah candi penuh tumbal dan kesengsaraan. Karena itu, dengarlah lengking seruling Abhiram Nanda yang mengembuskan tangis indah Arjuna. Bersekutulah dengan tarianmu sendiri, karena Kresna telah mati dan Kurusetra tak melahirkan pahlawan lagi.

“Tapi Tuhan tak pernah mati!” katamu tersedu-sedu.

Ya, tapi keretanya telah remuk. Ia tak bisa mengamuk. Tak bisa mengutuk.

“Aku hanya ingin mencari jejak-Nya.”

Ia tak lagi punya jejak. Jika tak percaya, bertanyalah pada Guru Dhaneswar Swain tentang kaki-kaki yang dipatahkan, kepala yang dilindas truk, dan malam yang kehilangan rembulan.

“Kalau begitu aku akan mendengarkan tangis-Nya.”

Ia tak bisa lagi menangis. Chakraborty telah menyalib tubuh Kresna di tengah kota. Dengan petikan sitar gaib, dia telah menusukkan segala kepedihan orang-orang miskin ke lambung Kresna yang senantiasa menganga.

“O, darah yang terus mengucur, di mana dikuburkan mata kebenaran?”

Tak di mana-mana, Ramli. Tak di mana-mana.

“Tak di mata yang menyimpan surga.”

Tak di mata yang menciptakan surga. Maka, mengapa masih kauburu Kresna sampai di ujung matamu, Ramli?

Kopi Terakhir Lukman

“Ini mungkin kopi terakhir sebelum cambuk dan nyamuk membunuhku. Ini mungkin senja terakhir setelah mereka merubuhkan bedeng dan menghancurkan keberanianku.’’

Dan kopi atau topi-mungkin dengan sebatang rokok-bisa menerbangkan Lukman ke surga, ke jalanan becek bertabur roti, ke got becek untuk mandi, ke gaji yang terhapus dari catatan yang terbuang di selokan.

“Aku hanya minta segelas air dan seembus kemungkinan untuk hidup. Aku hanya berharap mereka mengerti kami juga bisa jadi gelombang yang merubuhkan jembatan dan kondominium.”

Kamu cuma budak haram, Lukman.

“Ya, aku memang cuma budak haram. Tapi bayangan tubuhku pun tak layak dipenjara hanya karena pasporku hanyut di sungai. Hanya karena pasar tak bisa memajang bekas cambukan pantat di etalase-etalase toko, di keriuhan stasiun kereta pukul delapan. Hanya…”

Maka, pulanglah ke negeri ibumu, Lukman. Negeri Ludruk sarat tawa semalaman. Negeri Celurit penuh darah dan pertikaian. Negeri Ilusi tak sepi duri dan impian.

“Ya, aku akan pulang. Aku bilang pada Yeni Abdurrahman di desaku sungai menjalar seperti ular. Tapi tunggu dulu! Jevander Sing-tauke Keling itu-masih berutang padaku. Ringgitku masih disimpan di laci busuk para juragan.”

Ya, tetapi segera pulanglah. Nanti kamu dipenjara. Nanti kamu didenda. Nanti kamu dicambuk algojo dan para tuan.

“Mereka tak akan berani mencambuk aku dan 800.000 budak haram.”

Mereka akan berani dan tak peduli kau anak setan atau malaikat Tuhan.

“Mereka tak punya algojo. Mereka hanya punya ringgit dan telepon genggam. Mereka hanya berani menggertak orang-orang miskin yang cuma bisa tidur di bedeng-bedeng penuh lipan.”

Tentu kau boleh punya keberanian seperti Hang Tuah, Lukman. Tapi di negeri ini kau hanya semut di lubang yang gelap. Kau hanya cacing yang banyak cakap dan tak tahu undang-undang. Ayolah, Lukman, segeralah pulang.

“Pulang? Ke mana harus pulang kalau utang masih segudang?”

Pulang ke rumah ibumu, Sayang.

“Ibu? Ibuku telah mati. Kalaupun masih hidup, ia akan mencekikku karena pulang tak membawa keranjang penuh gobang.”

Kalau begitu pulanglah ke matamu sendiri, Sayang.

“Ke gua gelap itu?”

Ya, ke sungai keruh itu?

“Ke harapan yang menghilang pelan-pelan?”

Ya, ke kopi terakhirmu. Ke puntung-puntung rokok yang tak habis-habis kauisap itu.

“Setelah itu…”

Setelah itu Tuhan akan memejamkan matamu, menguburmu dengan bunga mimpi. Menguburmu dalam haribaan ibumu yang senantiasa memaknaimu sebagai nabi sejati.

“Kalau begitu aku tak mau pulang.”

Kau tak takut pada cambuk itu?

“Aku tak takut pada maut itu. Aku tak takut pada kabut yang menghalang pandanganku pada hidup yang carut-marut itu.”

Begitulah Cara Waktu Mengaduh, Rahma

Begitulah cara Waktu menyembunyikan kilau mata yang bisa membakar masjid-masjid di Kuala Lumpur sekadar menjadi abu sekadar menjadi ngilu, Rahma. Karena itu, ia menyelimuti tubuhmu dengan dedahan asam di Rimbun Dahan. Ia biarkan kau menari di taman penuh Sedap Malam. Ia biarkan kau mengguratkan kata-kata getir di hening anyelir.

“Aku tak mengerti mengapa mereka begitu membenci tubuh perempuan? Aku tak mengerti mengapa para perempuan hanya disembunyikan di almari atau dipingit di dapur atau halaman belakang? Mengapa keindahan harus disembunyikan?” katamu sambil mengajakku memahami bahasa hujan dan menyingkirkan cambukan petir dari rambut yang kian menguban.

Tentu keindahan tak harus disembunyikan, Rahma. Kau tentu bisa telanjang di tengah hutan, telentang sambil membentangkan sepasang tangan dalam kegaiban hujan, dan mendesahkan doa-doa paling kasmaran. Kau tentu bisa menjelma ikan, menyelam di hijau danau sambil mendesiskan gumam-gumam paling urakan. Tapi tidak di jalan-jalan penuh kosmetik, Rahma. Tidak di jalan-jalan.

“Tidak di keriuhan?”

Ya. Tidak di benak orang-orang yang menganggap seribu masjid bisa menerbangkan jiwamu ke surga idaman. Tidak di benak orang-orang yang menganggap tak ada surga bagi perempuan yang suka menari dan mendendangkan segala tembang di jalan-jalan.

“Aku harus menari di dasar kolam?” Tentu tidak, Rahma. Kau tahu bukan Redana, Pangeran Kelelawar itu, lebih ingin menatapmu menarikan berahi malam di pucuk gunung. “Apakah aku harus ngelindur di ranjang setan?” Tentu tidak, Rahma. Kau tahu bukan Romo Sindu, Padri Minohek itu, tak suka melihatmu tidur sambil menenggak anggur. “Apakah aku harus cuma meniti sepi mencari bayang-bayang matahari yang tak mati-mati?” Tentu tidak, Rahma. Kau tahu bukan Harry Roesli telah pergi dan kita hanya menangkap jejak tanpa bunyi.

“Kalau begitu kota ini sungguh sialan.” Ya, kota ini memang sialan. Ia bukan cermin yang memantulkan tarian belantaramu yang penuh siul murai. Ia bukan langit yang menumpahkan hujan cintamu yang penuh salju dan hutan gaib itu.

“Jadi mengapa aku tak pergi saja dari kota munafik ini?” Kau tak akan pernah bisa pergi karena kau tak pernah pulang, Rahma. Kau telah menyerupai Waktu yang melampau di batu-batu. Kau telah menyerupai batu yang melesat ke bianglala esok yang kabur dan berdebu.

Maka begitulah cara Waktu mengaduh, Rahma. Ia menangis dalam gerimis. Ia ngelindur di Kuala Lumpur yang abai pada tubuhmu yang berlumur anggur. Tetapi, aku tahu, Rahma. Kau tak akan akan peduli amuk waktu atau apa pun yang hendak memelukmu di senja yang getir itu. Kau akan terus menari dan mengguratkan api ke ujung api, ke ujung mati.

Bukan di Kurusetra, Kunti, Bukan di Kurusetra

Bukan di Kurusetra, Kunti. Tetapi mereka hendak dibunuh juga.

Bukan di padang pembantaian, Kunti. Tetapi mereka hendak dijagal juga.

“Jangan lari. Kami polisi!” mereka menyalak seperti Rahwana, Kunti, mereka melenguh seperti kerbau api.

“Namaku Petro Sale, 37 tahun, aku hanya ingin menegakkan sepasang kaki, aku hanya ingin mereguk gelegak cinta pada ilusi kendi. Aku hanya…” Dor!

“Namaku Guspar Hasan, 23 tahun, aku hanya ingin tidur dan menjaring mimpi, aku hanya ingin bersembunyi setelah tak bisa kembali ke rumah sendiri. Aku hanya…” Dor!

“Namaku Markus Taji, 25 tahun, aku hanya membawa tikar menuju belukar. Aku tinggalkan bedeng karena takut pada razia yang mengerikan. Aku hanya…” Dor!

“Namaku Remi Guis. Aku…” Dor!

Lalu kau pun tahu, Kunti, hospital menolak menyembuhkan luka dan sakit hati. Tak ada obat. Tak ada kiblat untuk cari selamat dan harga diri.

“Halo, kami polisi dan kalian cuma maling yang tak tahu diri.”

Danau Gaduh Hijjaz Kasturi

Telah kauciptakan hutan dan danau gaduh untuk Angela, ya Kasturi. Lalu kaulepaskan angsa, buaya, musang, tikus, ular, dan kisah sepasang nabi yang tak henti-henti mempercakapkan mimpi, kuldi, dan keheningan setelah Selangor memolek diri dalam ilusi.

“Aku mencintai Hang Tuah, Soekarno, dan pagi yang selalu meneriakkan revolusi,” katamu sambil menawariku mencecap kopi dan kue cina serupa roti komuni.

“Dan aku sedang tersesat di rumahmu yang indah sambil sesekali mencari pekerja-pekerja Indonesia yang tersakiti. Sayang, revolusi telah patah, Soekarno kehilangan tuah, dan kita belum menemukan korek api untuk menyalakan lilin ulang tahun Angela,” kataku sambil membaca wajah pengantin Australiamu yang gaib dan sarat tanda itu.

“Aku tak pernah menyakiti apa pun yang kauandaikan sebagai budak. Sebab di hadapan Sang Waktu, kita adalah budak yang tak punya malu. Oke, kita juga tak punya korek api dan Angela tetap saja mengaku bahagia.”

“Ah, kau keliru, Hijazz, dia tampak bahagia karena memang tak punya kesempatan untuk menangis.”

“Ya, kalau dia menangis, danau akan gaduh, burung-burung terbang ke langit entah, dan kita akan kesepian.’’

“Kita kesepian karena kita tak hadir di taman ini sebagai sepasang nabi atas sepasang ikan tanpa sirip. Kita kesepian karena kita cuma hidup seperti kodok,” kataku mengolok-olok, “kita cuma eng-krok, eng-krok, krok, krok, krok.”

“Aha! Aku suka metaforamu, kita memang kodok. Melompat dari waktu batu ke waktu yang terpeleset ke liang luka kau dan lukaku. Ya, kita memang bahagia, tua, dan selalu mereguk tuah cinta dari gelas kencana,” tiba-tiba Angela menyela.

“Jadi, kenapa harus bersedih?” Hijazz bertanya.

“Aku sedih karena tak punya taman dan sepasang nabi bersayap cinta. Aku sedih karena aku cuma musafir kikir yang kehilangan rasa getir. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa bahagia?’’

Lalu bayangan menyerupai sepasang nabi mendadak menggaduhkan danau dengan mengepakkan sirip yang menyala. “Lihat Hijazz, itu aku dan engkau. Bukan kisah maya sepasang nabi yang diciptakan secara serampangan dan tergesa-gesa.”

Aneh, aku pun tersihir menatap Hijazz-Angela, suami-istri yang kian merenta itu. Mereka sungguh seperti sepasang ikan yang mahir menceritakan kisah sepasang nabi yang tak pernah diasingkan dari surga. Mungkin mereka memang malaikat yang menjelma sebagai sepasang kekasih yang tak pernah bersedih meski gerimis kian mendera.

Hikayat Ambalat

Kita masih bercinta di hotel penuh vampir ketika kapal-kapal di Karang Unarang saling menggertak dan melepaskan amarah agung, Cintaku. Ciuman memang bikin mata kehilangan mata. Karena itu, liurmu lebih ingin kurampok ketimbang kugenggam lautmu di sela-sela jemari yang bocor. Apakah kau ingin mendesiskan juga desah-desah sampah sebelum kapal-kapal itu saling membakar diri, Kekasihku. Apakah kau ingin kita juga bercinta dengan liar di mercusuar itu?

Gusti, semua ternyata hanya lumpur. Lumpur-Mu. Dan Kau tahu, mataku yang lamur tak bisa menceritakan kisah sedih yang membius-Mu itu.

 

Kuala Lumpur-Selangor, 2005

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler