Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “SURAT UNDANGAN” KARYA PUTU OKA SUKANTA

Foto SIHALOHOLISTICK

Sekitar jam empat sore mereka mengetuk pintu. Istriku yang menyambutnya. Suara seorang laki-laki aku dengar menanyakan apakah aku ada di rumah. Kudengar juga suara istriku mengatakan, ya aku ada di rumah. Dan suara berikutnya, istriku menyilakan tamu tersebut duduk, sementara istri memberitahukan kedatangannya kepadaku.

Aku pun keluar kamar. Orang yang tak kukenal sudah duduk dan melemparkan senyum kepadaku. Ternyata ia ditemani oleh Pak Marjan, seorang ketua RT dari wilayah yang berbeda. Ketua RT tersebut dikenal sebagai kepala keamanan di tingkat rukun warga. Pak Memet, ketua RT di wilayahku, juga ikut. Tapi ia tidak berbicara.

”Saya mengantarkan karena takut keliru,” kata Pak Marjan.

”Pak Bagus, ini ada surat undangan.” Demikian tamu itu menyodorkan surat ukuran setengah folio, stensilan. Aku membaca surat tersebut.

Aku sudah tahu roh surat itu. Tulisannya sudah tidak begitu penting bagiku sebab tulisan itu bisa berbohong dan mengandung kebohongan yang merupakan watak dari pengundangnya. Aku sudah cukup lama menelan pengalaman memaknai secara lahiriah bentuk dan bunyi huruf yang ternyata sangat berlawanan dengan roh yang menghidupinya.

”Boleh membawa perlengkapan?” tanyaku tenang.

”Tidak usah. Cuma sebentar saja,” jawab tamu itu.

”Kalau begitu, saya ganti baju saja. Tidak sopan pakai pakaian begini.” Aku memakai kaus oblong dan celana panjang yang lusuh, yang warnanya sudah pudar. Tanpa menunggu jawabannya aku pun masuk kamar dan mengganti baju dengan baju tangan panjang, kaus singlet diganti dengan kaus oblong, pakai kaus kaki, celana dalam baru, sapu tangan tidak lupa. Dan semua isi dompet kutinggalkan, kecuali uang beberapa ribu saja. Kartu SIM kutinggalkan, takut hilang di tengah jalan, atau di tempat tujuan.

”Surat ini dibawa?” tanyaku kepada penjemput sambil menunjukkan surat undangan tersebut.

”Ya dibawa sebagai bukti,” jawabnya.

Aku pamitan kepada istri yang sedang menggendong anak kami yang baru berumur empat bulan. Mukanya pucat dan matanya kosong. Aku mencium dahinya.

”Sabar Mam.”

Tamu itu, dan kedua pak RT, berpamitan bersamaan. Sesampai di halaman, ternyata ada tiga orang lainnya. Seorang baru keluar dari mulut gang di tepi rumahku, seorang berada di depan rumah, dan yang seorang lagi datang berlari-lari dari ujung jalan di depan rumah kami. Rupanya ketiga orang lainnya itu memencar. Salah seorang kemudian menghidupkan mesin mobil Kijang dan menyilakan aku duduk di bangku kedua, diapit oleh dua orang dari mereka.

”Ke mana kita Pak?” tanyaku sebab dalam surat undangan itu tidak ada alamatnya.

”Nanti juga tahu,” jawabnya singkat. Aku pun diam sambil mengenali jalan yang sedang ditempuh.

Dengan jawaban itu, tersirat peradaban dan budaya yang dianutnya. Tersirat posisinya dan posisiku, serta posisi perangkat masyarakat yang lainnya. Peradaban dan budaya seperti ini sudah berlangsung puluhan tahun di negeri ini, yang perangkat pemerintahan dan masyarakatnya lengkap. Ada kejaksaan. Ada Mahkamah Agung. Ada polisi. Ada lembaga-lembaga masyarakat yang pretensius membela masyarakat. Ada tumpukan buku perundang-undangan yang nafasnya melindungi masyarakat tetapi di dalam praktiknya memperdayakan masyarakat. Jawaban itu sudah cukup bagiku.

Akhirnya sampailah aku di tujuan. Aku diantarkan ke sebuah ruangan kosong.

”Bagus, tunggu di situ,” kata salah seorang dari mereka yang mengantar.

Dengan sopan aku duduk di sebuah kursi di ruangan yang kosong. Ada tiga meja dan masing-masing meja mempunyai dua kursi saling berhadapan yang dipisahkan oleh mejanya. Pukul 16.35. Jam di dinding juga menunjukkan waktu yang sama. Kudengar suara langkah orang di ruang sebelah. Suara banyak sepatu melangkah. Tapi tidak terdengar suara manusia. Juga tidak ada suara radio atau televisi. Suara mobil di jalanan sesekali terdengar. Suara mobil masuk atau keluar halaman sesekali terdengar juga. Tiba-tiba suara orang tertawa memecah kesepian. Suaranya agak jauh, yang jelas bukan dari kamar sebelah. Lampu yang bergayut dari langit-langit ruangan belum menyala. Detik ke menit, menit ke jam, terus berjalan. Aku tetap duduk. Tidak ada yang datang. Suara sepatu pun sudah tidak terdengar. Juga suara mobil. Juga suara orang tertawa sirna. Kutempelkan sebelah tangan menutup kuping, jari-jari dipukul suara detak jantung dan aku mendengarkannya, berdetak besar dan cepat.

Tak ada suara lain. Sepi mencekam.

Tetapi tidak lama kemudian terdengar suara ramai langkah sepatu. Disusul suara orang memberi perintah mengatur barisan. Disambung suara memberi komando. Kemudian suara sepatu ramai. Aku masih duduk sendiri di ruang kosong. Aku tidak mau melihat jam. Keringat membasahi tubuh. Tidak ada AC juga tidak ada kipas angin yang hidup. Remang malam turun menambah senyap.

Sementara aku duduk sendirian, aku teringat dengan mahasiswa-mahasiswi di Flinders University yang pernah berakrab-akrab dengan aku ketika mengunjungi Adelaide. Aku teringat teman-teman yang menyambutku di Melbourne. Pada malam harinya diadakan pesta di taman. Daun kemerisik kuinjak, bulan sepertinya membukakan kedua tangannya untuk menyambutku dengan pelukan hangat. Langit biru dan angin segar musim gugur. Aku juga teringat dengan peneliti perempuan yang menerimaku di Canberra, mengajakku menginap di rumahnya. Anak perempuannya suka menggesek biola dan aku mendengarkannya dengan tekun. Seorang jurnalis perempuan yang pernah gentayangan di Indonesia menyediakan tumpangan di rumahnya di Sydney. Ketika ia bekerja, aku mengasuh anaknya yang diperoleh dari lelaki Vietnam. Muncul juga wajah-wajah gelap pekak berdaki kaum Harijan, kasta paria tak tersentuh di Madras yang sempat aku ajari akupresur. Aku teringat dengan petani tanpa tanah di Koita di selatan Dhaka, Banglades, yang kukunjungi beberapa hari, untuk latihan teater dan membantu mengobati lututnya yang bengkak dengan akupunktur. Aku teringat kawan dari Singapura yang meringkuk masuk tahanan sesudah pulang dari Banglades, demikian juga seorang pemain teater dari Filipina, yang langsung dijemput di bandara dan tak ketahuan rimbanya. Hidup kembali wajah-wajah teman sekelas yang berasal dari berbagai negeri ketika berada di Berlin. Nonton musik klasik beramai-ramai dan juga ikut merobohkan Tembok Berlin. Pohon-pohon ligir, bulan telanjang dan dingin tengah malam tidak membuat aku kelelahan. Gigil segar menyemangati, yang tak pernah kurasakan di negeri ini. Kebebasan. Terasa jengkelku bangkit kembali terhadap tingkah laku orang di Taiwan dan juga di Hongkong. Aku tidak senang di kedua negeri itu. Aku teringat dengan pengarang tersohor dari Malaysia yang sangat ramah, di Kuala Lumpur mendampingiku membahas bukuku yang tak bisa terbit di tanah air. Tanpa kusadari muncul wajah kawan perempuan di Amsterdam yang memboncengku dengan sepedanya pada malam gerimis untuk mengunjungi seorang temannya ”manusia perahu”. Terbayang etalase perempuan pekerja seks di Hamburg dan Amsterdam, bibirnya senyum tapi mungkin hatinya perih. Banyak lagi yang hidup menyeruak di dalam otakku selama aku menunggu di ruangan kosong yang lampunya belum menyala meskipun remang-remang sudah menyelimuti alam. Mengapa mereka hidup kembali di dalam kesunyianku ini? Mereka hadir menyaksikan, apa yang akan aku jalani di sini? Rasa haus kuobati dengan menelan air liur.

Tiba-tiba seorang laki-laki masuk. Ia menyalakan lampu.

”Selamat malam Pak.” Aku mendahului.

Ia tidak menyahut. Ia menyeret kursi dan duduk di hadapanku. Ia merogoh sesuatu di pinggang dari balik bajunya. Ia meletakkan pistol di atas meja.

”Kalau Pak Bagus mati di sini tak ada artinya,” suaranya tajam menukik bagai bayonet ke jantungku.

Aku mengangguk.

”Di sini tidak ada Pancasila.” Suaranya menggelegar mengagetkan.

Aku mengangguk terlebih karena terkejut.

”Ini Blitz-krieg.” Suaranya lagi. Aku melihat ludahnya yang meleleh di tepi bibirnya sudah berubah menjadi darah.

Aku mengangguk sambil mendoyongkan tubuh ke belakang.

”Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku pelan dan sopan, sambil menahan napas. Aku ingat bahasa Inggris, ”What can I do for you?”

”Kamu jangan mengajari aku.” Suaranya menyobek malam sekeras tangannya memukul meja. Aku terperanjat tetapi tetap duduk tenang di kursi. Kupingku mendengar teriakannya seperti gonggong anjing. Mataku yang memandangnya dengan ketakutan melihat tubuhnya yang kekar dengan baju safari warna polos berubah menjadi herder. Giginya tampak memanjang dan mulutnya menyerupai moncong. Aku mengusap mataku. Tapi apa yang kulihat tidak berubah. Suaranya yang terus-menerus terdengar sudah berubah, bukan lagi suara manusia. Aku mengusap kupingku, tetapi tetap yang kudengar gonggong anjing.

”Kenapa ia berubah?” aku bertanya sendiri

Tidak berapa lama terdengar suara langkah sepatu datang. Entah berapa orang, atau berapa ekor, aku tidak tahu lagi.

Sejak malam itu, aku berada di kebun binatang tanpa kerangkeng. Ketika aku tidur, tikus besar-besar berlarian di tubuhku. Terkadang sewaktu terlena ujung jariku digigitnya sehingga tikus dapat mencicipi rasa darahku. Aku bermain silat mengusir nyamuk yang tidak tahu di mana keberadaannya sebab gelap gulita. Kecoak lalu lalang juga di atas tubuhku. Terkadang di tengah malam ada siluman berujud ular-ular mematukku sehingga aku menggeliat-geliat, membuat sesak napas, tersengal-sengal dan batuk tak berkesudahan. Patukan ular itu menyengat dan mengalirkan bisanya ke sekujur tubuhku sehingga aku menggeliat-geliat tanpa kendali. Pada saat bersamaan dengan muncratnya raung dan gonggongan anjing, terasa darahku diisap lintah. Aku tidak bisa lagi membedakan mana anjing, mana ular, mana kecoak, lintah, dan tikus. Mereka muncul terkadang bersamaan, terkadang sendiri-sendiri, menggeledah seluruh organ tubuhku, tulang-belulangku, tengkorak, pancaindraku, sampai ke rambut dan kukuku.

Alhasil, setelah hampir dua minggu, pintu keluar barak itu dibuka. Aku boleh pulang setelah anjing-anjing, tikus dan kecoak, nyamuk, lintah dan semut menggerayangi tubuh, menciumi bau keringatku, ingus, kencing ludah, bahkan mencicipi darahku untuk mencari jejak hantu yang diduga telah menyelusup ke tubuhku, ke organ-organ tubuh dan mengalir di cairan darah, sperma, getah bening, yang telah menjadi kekuatan yang memboyongku, menerbangkanku berkeliling dunia. Perangai, tindak tanduk hantu itu telah melanggar semua tatanan keamanan, dan menerobos lingkaran-lingkaran kawat berduri yang berlapis-lapis di nusantara. Mereka mencari hantu komunis itu pada diriku, tetapi tidak menemukannya. Sebab cucu cicit hantu itu sebagian bersemayam dan tertawa terkekeh-kekeh di dalam batok kepalanya sendiri, sedangkan induknya bertelur terus di dalam sarangnya di Senayan.

Aku melangkah meninggalkan barak kecil itu, masuk dan mengembara di dalam barak yang lebih luas, dengan kawat berduri berlapis-lapis, di tanah airku.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler