Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “MATA SULTANI” KARYA ADEK ALWI

Foto SIHALOHOLISTICK

Sudah hampir empat puluh tahun mata Sultani menatapku. Tempo-tempo mata kawan masa kecil itu memang tak tampak, seolah sudah bosan lalu raib entah ke mana, namun kemudian muncul lagi dan kembali menatap. Hanya menatap. Tidak sekalipun berkedip, seperti tidak kenal lelah. Padahal tahun demi tahun terus berganti dan kini telah mendekati tahun keempat puluh. Berbagai peristiwa timbun-bertimbun, memurukkan yang lama ke lipatan bawah dan juga menguap ke luar ingatan. Aku dan kawan-kawan pun sudah cerai-berai, tak pernah bersua kecuali dengan dua-tiga kawan yang setia menghuni kota kelahiran kami.

Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. “Seperti orang-orang di dalam mimpi.”

“Hanya si Cudik, si Talib dan si Tunik yang acap pulang. Paling tidak dua atau tiga tahun sekali ada mereka pulang,” tambah Amril, yang meneruskan usaha keluarga membuka kedai kopi di simpang jalan dekat pasar. Kalau aku pulang, di kedai kopi itu kami bercakap-cakap mengenang kawan lama serta kota kami yang setelempap tetapi menyimpan sifat-sifat aneh tak terduga. Bahkan mengerikan.

“Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. “Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu. Si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!”

“Ingat si Bun Kay?” tiba-tiba Tum menyela, setelah mengamati wajah-wajah tak kukenal yang lalu lalang di luar kedai kopi Tum. Waktu terus berjalan dan orang-orang lahir, dewasa atau jadi tua, kendati kota kami tetap saja setelempap.

“Tentu!” kubilang. “Di mana dia?” tanyaku antusias. Bun satu-satunya sahabat Cina kami di waktu kecil. Dia dan keluarganya tergolong aneh, akrab dengan pribumi. Ayah Bun tukang gigi, ibunya berjualan kue mohok alias bakpau. Di kota kami orang Cina tidak mampu bersaing di pasar dengan pedagang pribumi tetapi tidak tertandingi membuat kue, sebagai grosir roti dan permen, lebih-lebih tukang gigi. Mereka pemilik satu-satunya bioskop dan dua studio foto yang ada di kota kami.

“Bun di Medan jadi dokter,” jawab Tum. “Pernah sekali datang waktu mau ke Padang melihat kakaknya. Berubah sekarang, Nius. Kami ajak bermalam tidak mau. Mungkin karena bersama istri dan anak-anaknya. Tapi kami kawani dia melihat bekas rumah orangtuanya.”

Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak-abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun menjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati paviliun tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sodorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya berlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.

“Jelas enak, dan tak pakai babi!” komentar anak-anak yang iri. “Di dalamnya ada kerak gigi!” Kalera! Sultani meradang dan hampir menghadiahi mereka “ketupat Bengkulu”. Tapi kami cegah. “Percuma,” bilang Tum. “Didiamkan berhenti sendiri!”

Bagiku, lebih menyenangkan kalau yang mengantar kue adalah Sui Lin, adik Bun. Pagi-pagi Lin terlihat segar. Pipinya putih kemerahan serupa jambu air. Matanya tak terlalu sipit. Rambut ekor kuda. Suara Lin halus: “Ko Bun! Engko Bun!” Dadaku berdebar mendengar suara itu, juga ketukan jari-jarinya yang mungil di pintu. Kelas 6 SD kurasakan gejolak cinta monyet mengalir deras terhadap Lin, adik kelas kami. Itu pula sebabnya dendamku pada Sultani pernah seperti tidak berujung.

“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan di kota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali Sultani.”

KAWAN masa kecil itu lincah, lucu, pintar di sekolah. Dia kapten sepak bola. Juga pandai menjahit, mencukur, menyogok portir bioskop sehingga kami bisa nonton film 17 tahun ke atas yang dibintangi Sophia Loren. Kami diselundupkan portir ketika lampu bioskop padam. Membungkuk-bungkuk mencari kursi kelas 3 yang kosong, atau menjelepak duduk di lantai, berdebar-debar sekitar dua jam menyaksikan aksi Sophia Loren yang menggairahkan.

Seperti di rumah Bun, kami kerap nginap di rumah Sultani. Ibunya baik seperti ibu Bun. Kalau di rumah Bun kami disuguhi kue mohok, ibu Sultani pagi-pagi menghidangkan nasi goreng serta roti lapis mentega. Suka-suka kami mau makan apa. Minumnya teh hangat, kadang susu. Keluarga itu memang kaya dan terpandang. Ayah Sultani kepala terminal sekaligus ketua organisasi buruh.

“Makan, makan! Tidak halam! Tak pake gigi babi laaa!” Sultani cengar-cengir menyindir, mengajak makan. Bun tertawa-tawa menyikat nasi goreng. Lalu ia sambar roti. Biju dan Tunik juga. Kami berebut. Sultani menarik piring roti ke dalam sarung, mencangkunginya seperti buang hajat. Saat dia letakkan ke meja tak seorang pun yang berselera menyentuh kecuali dia.

Tempo-tempo kawan itu memang cingkahak, alias usil plus kurang ajar. Portir bioskop juga dia ulahi. Di antara lipatan uang sogokan dia selipkan duit buntung atau uang zaman Jepang sehingga untuk beberapa waktu kami terpaksa puasa nonton film orang dewasa. Sultani malah tertawa-tawa makan uang haram itu. Dan pernah pula Buya Makruf, guru mengaji kami, terbungkuk-bungkuk keluar tempat wudu bercelana kolor dan dada bugil. Baju, kopiah, serta sarung beliau “terbang; ke halaman masjid. Ulah Sultani!

Suatu kali, ketika mandi-mandi di batang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. “Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ke tepi. Mukanya pucat serupa mayat. Kepala Sultani menyembul di tengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. “Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!”

Saat liburan tiba Bun pun lalu minta disunat. Ayah dan ibunya setuju. “Ayaaa, Bun mau potong bulung bole potong, laaa. Asal Bun tidak nangis kalu sakit laaa.”

“Tidak sakit, Bah!” Sultani meyakinkan bak tukang obat. “Malah, tidak terasa. Babah mau coba? Sret, selesai!”

Ayah Bun terkekeh. Ibunya tersipu. Dan Bun disunat. “Sebetulnya telat Bun. Kelas enam disunat, jadi keras. Mestinya waktu kita kelas tiga,” ujar Sultani saat Bun meringis dan kami mendampingi kawan itu setiap malam. “Tapi tak apa-apa terlambat daripada tidak. Iya kan, Bun?” Bun mengangguk lemah.

Setelah sembuh, dan suatu petang Bun termangu di halaman Masjid Jambatan Basi menanti kami usai mengaji, Sultani berkata: “Sudah Bun, ikut mengaji saja. Biar aku yang ngajar. Sebulan ditanggung fasih, Bun!”

Sultani memang pandai mengaji dan ditunjuk Buya Makruf sebagai guru kecil. Kepandaian itu turun dari ibunya. Ibunya selalu mengaji tiap subuh. Suaranya merdu, tajwid dan kiraahnya elok. Tapi aku merasa, ajakan Sultani pada Bun karena dia ingin mengamangkan rotan di depan kawan itu. Dan sesekali, tentu saja, melecutkan ke kaki-seperti dia lakukan pada kami selaku guru kecil yang cingkahak.

Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak rambut tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.

“Cukur sama Sultani!” Biju menyarankan. “Rambutku dia cukur. Tunik juga. Rancak, kan?” Seperti rambut Biju itu yang kuinginkan. Tak licin di sekeliling kepala, tetap ditumbuhi rambut dua-tiga senti yang melingkar manis rapi di sekitar telinga.

Aku serahkan kepalaku pada Sultani. Mulanya sungguh-sungguh juga dia. Uang yang sedianya diterima Mak Hasan kujanjikan kami bagi dua. “Seperti model rambut Bang Rustam, kan?” Aku mengangguk. Pelan-pelan disentuh Sultani kepalaku. Suara gunting tak berdencing-dencing ganas. Mendesis-desis lunak. Mataku merem melek, tidur-tidur ayam. Tetapi lama-lama kepalaku semakin dingin. Ketika kuraba, sebagian kepalaku sudah terkelupas bak ayam hendak digulai!

“Tak ada jalan lain, terpaksa begitu!” Ditekan Sultani kepalaku dengan ujung telunjuk. “Tadi di sini terlampau pendek, kuratakan. Eh, malah sebelah sini terlampau pendek. Sudahlah, sepekan rambutmu panjang lagi. Bagus juga kau gundul, seperti Yull Bryner kau!”

Sejak hari itu kami tak berteguran. Tepatnya, aku tidak mau bicara atau dekat-dekat dengan manusia cingkahak itu. Dia mendekat, aku menghindar. Atau pergi. Dia cerita begini-begitu aku buang muka. Lupa aku pada sifat baiknya yang setia kawan dan suka memberi. Dendamku laksana sumur tanpa dasar. Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap di rumah Bun. “Kepala Ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib!

“KEPADA kawan-kawan yang tiba dari rantau kami juga bertanya kalau-kalau mereka mendengar di mana Sultani, Nius. Tetapi mereka pun tidak tahu,” kata Amril, melihat aku tak henti menanyakan kawan masa kecil itu tiap pulang ke kota kelahiran.

“Sejak peristiwa itu tak ada yang tahu di mana Sultani dan keluarganya, Nius,” sambung Biju lesu. “Sanak famili ayahnya di kampung juga tidak. Pernah kami tanya ke situ, hasilnya nihil. Berkabar pun mereka tak pernah sejak kejadian itu.”

Tum diam saja mendengarkan sunyi. Dan aku merasa ketika itu Sultani tengah menatapku dengan mata tidak berkedip seperti biasanya.

Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan imbauan ibu dan ayah. “Jangan ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gelombang-gelombang manusia yang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi.

Sejumlah orang menerabas masuk. Menyepak pintu hingga rubuh. Kaca-kaca pecah berderai. Mereka terus berteriak. Buas sekali. Aneh sekali. Seakan-akan bukan warga kota kami yang sehari-harinya tenang dan saling menyapa.

Aku menyeruak di sela-sela orang dewasa. Kusaksikan ayah Sultani diseret. Mukanya berdarah. Lututku menggigil. Ibu Sultani berlari mengejar, meraung-raung. Perempuan itu terjerembap di halaman. Kakak perempuan Sultani mendekapnya erat-erat. Dia juga menangis. Sultani juga. Menangis, tegak kaku di ambang pintu. Lalu ia terpana ketika matanya bersirobok dengan mataku, melihat aku di tengah kerumunan.

Orang-orang masih berteriak. Menyeret serta mengarak ayah Sultani entah ke mana. Bergelombang-gelombang manusia. Tanganku dicekal, diseret abangku pulang. “Mulai kurang ajar ya, tak mendengar orangtua!” Cudik bilang mereka membawanya ke Singgalang Kariang. Menghabisinya. Membuang mayat orang tua itu ke Batang Anai. “Seperti mencampakkan bangkai anjing!” cerita Cudik.

“Bagaimana kau tahu? Ikut kau ke situ?” kami tanyai Cudik ramai-ramai.

“Semua orang bilang begitu. Kalian tidak tahu? Mereka menghabisinya petang itu juga!” Cudik berkeras. “Dan, kemarin pagi, ada yang menemukan sepasang mata di Batang Anai waktu menjala ikan. Hanya mata saja, dua buah. Tubuhnya tidak ada!”

Kami bertatapan. Diam-diam terbayang olehku mata Sultani, yang menatapku tanpa berkedip. Bahkan sampai kini, seolah-olah tidak pernah lelah, walaupun tahun demi tahun berlalu menghanyutkan zaman dan usia ke muara.*

 

Jakarta, 2 April 2005

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler