Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “TEROMPET” KARYA ISBEDY STIAWAN ZS

Foto SIHALOHOLISTICK

Tidak seperti biasa, Sisi yang meneleponku. Ia memintaku-tentu amat mengharap-agar menemaninya jalan di malam Tahun Baru. Bukan semata karena ia kalau segera kusanggupi, tapi disebabkan Nina. Aku ingin menghiburnya, aku sudah amat rindu berjalan dengannya.

“Nina menyuruhku meneleponmu. Ia mengharap sekali kau mau menemani kami. Yang terpenting ia ingin kau ada di sisinya saat ia merayakan ulang tahun…,” ujar Sisi. Nina lahir pada 31 Desember pukul 19.00 dan kini di usia ke-13 ia minta dirayakan bersamaku. “Katanya, ia telah mengundang teman-teman sekolah.”

Aku pikir apa salahnya membahagiakan putriku yang tengah masuki usia remaja? Selama ini, sejak aku berpisah dengan Sisi, aku cuma mengucapkan ulang tahun melalui telepon. Atau menyuruh office boy mengantarkan kue ulang tahun buat Nina. Dan, sesekali membawanya ke pantai atau tempat bermain di mal.

Tetapi, apakah mungkin Rosa mengizinkan aku menemani Nina dan Sisi? Di malam Tahun Baru lagi? Bukankah ia tahu, karena aku selalu terbuka dan bercerita, kalau malam Tahun Baru punya kenangan tersendiri bagi aku, Sisi, dan Nina? Meski sekarang Sisi bukan lagi istriku. Kami bercerai sewaktu Nina berusia 7 tahun.

Nina memang butuh figur seorang ayah. Dan itu tentu hanya ada pada diriku. Sayangnya, aku begitu sibuk dengan tugas di kantor. Ditambah lagi kini aku sudah berkeluarga. Rosa yang dulu anak buahku di kantor kini menjadi istriku. Dari Rosa, aku memang belum memperoleh anak, padahal usia perkawinan kami sudah 3 tahun. Meskipun tanpa anak, rumah tanggaku tetap bahagia. Aku sangat mencintai Rosa, begitu sebaliknya. Bagi Rosa, demikian selalu ia utarakan, perkawinan tak harus membuahkan anak. “Rumah tangga adalah soal cinta dan kasih sayang,” katanya suatu kesempatan.

Aku mengangguk. Memeluknya dan berbisik, “Rumah ini sudah terasa indah dan nyaman karena setiap hari cinta dan kasih sayang selalu bertunas.” Apalagi Rosa tetap bekerja, menjadi wanita karier di lain perusahaan. Kesibukan itulah yang kemudian seperti mengubur impian kami untuk memiliki anak.

Lalu, apakah itu cukup bagi Rosa mengizinkan aku jalan bersama Sisi? Meski di antara kami ada Nina sebagai pembatas? Perempuan mana yang bakal mengikhlaskan suaminya pergi dengan mantan istri atau kekasihnya? Aku harus ekstra hati-hati, mesti menjaga perasaan Rosa sehingga ia tidak tersinggung. Cemburu. Betapa pun aku tak akan mungkin kembali kepada Sisi. Tetapi, jalan bersama orang yang pernah hidup di hati tentu amat rentan.

“Apa? Kau mau jalan bersama Sisi?” Rosa mendelikkan kedua matanya. Aku amat paham, itu pertanda ia amat tidak suka. Padahal, aku sudah sangat hati-hati mengutarakan maksudku. Aku juga sengaja mengajaknya makan malam di sebuah restoran kesukaannya. Itu pun didahului dengan mengajaknya mengelilingi kota. Bahkan, semula aku hendak masuk ke Bioskop 21, tetapi Rosa mengaku malas menonton film Indonesia yang dirasa rendah kualitasnya.

“Jujur saja kalau mau bernostalgia!” suaranya meninggi. “Sudah pergilah, aku bisa pulang sendiri!”

“Jangan cepat marah begitu, Rosa. Dengar aku dulu, aku belum selesai bicara,” kataku menenangkan istriku. “Kalau bukan karena permintaan Nina, sumpah aku tak akan mau. Untuk apa aku jujur dan minta padamu kalau aku sengaja ingin jalan dengan dia,” lanjutku. Sengaja aku menyebut Sisi dengan “dia” supaya Rosa memaklumi kalau aku dengan mantan istriku sekarang sudah tak ada lagi yang harus dicurigai.

“Ya, sekalian nostalgia kan?” potong Rosa. “Siapa pun tahu kalian berkenalan di malam Tahun Baru. Lalu sewaktu belum bercerai, kau sering mengajaknya jalan-jalan pada malam Tahun Baru. Alasannya, mengenang malam pertama perkenalan. Iya kan?”

“Ya. Apa yang kau katakan benar. Tapi, itu dulu sebelum kau menjadi istriku….”

“Kau sendiri tak pernah mengajakku, aku ini kan istrimu?” Rosa makin protes.

“Kalau begitu kau ikut bersama kami,” ujarku segera. Aku mulai digayuti perasaan emosi. Kenapa tiba-tiba Rosa demikian sentimentil? Kutahu ia perempuan tegar selama ini. Lalu, ada apa sekarang ia cemburu, justru pada Sisi yang semua orang tahu kalau sudah kuceraikan. “Kau terlalu cemburu, Rosa!” imbuhku tanpa dapat kutahan kata itu meluncur.

“Jelas aku cemburu! Karena aku tahu ia bekas istrimu. Karena kau sengaja ingin mendekatinya kembali lewat Nina. Aku tahu malam Tahun Baru amat spesial bagi kalian dulu. Ditambah Sisi masih belum menikah lagi…,” suara Rosa memberondong.

“Terus apa lagi. Apa lagi yang akan kaukatakan? Ayo keluarkan, ucapkan. Sampai kau puas,” kata-kataku meninggi. “Tapi, perlu kau ketahui, aku paling tak suka mengenang-ngenang masa silam. Dan, sejak kau jadi istriku, aku sangat mencintaimu, aku menyayangimu. Itu sebabnya aku selalu terbuka, sekecil apa pun, walau harus berisiko….”

“Pokoknya, aku tak mengizinkan kau jalan bersama dia! Aku juga tak sudi menemani kalian!” kata Rosa setelah beberapa jenak terdiam.

“Aku tak jalan dengan dia. Tapi karena Nina, ia amat mengharapkan aku menemaninya merayakan ulang tahunnya. Bagaimanapun Nina tak bisa dipisahkan dariku. Ia anakku….”

“Aku tahu. Aku juga tidak lupa kalau kau sudah punya anak sewaktu menikahiku,” ia memotong.

“Apa maksudmu, Rosa?” aku tersinggung. “Kenapa kau begitu kasar?”

Ia diam. Aku segera mengajaknya meninggalkan restoran kesukaannya ini. Membayar apa yang kami makan pada kasir. Suasana makan malam kami kali ini koyak moyak. Sepanjang jalan pulang benar-benar hening. Wajah Rosa selalu berpaling ke kiri. Berkali-kali aku ingin memulai percakapan, tapi selalu saja gagal. Rosa sengaja tak memberi ruang untuk sebuah percakapan.

Kota BL terasa lengang. Mobil kupacu kencang. Rosa menentang, “Aku belum ingin mati. Tapi, kalaupun mati tak ada yang menangisi kematianku. Lain kau, ada yang menangis dan menyesali….”

“Siapa yang mau mati?”

“Kalau begitu, pelankan sedikit mobil ini….”

Kembali ia memandang ke samping. Tiang listrik yang bercat hitam bagai tubuh lelaki legam yang tengah berpacu ke belakang. Aku menatap ke depan. Habis sudah harapanku agar Rosa mengizinkan aku menemani Nina merayakan ulang tahun di malam Tahun Baru.

SISI kembali meneleponku. Ia ingin mendapat kepastian apakah aku bisa menemani Nina pada malam Tahun Baru dua hari mendatang? “Nina selalu bertanya kepadaku. Kalau kau ingin berbicara padanya, Nina di sebelahku,” kata Sisi siang ini ke telepon kantorku.

“Ya, biar aku bicara pada Nina,” ujarku cepat. “Hallo sayang… kamu sehat kan? Bagaimana ulangan, pasti nilaimu bagus-bagus kan. Anak papa….”

“Papa mau kan nemenin Nina, sekali-sekali Pa,” ia merajuk. “Nina kangen jalan ama papa dan mama di malam Tahun Baru. Nina pengin sekali ulang tahun Nina dirayain bersama papa dan mama. Papa bisa kan? Papa mau kan?” Nina memberondong, yang intinya mendesakku agar menemaninya di malam Tahun Baru.

“Ya, ya! Tentu, sayang! Papa akan usahakan….”

“Yang pasti dong, Pa?” desak putriku.

“Ya! Papa janji, pasti!” jawabku. Tetapi, setelah ucapanku itu meluncur, aku kembali teringat Rosa yang sudah jelas-jelas tak memberi izinku. Aku mendesah. Mengenyakkan punggungku ke kursi setelah meletakkan gagang telepon. Kuputar kursiku….

Dulu aku biasa mengajak jalan Nina berkeliling kota di malam Tahan Baru. Sejak ia berusia setahun. Tentu bersama mamanya, Sisi, yang kala itu masih menjadi istriku. Aku sendiri yang menyetir mobil, Sisi duduk di sebelah kiriku sambil menggendong Nina yang kadang terlelap.

Sebenarnya bukan kami ingin menghibur Nina, tapi setiap malam Tahun Baru kami punya kerinduan bernostalgia. “Bukankah kita berkenalan di malam Tahun Baru?” kenangan itu selalu diungkapkan Sisi setiap menjelang pergantian tahun setelah kami berkeluarga. “Waktu itu kau bersama teman-temanmu dengan mengendarai mobil, sedang aku dengan teman-temanku juga dengan kendaraan. Kita bertemu di tepi pantai. Kau menggangguku dengan terompetmu yang diteriakkan dekat di telingaku….”

“Tapi, waktu itu kau bukannya marah. Malah tersenyum. Amat menggodaku,” selaku. “Padahal aku sudah siap dimarahimu, waktu itu.”

“Soalnya kau gan…”

“Kau juga cantik, itu sebabnya aku menggodamu.”

Lalu kami tertawa. Bahagia sekali. Mengelilingi Kota BL ini, kota yang pernah mendapatkan Adipura. Kami ulang mengelilingi kota di malam Tahun Baru setelah berumah tangga. Aku melamar Sisi setelah tiga tahun kami berpacaran. Dua tahun berumah tangga kami dikaruniai anak yang kami beri nama Nina Sekarningrum. Saat Nina berusia setahun, aku dan Sisi nekat membawanya keluar pada malam Tahun Baru.

Bahagianya kala itu. Nina yang belum mengerti apa-apa tetap kubelikan terompet. Tentu saja tak lama kuberikan ke Nina, terompet itu sudah lecek dan kucel. Sisi hanya tersenyum-senyum dengan terompetnya. “Ada-ada saja kau, anak sekecil ini ngerti apa?” Lalu meneriakkan terompetnya dekat telingaku, seperti hendak balas dendam. Melihatku kaget, segera berderai tawanya.

“Ya ngerti. Buktinya terompet itu dirusaknya,” jawabku sekenanya.

Ah, entah mengapa kenangan-kenangan itu tiba-tiba datang. Padahal, aku tidak mengundangnya. Seperti selalu sering kukatakan, aku selalu melupakan masa lalu-juga di dalamnya kenangan-kenangan. Aku tak punya masa lalu dan aku selalu optimis pada masa depan. Begitu rumah tanggaku dengan Sisi hancur, aku tak pernah mengingatnya. Kalaupun harus menganggapnya, tak lebih ia hanyalah ibu dari anakku. Tiada kenangan yang mesti kutiti lagi, tiada angan yang dapat kuurai….

“Sisi sudah meneleponmu tadi siang?” Rosa membuyarkan lamunanku. Aku tak segera menyahut. Kutatap wajahnya. Kini ingin sekali kumasuki seluruh tubuhnya. Mencari apa yang tersembunyi dari ucapannya. Tetapi gagal. Ternyata aku belum tahu banyak tentangnya, aku seperti masih berjarak justru dengan istriku sendiri. Beginikah hidup rumah tangga: sebuah rumah yang dihuni oleh dua manusia dari sejarah yang berbeda, tetapi hidup di bawah satu atap? Terkadang, ada banyak yang tak terselami.

“Sebelumnya ia meneleponku. Minta izinku….”

“Apa jawabmu?”

“Aku diam. Segera kututup telepon,” jawab Rosa ringan. “Aku yakin setelah itu dia meneleponmu. Benar kan?”

Aku mengangguk. “Tapi dia tak bilang kalau baru saja menghubungimu, tapi kau tak mau menerimanya,” jawabku. Aku masih memandang wajah Rosa.

“Kukira ia mengadu….”

“Dugaanmu meleset kali ini,” kataku segera. Terdengar ketus.

“Dia masih mengharapmu menemaninya?”

“Aku diminta menemani Nina yang berulang tahun. Kebetulan malam Tahun Baru. Aku bicara dengan Nina….”

“Tapi, yang menghubungimu Sisi kan?”

Aku kembali mengangguk. “Cuma menghubungi dan ia bilang, ’Nina selalu bertanya padaku. Kalau kau ingin bicara padanya, Nina di sebelahku.’ Lalu kujawab, biar aku bicara pada Nina. Hanya itu, tidak lebih.”

“Hanya itu? Bohong!”

“Kau masih tak percaya? Kamu seperti mengenalku baru kemarin saja!” aku membentak. “Aku tak pernah berlebihan bicara padanya, aku tahu batas. Masih juga kau tak paham?”

“Aku tetap tak mengizinkan kau pergi esok malam. Pokoknya, tidak!” ucap Rosa. Kemudian meninggalkan aku di ruang tengah sendirian. Ia masuk ke kamar tidur. Mengunci dari dalam.

Kuketuk pintu kamar. Sekali dengan pelan, dua kali sedikit keras. Ketika tak ada tanda Rosa akan membuka, kuketuk pintu kamar dengan punggung tanganku. Cukup keras. Namun, Rosa tetap tak membuka.

“Kau memberi izin atau tidak, aku tetap akan pergi. Aku bukan berurusan dengan dia, tapi ingin menemani Nina sebab sebagai papanya aku berkewajiban membahagiakannya!” kataku keras. Aku yakin, Rosa mendengar suaraku.

Benar. Ia membuka pintu. Melempar bantal dan guling.

“Tidurlah kau di kursi!” lalu kembali menutup pintu kamar.

Aku tak pulang ke rumah. Dari kantor aku makan malam dulu di restoran kesukaan Rosa. Setelah itu menuju rumah Sisi. Nina sudah menantiku di depan rumah dan menyambut kedatangan. Kulihat ia bahagia sekali begitu melihatku turun dari mobil. Kupeluk anakku yang kini sudah remaja itu. Kucium kedua pipinya dan keningnya. Ia juga balas menciumku: pipi dan keningku.

“Sudah siap, sayang?”

Nina mengangguk riang. “Papa belum mandi?”

“Kenapa, bau?”

Kembali Nina mengangguk. “Papa mandi dulu ya. Nina siapin handuk, sabun, sikat gigi.”

Nina segera menarikku ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya. Setelah itu kuganti pakaian yang sengaja kubawa dari dalam tas. Sisi sudah menunggu di ruang tengah, begitu aku keluar dari kamar Nina.

“Maaf aku numpang mandi di kamar Nina. Aku tadi tidak sempat pulang dulu, dari kantor langsung ke sini,” kataku pada Sisi.

“Istrimu tak mengizinkan? Kalau belum makan, baiknya makan dulu. Sudah kusiapkan. Ajak Nina….”

Tiga pertanyaan Sisi itu kujawab dengan menggelengkan kepala.

“Kalau begitu kita pergi sekarang,” Nina mencairkan suasana.

“Cemburu itu penting, itulah tanda cinta. Jadi aku tak menyalahi istrimu…,” kata Sisi yang duduk di kursi belakang setelah mobilku berada di jalan utama. “Dan itu yang kulakukan dulu….”

“Sudahlah, tak usah bicara soal masa silam,” ujarku agar suasana romantis dan sentimentil tidak terjadi malam ini. Lalu kualihkan pada Nina, “Ke mana kita malam ini sayang? Mau dirayakan di mana acara ulang tahunmu? Papa siap ke mana pun Nina minta….”

Nina menunjuk sebuah kafe di Hotel Indra Puri. Aku segera menyetujui meski Sisi setengah mencegah. “Kenapa harus di sana, Nina? Pasti mahal. Lagi pula, kamu kan sudah janji sama mama tak mau membebani papa. Tempat itu juga tidak pas buat kita….”

“Ah, mama sekali-sekali. Lagian papa tidak keberatan. Iya kan, Pa?” Nina protes pada Sisi.

“Ya, enggak apa sekali-sekali. Tetapi, janji ya, kita hanya sebentar di sana?”

“Oke deh, Pa,” jawab Nina sambil mencium pipiku. Ternyata Nina sudah memesan tempat. Terbukti begitu kami sampai, sekitar sepuluh orang teman sekolahnya sudah lebih dulu tiba. Duduk di beberapa meja yang di atasnya menyala 13 lilin. Nina disambut dengan nyanyian “Selamat Ulang Tahun” dari teman-temannya. Sejurus kemudian, ia meniup lilin-lilin itu. Prosesnya cepat sekali. Tak lama keluar makanan yang juga telah dipesan Nina.

“Uang dari mana Nina bisa bayar tempat ini?”

Ia pun tertawa. “Hiii… papa mau tahu aja!”

“Jelas dong! Dari mana sayang?” aku berbisik di telinganya.

“Tabungan Nina. Kemarin Nina ambil di ATM….”

“Kalau begitu, papa ganti.”

“Enggak usah Pa… Papa sudah bisa datang saja Nina senang sekali.” Dalam hati aku tetap akan mentransfer uang ke tabungannya.

Setelah selesai, kami tinggalkan tempat itu. Kukira seusai perayaan ulang tahun, aku bisa segera pulang, tapi Nina mengajakku menemaninya menghabisi malam Tahun Baru. Aku tak dapat menolak. Aku memang sangat menyayanginya. Ingin menghiburnya.

Dan, mobil pun melaju di jalan utama Kota BL ini. Di simping Tugu Gajah kubeli tiga terompet. Satu untuk Nina, yang lain untukku dan Sisi. Tak dapat kuelak, kenangan masa silam pun kembali kutiti-bahkan dengan sendiri kenangan itu mengurai.

Suara terompet dari dalam mobilku saling bersahutan. Nina meniup, aku menyambut, dan Sisi membalas. Begitu sebaliknya. Terus-menerus. Hingga aku lupa ternyata aku tak mampu mencegah masa lalu agar tak masuk dalam kenanganku. Aku larut ke dalam kenangan yang indah sewaktu aku masih bersama Sisi dan Nina….

Ah! Mengapa roda kehidupan ini seperti berulang dan datang? Aku berkeras hendak mengubur kenangan itu, tapi sekeras itu pula kenangan itu mendesakku. Kupandangi Nina yang duduk di sebelahku. Ia tampak sekali bahagia. Tak henti-henti, sejak di Hotel Indra Puri tadi, ia mengumbar senyum. Nina memang manis. Cantik.

Dan, sesekali kucuri pandang ke Sisi yang duduk di belakang lewat spion. Ia pun tak kurang riangnya. Terompet selalu berada di antara bibirnya yang dipoles lipstik warna ungu. Dalam hati aku mengagumi kecantikannya yang belum pudar. Cuma aku tak sampai hati bertanya, kenapa ia belum juga menikah lagi? Mungkin ia sudah bertekad hendak membesarkan Nina seorang diri sambil tetap menjadi wanita karier. Oleh karena itu, kembali kulirik Nina. Ia membalasku sambil meniup kencang-kencang terompetnya ke dekat telingaku. Aku pun tak mau kalah. Kuarahkan corong terompetku ke wajah anakku itu dan segera kutiup keras-keras. Dan Sisi membalas, mengarahkan terompetnya ke Nina.

Nina protes. “Ih curang. Nina dikeroyok. Nina dikeroyok. Kalau berani sendiri-sendiri dong….” Ia terus protes. Kami tertawa. Berderai.

Malam sudah meninggi. Konvoi kendaraan makin menambah. Suara terompet terdengar di mana-mana dan dari arah mana-mana. Saling bersahut. Balas-membalas. Kami larut, aku terlena. Kami seperti menarik kembali waktu yang telah lenyap di masa silam. Seperti ingin kembali memeluknya. Itu sebabnya, ketika Nina memintaku mengarahkan mobil ke arah timur-ke tepi pantai-aku segera mengangguk. Aku lupa kalau Rosa sekarang mungkin tak bisa tidur di rumah, memainkan perasaan perempuannya. Atau mungkin sudah terlelap di luar kamar?

Aku tak bisa bayangkan, aku tak mampu mengangankan. Hidup memang sulit diduga. Karena itu, aku tak mau menyesali kenapa aku mau menemani anakku dan Sisi kalau sudah dapat kutahu akan berakhir di rumah sakit ini. Kami harus menjalani rawat inap beberapa hari. Aku cuma ingat mobilku tergelincir lantaran ingin menghindari tabrakan dengan bis luar kota. Aku hanya luka-luka di kedua lenganku, keningku karena terkena pecahan kaca. Sementara Sisi, tangannya patah, kepalanya bocor karena benturan atap mobil. Sedang Nina paling parah: kedua kakinya patah dan aku pesimis ia bisa berjalan tanpa kursi roda.

Aku menangis, memeluk tubuh Nina. Berkali-kali aku pingsan di sisi ranjang Nina. Aku baru terbangun ketika Rosa membelai kepalaku. “Kau tak apa-apa? Aku tahu kalian di sini, tadi aku ditelepon dokter….”

Aku memandang Rosa. Aku mengharap sekali ia mau memaafkan aku. Rosa mengangguk, tersenyum. Kemudian kembali membelai kepalaku. Setelah itu, ia berbalik ke Nina. Mencium anakku (tentu anaknya pula bukan?) dengan segenap kasih sayang. Ia leburkan tangannya ke tubuh Nina. “Kau anak baik, Nak. Mama juga mencintaimu….”

Dalam keadaan terisak, kudengar Rosa membisikkan sesuatu ke telingaku. Kudengar jelas sekali: “Kalau kau masih mencintaiku dan demi Nina… aku ikhlas jadi istri pertamamu.”

 

Lampung, Desember 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler