Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “SALAWAT UNTUK PENDAKWAH KAMI” KARYA MARTIN ALEIDA

Foto SIHALOHOLISTICK

Rumahtoko bercat merah di kedai panjang itu dikenal penduduk kota kecil kami sebagai satu-satunya penjual kopiah. Lepas salat subuh, toko itu tiba-tiba telah berubah menjadi rumah duka. Haji Johansyah Kuala meninggal mendadak. Mula-mula dia mengerang setelah mengucapkan Assalaamu ‘alaikum ke kanan dan ke kiri. Dia tergagap. Tergapai-gapai mencoba berbicara, tetapi yang terdengar hanya suara serak menggelegak yang meruyak dari pita suaranya yang terjepit. Istrinya seperti melompat merapat ke sisinya. Tetapi, sang suami malah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh pendamping hidupnya yang abadi itu supaya menjauh. Dia mengeluh kepanasan. Dan, tiba-tiba kepalanya terkulai, dan dia tumbang mencium sajadah sambil merangkul dadanya kuat-kuat. Kopiahnya terlempar beberapa jengkal. Istrinya memegang, menimang, dan memekik sambil memeluk kepalanya. Pekik itu menjadi sangkakala kedua yang membangunkan kota kami setelah seruan azan tadi.

Kini, ratap tangis mengiba-iba tiada hentinya di toko yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal itu. Terjadi kesibukan luar biasa. Meja kursi disingkirkan. Lemari-lemari kaca yang tua tetapi berwibawa, tempat kopiah berbagai warna dan ukuran bertengger selama ini, dipepetkan ke dinding, kemudian ditutup dengan kain putih. Bagian depan rumah itu, yang biasanya menjadi gelanggang pertemuan Haji Johansyah Kuala dengan para pelanggan dan pembelinya, sekarang menjadi tempat yang lapang. Jasad tuan rumah sudah diturunkan dari lantai atas dan dibujurkan di situ. Di wajahnya sudah tak tampak sisa-sisa perkelahian yang singkat tetapi mematikan dengan maut. Sebaris senyum tergurat di bibirnya yang legam membeku. Matanya yang ramah dan selalu merangsang penghuni kota tertawa sekarang terbenam di balik kelopak yang malas.

Kabar tentang kematian pedagang kopiah itu dengan cepat menular ke seluruh penjuru kota. Tetapi, ini bukan kabar kematian orang sembarangan. Walau Haji Johansyah Kuala bukan seorang penganjur agama yang berpengaruh dan disegani. Bahwa dia adalah juga seorang pendakwah memang benar. Tetapi, sebagai penganjur dia punya cara sendiri. Bagaimana membuat umat, terutama kaum kerabat, tertawa terbahak berkepanjangan, dan terbawa-bawa sampai menjelang tidur, itulah kehendaknya, misinya, panggilannya sebagai seorang haji. Karena lelucon-lelucon yang diciptakannya menjadi buah bibir dan bertahan lama di hati umat, maka teringat akan namanya saja orang bisa mesem-mesem sendirian menahan tawa.

Haji Johansyah Kuala meninggal. Ah… siapa pula yang percaya. Ada semacam campuran perasaan mengilik dan duka yang menyentak begitu kawan-kawan dekatnya mendengar kabar kemalangan itu. Jangan-jangan ini hanya permainan Haji Johansyah Kuala lagi untuk menggelitik warga kota, begitulah pikir mereka. Semua pasang kuda-kuda, jangan sampai ada yang termakan permainan. Semua mengirim pembantu, atau malah anak sendiri, untuk mengintai bahwa tokoh mereka itu tidak sedang melemparkan lelucon, dan bahwa dia memang benar-benar telah tiada…

Haji Johansyah Kuala menemukan panggung yang tepat di kota kecil kami, yang dijepit dua batang sungai yang besar, dan dua daerah rawa yang perawan sepanjang masa. Membuat kota jadi pemukiman yang masif. Penduduk saling mengenal.

Tidak sebagaimana para pedagang Tionghoa yang semata-mata mengandalkan penghasilan dari perdagangan yang berpusat di wilayah kedai panjang itu, orang-orang Melayu yang bertempat tinggal dan berniaga di situ juga menguasai perkebunan kelapa yang luas. Boleh dikatakan berdagang buat mereka adalah pekerjaan sambilan. Tak terkecuali Haji Johansyah Kuala.

Sehari-hari Pak Haji kita itu tidak begitu sibuk. Kopiahnya baru berjibun dikerumuni pembeli pada hari-hari menjelang Idul Fitri atau hari raya haji. Karena itu dia punya banyak waktu. Juga ilham. Garis keturunannya membuat dia seorang warga yang tak perlu diragukan kata-katanya. Ayahnya, yang mewariskan toko kopiah itu, melaksanakan ibadah haji dengan mengendarai sepeda. Dia menyeberang ke Semenanjung Malaya waktu itu, dan dari sana mengembara dengan sepedanya sambil menuntut ilmu sepanjang perjalanan ke tanah suci. Pulang-pulang dia membawa kemahiran yang membikin orang tercengang dan kagum: khatam Al Quran. Dia juga jadi pawang yang andal. Kalau polisi kewalahan mengatasi harimau yang mengganas dan memangsa penderes karet di wilayah sempadan, maka dialah yang dipanggil untuk menjinakkan binatang buas itu. Dia menaklukkan binatang itu dengan mengibas-ngibaskan sorban yang dia beli di Pakistan. Johansyah Kuala sendiri sudah melaksanakan ibadah haji ketika dia masih remaja, dengan menumpang kapal laut. Sejarah keluarga dan sikapnya yang selalu menunjukkan keinginan bersahabat, membuat dia jadi tumpuan orang yang sedang memerlukan bantuan.

Adalah seorang laki-laki setengah baya yang mampir ke tokonya. Bukan untuk membeli kopiah, tetapi meminta nasihat. Soalnya, dua gigi depannya rompal diterjang kelapa yang jatuh dia kait. Orang yang malang itu terus-menerus menyembunyikan ompongnya dengan menutup mulut dengan tapak tangan. Haji Johansyah Kuala menganjurkan orang itu berangkat ke Medan untuk memasang gigi palsu. Diberikannya uang pembeli gigi palsu dan ongkos perjalanan secukupnya. Dengan satu syarat: dia tak boleh menutup mulut menyembunyikan ompongnya sepanjang perjalanan.

Mula-mula orang itu malu dan ragu-ragu mendengar tawaran tersebut. Tetapi, Haji Johansyah Kuala memberi nasihat yang menarik, dan bisa dia terima. Begini. Sepanjang perjalanan ke Medan, dengan menumpang kereta api, kalau ada yang bertanya dia mau ke mana, maka untuk menyembunyikan ompongnya dia supaya mengatakan bahwa tujuannya bukan Medan, karena dengan melafalkan nama kota itu, maka bibirnya akan terbuka dan akan mengangalah giginya yang ompong.

“Kalau ada yang menyapa dan bertanya, jawablah bahwa kau mau ke Lubuk Pakam,” ujar Haji Johansyah Kuala. Dengan mengucapkan nama kota itu, maka praktis mulutnya akan tertutup. “Waktu pulang nanti, kau boleh bersorak. Kalau ada yang bertanya, jawab saja sekenanya, bahwa kau mau ke Batangkuis. Ya, Batangkuis….” Itu artinya dengan menyebutkan kota kecil itu, maka dia akan punya kesempatan untuk memamerkan gigi barunya.

Walhasil, begitulah jadinya. Dalam perjalanan ke Medan dia menyebutkan tujuannya adalah Lubuk Pakam. Ompongnya pun tersembunyi. Dalam perjalanan pulang tujuannya adalah Batangkuis. Dengan begitu gigi palsunya kelihatan berkilau, meskipun kota itu sudah tertinggal jauh di belakang.

Di kota kecil kami tak ada yang serius. Hidup ini diperlakukan enteng-enteng saja. Orang bisa mengobrol di kedai kopi sepanjang hari, bertukar kelakar, berdebat soal politik sambil meninju-ninju meja, hanya ditemani secangkir kopi. Dan, jangankan gusar, pemilik kedai malah ikut nimbrung. Kadang-kadang Haji Johansyah Kuala juga meluangkan waktu mampir ke situ, sekadar hendak mengetahui apa yang jadi buah bibir. Di kedai kopi itu jugalah dia menceritakan kisah perjalanan si ompong tadi. Dari kedai kopi itu kelakar tadi dengan cepat menyebar ke seluruh pojok kota, membuat yang mendengarkan maupun yang menceritakannya kembali cekikikan.

Kalau ada orang yang mampir ke tokonya, sekadar melihat-lihat, pasti kena. Rayuannya maut, membikin orang kesengsem. Dia pandai mengumbang hati calon pembeli, membuat mereka bangga dan dengan begitu gampang mengeluarkan uang untuk membeli. Tak ada yang lolos dari perangkap kata-katanya yang membujuk.

“Ah,” katanya tersenyum seraya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mematut-matut kopiah di kepala tamunya. “Aimak jang, macam Soekarno kau, ah….” Dibandingkan dengan seorang presiden yang gagah, tentu hati orang itu pun kontan luluh dibuatnya.

Suatu ketika, di depan tokonya mondar-mandirlah seseorang yang kelihatannya sedang berpikir keras. Secepat kilat datanglah ilham menyambar Haji Johansyah Kuala. Dengan hangat dia ajak orang itu masuk ke tokonya.

“Nampakku adik seperti kebingungan. Ada apa rupanya?” tanyanya dalam dialek Melayu.

“Tak ada apa-apa.”

Tahu kalau orang itu datang dari luar kota, Haji Johansyah Kuala berkata: “Begini. Ini, ada can [dari bahasa Inggris chance]. Bisa awak carikan lintah barang dua ember besar?”

“Ah, bisalah, kenapa rupanya?”

“Itu,” katanya menunjuk ke arah apotek yang terletak tak jauh di persimpangan jalan. “Sudah lama apotek itu mencari-cari lintah, bakal obat. Kalau mau, bawalah barang beberapa ember. Jangan lagi awak tanya, bawa sajalah langsung ke situ….”

Percaya. Orang itu cepat-cepat pulang ke kampung. Pergilah dia ke rawa-rawa mencari sarang lintah. Dicemplungkannya kaki sampai sebatas paha, menunggunya beberapa lama, maka bergelayutanlah lintah di kakinya itu. Dia tinggal memungut. Tak sampai setengah hari terkumpullah dua ember besar lintah. Dengan perasaan enteng orang itu menenteng lintah tadi ke kota, dan membawanya ke apotek di persimpangan jalan tadi.

“Hah…?! Pak Haji Johan yang menyuruhku membawa kemari. Hah…?! Haji dia, mana mungkin mambongak [berbohong]. Katanya, sudah lama Bapak mencari-cari lintah,” tangkis orang itu ketika pemilik apotek terduduk karena terperanjat melihat dua ember penuh lintah bergerak mengingsut-ingsut menjijikkan.

Begitu mendengar nama Haji Johansyah Kuala, wajah pemilik apotek cepat berubah dari kaget menjadi senyum yang ditahan. “Kena aku…,” gerutunya dalam hati. Tanpa banyak pikir langsung dia bayar. Orang dari kampung itu pulang dengan kantong yang padat. Sementara si pemilik apotek harus mencari seseorang untuk menyingkirkan ribuan lintah tadi. Satu yang tidak akan dikerjakan pemilik apotek itu, menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Tetapi, buat Haji Johansyah Kuala kejadian yang dia rancang itu harus selekas mungkin disampaikan kepada seluruh warga kota. Sorenya, dia mampir ke kedai kopi. Dan seisi kota pun terbahak-bahak dibuatnya.

Lelucon terkadang memakan tuannya. Kami, anak-anak di perguruan Gubahan Islam, suatu hari datang menyampaikan keluhan kepadanya. Pasalnya, guru mengaji kami, Haji Saibun Keramat, terlalu keras. Tangannya tak lepas dari cambuk. Keliru sedikit saja, salah melafalkan H kecil menjadi H besar, misalnya, cambuk rotan itu menyambar lengan atau paha.

“Ah, mudah nya itu. Ambil kalian cambuknya itu, surukkan,” kata Haji Johansyah Kuala enteng.

Kami pulang. Dengan nekat cambuk rotan yang selalu mengancam itu dicuri oleh seorang teman. Teman yang pemberani itu pula yang menyuruk-nyuruk masuk ke toko Haji Johansyah Kuala dan menyembunyikan cambuk di kolong mejanya. Tempat pengajian geger. Haji Saibun Keramat mogok. Berhenti mengajar, tak apa-apa, toh bukan aku yang rugi, aku tak dibayar, katanya dalam hati. Dia hanya mau mengajar lagi kalau cambuk itu dikembalikan. Kami, anak-anak, tak kehilangan akal. Berangkatlah kami ke kedai kopi dan membocorkan kabar kalau cambuk itu disembunyikan Haji Johansyah Kuala di kolong mejanya.

Kota kecil kami terkekeh-kekeh mendengar Haji Johansyah Kuala yang menyembunyikan cambuk rotan Haji Saibun Keramat. Bagi kami, anak-anak di Gubahan Islam, lelucon ini membawa berkah. Entah apa yang dikatakan pedagang kopiah satu-satunya itu. Nyatanya guru mengaji kami sudah tidak mengamang- amangkan cambuknya lagi.

Ayahku juga pernah kena. Dan aku tahu mengapa Haji Johansyah Kuala memilihnya sebagai korban. Ayah memang satu-satunya pedagang yang bisa bersaing dan paling maju, sekalipun di sekelilingnya para pedagang Tionghoa. Tetapi, kedekutnya bukan main. Bergaul, mampir di kedai kopi tak pernah mau. Suatu pagi, ketika aku membuka pintu hendak menyapu, di kaki lima menimbun kangkung, membenteng seperti bukit. Sehingga orang tak bisa lewat. Tertegun sebentar, aku pun tahu ini perbuatan siapa. Untuk pertama kali aku melihat hidung ayah, yang besar seperti hidung Yahudi, memerah, kembang kempis, dengan tawa yang tertahan, membuat dia jadi sosok yang ramah dan murah hati.

“Udahlah, kalau bukan ulah Si Haji Johan, siapa lagi,” katanya dan memerintahkan aku menyingkirkan kangkung itu. Diperlukan enam becak untuk memindahkannya ke pasar. Sesaat, dalam jarak sekitar lima puluh meter, dari balik tiang toko kopiah satu-satunya di kota kami, menyembul separuh wajah. Aku tahu itu pasti Haji Johansyah Kuala yang sedang menikmati skenario yang dia tulis. Dan sebentar lagi kedai kopi akan riuh- rendah dan seluruh kota tertawa.

Seumur hidupnya hanya sekali dia ditimpa duka. Pada akhir tahun 1965 tentara datang mengambilnya dan menahannya beberapa bulan. Tuduhannya: dia menyumbangkan kopiah untuk pementasan teater guna meramaikan ulang tahun Partai Komunis Indonesia. Dalam adegan teater itu tampil Soekarno dan Hatta yang berkopiah, memproklamasikan Indonesia merdeka. Dicekam ketakutan, bertahun-tahun kota kami murung. Diam-diam kami sadari betapa berharganya tawa, hikmah hidup yang diturunkan Tuhan dan dijaga Haji Johansyah Kuala selama berpuluh-puluh tahun dalam hidupnya. Sementara kekuasaan yang lalim membungkamnya.

Jasad Haji Johansyah Kuala dibaringkan di atas lantai kereta jenazah yang terbuat dari sebilah papan lebar, dari batang pohon pilihan, yang ditebang di rimba Nantalu. Empat roda sepeda menjadi alat peluncurnya. Di belakang, mengiringi para pembaca salawat, yaitu orang-orang pilihan, teman-teman dekatnya, yang tahan tidak akan tersenyum, apalagi tertawa sepanjang perjalanan menuju pekuburan. Suasana duka memang terasa menindih. Tetapi, ada perasaan lain yang lebih mengimpit: kehilangan seorang penghibur dengan lelucon-lelucon yang bisa menjadi bahan tertawaan berbulan-bulan lamanya.

Mereka yang pernah jadi korban dalam lelucon-leluconnya bergerombol di bagian tengah prosesi. Di bagian iring-iringan ini suasana duka bercampur gelitik tawa amat terasa. Di antara mereka kulihat bekas guru mengajiku. Juga ayahku, dengan hidungnya yang besar memerah, bibir yang dikulum menahan senyum, supaya jangan sampai pecah menjadi tawa. Sebentar-sebentar mereka saling berbisik, kemudian nyengir. Wajah memerah dikilik kenangan pada lelucon almarhum.

Aku ingat, ribuan penduduk kota mengantar penganjur Islam paling berpengaruh, Haji Hubban Haitami, ketika dia meninggal. Tetapi, untuk kehilangan yang satu ini, tidak hanya ribuan pelayat, jantung kota pun ikut berhenti dibuatnya. Untuk pertama kali orang-orang Tionghoa menutup rumahtoko mereka sebagai tanda duka atas kehilangan seorang haji, yang buat mereka tidak hanya menenteramkan sikap keagamaannya, tetapi juga membuat hidup jadi ria, menjauhkan permusuhan, berkat lelucon yang dipilihnya sebagai dakwah.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler