Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “AKU, IKAN YANG BERENANG” KARYA PUTU FAJAR ARCANA

Foto SIHALOHOLISTICK

Aku merasa kau menggamit tanganku ketika ombak ketiga menggulung kita. Waktu itu samar-samar kulihat kilau perahu terbalik di arah matahari. Tetapi semuanya sudah jauh sekali dari jangkauan. Karena itu, sudahlah, aku memilih jadi bagian dari laut. Kulepaskan gamitan tanganmu, dan aku meluncur ke dasar serupa terumbu. Kelak jika kau ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan kecil yang berenang di antara terumbu karang, mungkin itulah aku, kekasih.

Sejak itu aku tak pernah bertemu denganmu. Kadang di antara gerak angin yang mengantarkan riak ke pantai, aku menyusup sekadar melacak jejak tapak kakimu. Tetapi ribuan empasan air dan angin telah lama menghapus jejak itu. Aku cuma ingat di dekat pohon camplung berdaun lebat sebelum gumuk pasir, kita pernah berteduh beberapa saat sebelum memutuskan untuk melaut.

Mudah-mudahan kau ingat pula akulah yang bersikeras mengajakmu melaut di musim angin itu. Padahal kau sudah berulang kali memperingatkan, musim ini tak baik berperahu, apalagi sekadar memuaskan keingintahuan tentang seberapa luas lautan. Kekasih, asal kau tahu, aku tak menyesal kalau kini serupa ikan yang berenang ribuan tahun di samudra. Yang kusesali, aku tak tahu bahwa menjadi bagian dari alam bawah air, sama artinya merentangkan jarak begitu jauh hanya untuk bertemu denganmu. Kesempatan yang diberi alam untuk hidup di sela terumbu ternyata memperlebar janji untuk bertemu. Bukankah aku yang berucap, “Kalau laut, angin, dan langit memberkati, kita mesti bertemu di bawah pohon camplung berdaun lebat ini.” Dan kau hanya mengangguk sembari memandang ke cakrawala.

Sungguh aku tak tahu, sudah ribuan tahun berenang serupa ikan, belum juga kutemukan daratan yang memendam jejak dan janji kita. Dari sela karang ini, aku bisa mencium harum tubuhmu yang menyusup di hamparan pasir pantai. Tetapi sebagai ikan harum itu ibarat mata kail yang bisa memerangkapku ke daratan yang asing. Bahkan mungkin aku akan binasa di dasar keterasingan itu. Karenanya, dari kedalaman aku cuma mampu mengirimkan isyarat lewat riak yang berbuih. Kalau kau mendengar angin mendesir dan riak berbuih putih, itulah surat-surat yang kutulis di malam-malam yang dingin dan gelap. Cahaya gemintang dari langit hanya menyentuh permukaan, di mana tak mungkin aku mengapung.

Kekasih, mungkin terlalu jauh untuk kugapai apalagi kepeluk tubuhmu. Aku hanya serupa ikan yang hidup di sela ganggang. Sementara kau, uh, sungguh tak bisa kulukiskan serupa apa dirimu sekarang. Sewaktu kita berpisah aku pun sebenarnya tak begitu mengingat lekuk-liku wajahmu. Yang kusimpan pada kenanganku sampai kini, kau tak pernah mengucapkan sepatah kata pun saat perpisahan itu.

Sebegitu berartikah secarik kata perpisahan di saat tragedi menggulung kita? Dulu kau selalu berujar begitu. Aku selalu membenarkan ucapanmu, “Sempatkah kau mengucapkan sekadar kata perpisahan pada detik tragedi terjadi?” Kau tetap tidak setuju, aku tahu, karena pada dasarnya engkau tidak setuju dengan perpisahan. Kita bagai satu zat, katamu, yang tak mungkin terpisahkan apalagi sekadar oleh tragedi. Karenanya untuk apa mengucapkan kata perpisahan sementara kita tahu takkan terpisahkan?

Oh, aku ingat sekarang itulah rupanya mengapa kau tak meninggalkan jejak setapak pun di garis pantai. Inikah yang disebut pertemuan kekal, dalam rentang jarak ruang dan waktu yang jauh?

“Bukahkah jarak itu yang memisahkan kita selama ini?” tanyaku. Matahari hampir bersandar di bidak para nelayan. Cahayanya menyepuh laut menyerupai lempeng tembaga raksasa.

Kau mengernyitkan dahi sebelum berkata, “Ruang dan waktu hanyalah gumuk pasir, ia akan terkikis oleh angin.”

Aku menduga waktu itu, kau hanya mencari cara untuk menyudahi perdebatan kita tentang pertemuan dan perpisahan. Mungkin aku terlalu romantik. Sekali pertemuan terjadi, maka ia akan kekal sampai berkalang tanah nanti. Perpisahan hanya ada apabila jiwamu menolak pertemuan.

Oho, di dasar laut ini kini, aku seekor makhluk yang merindukan pertemuan. Muskil berharap berubah wujud menjadi manusia kembali, apabila itu dikehendaki hanya untuk sekadar pertemuan. Dalam kenistaan wujud, setidaknya yang ada dalam pikiranku, hanya kau yang mampu kuingat, kekasih. Aku sudah lupa bahwa daratan pernah bergetar, dan manusia kelimpungan seperti kawanan ikan yang dituba, ketika dasar laut bergolak. Aku juga sudah lupa ketika begitu banyak manusia diseret gelombang lalu mengambang di atas lautan. Tragedi? Kekasih, hidup di dasar laut tak ada tragedi yang lebih dahsyat daripada tergoda mata kail atau diseret jaring para nelayan. Karena dalam sekejap hidupmu bisa berakhir. Bagi kami, kawanan ikan, waktu dan masa tua bukan halangan melanjutkan hidup.

Mengapa manusia tidak menjadi ikan seperti diriku? Pertanyaan yang absurd. Semacam gelombang yang coba menghanyutkan langit di kejauhan cakrawala. Konon, menjadi manusia jauh lebih mulia dibanding hidup di dasar laut sebagai ikan.

Setidaknya, kau tak pernah berhasil menangkap isyarat serta surat-surat yang kukirimkan lewat angin dan riak ombak. Mungkin karena surat-surat yang kukirimkan tak mudah terpahami dari dunia di mana engkau berdiri sekarang ini. Tetapi, sungguh aku tak memahami bahasa lain selain mengirimkan isyarat lewat gelagat ombak.

Hanya saja ketahuilah bahwa surat-suratku berisikan cerita panjang tentang pengembaraan hidup di bawah permukaan. Selain menemukan gugusan terumbu serta palung-palung yang dalam, kawan-kawan yang bersahabat, aku juga merasa bahwa kehidupan di sini jauh lebih damai. Kalau kau bertemu dengan ikan-ikan buas, tinggallah di sekitar siripnya, kau akan merasa aman. Lagi pula ikan-ikan itu hanya menjadi pemburu di saat kebutuhan untuk hidup menuntut. Sesudahnya mereka adalah makhluk jinak yang baik hati. Bayangkan, aku pernah hidup di sekitar mulutnya, toh ia tidak juga memangsaku. Jadi perihal dimangsa atau tidak dimangsa, di kedalaman sini sangat tergantung dari sejauh mana kebutuhan untuk tetap hidup itu menuntut.

Aku tidak mengerti duniamu. Dari ingatan yang samar-samar, aku cuma tahu sering kali keserakahan membuat manusia hancur, sering kali kegilaan terhadap kekuasaan membuat makhluk sesamamu lupa daratan. Mereka seakan hidup melayang. Dan ujung-ujungnya mengecilkan keberadaan yang lain. Celakanya, kalau itu kemudian meremehkan dunia di mana harusnya dia hidup dan berpijak.

Aku tak tahu apakah orang-orang macam ini mampu bertahan jika diberi pilihan hidup seperti diriku, makhluk rendahan yang tak mampu berpikir apalagi berkata-kata. Ceritaku dalam surat-surat itu sebagian mungkin berisikan kenangan-kenangan ketika aku hidup di daratan dulu. Itu semacam siasat agar aku tak sepenuhnya lupa. Mungkin sekadar latihan ingatan, jika kupikir tak ada sesuatu yang lebih penting untuk dikerjakan di sini.

Sesungguhnya kekasih, itulah caraku mengingatmu setiap waktu. Isyarat-isyarat yang kukirim semacam kail untuk merasakan harum daratan. Karena hanya dengan begitu seluruh masa lalu melumuri tubuhku. Ah, indahnya hidup di masa lalu, ketika jalan-jalan kampung belum diaspal, pohon-pohon belum ditebang, sungai-sungai belum tercemar, rumah-rumah belum kumuh, kendaraan-kendaraan belum mengotori udara, dan mal-mal belum menyedot uang kita.

Apakah kau masih menyimpan keindahan itu kekasih? Apakah kenyataan sudah jauh dari kenangan? Aku tahu kau pasti tak akan menjawab seluruh pertanyaanku. Karena kau berada jauh dari pikiranku. Tetapi nanti di saat laut surut aku akan ada di laguna-laguna. Mungkin kita bisa bertemu kekasih. Tak usah membawa bunga atau anggur dalam pertemuan kita nanti. Cukup datang dalam kedamaian hati dan perasaan bersahabat yang dalam. Mungkin itulah bekalku nanti mengembara di kedalaman, melintas palung dan celah karang. Salam kepada sanak kerabat yang masih mengingatku, meski dalam wujud yang jauh dari sempurna ini….

 

Yogyakarta, 2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler