Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “CUCU TUKANG PERANG” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Foto SIHALOHOLISTICK

Setiap hari lelaki itu berbaring di ranjang, makan di ranjang, baca koran di ranjang, apa pun di ranjang. Setiap hari pula seorang perawat yang rajin datang memberi layanan kemanusiaan: menata kamarnya, menyeka tubuhnya, mengantar sarapan, meletakkan selembar koran.

Di pengujung musim rontok itu ketika angin laut yang dingin berembus menembus tingkap-tingkap jendela, datang perawat baru—seorang pemuda yang ramah dan belum pernah dikenalnya. Pasti bukan sekadar basa-basi bila si pemuda mencoba tanya ini-itu tentang kesehatannya, asal kota tempat tinggalnya, pekerjaannya, dan beberapa hal yang ingin diketahuinya sebagai perawat baru di sanatorium kaum penderita cacat itu. Sambil tak lupa mengingat-ingat ajaran Zuster Kepala dalam kursus singkat beberapa waktu sebelumnya, ia ingin menjalin keakraban ketika memperkenalkan diri, justru pada hari pertama masa dinas sipilnya. Seperti ia lakukan pada penghuni kamar-kamar lainnya, ia memberi salam, membuka percakapan dengan maksud merebut hati lelaki itu agar dirinya dihargai sebagai perawat yang berwibawa dan tidak diremehken kecakapannya. Dengan takzimnya, ia menyapa, ”Selamat pagi, Meneer.”

”Pagi!” lelaki itu menjawab singkat dengan suara berat tanpa beranjak dari ranjang.

Si pemuda merasa kurang dihiraukan dan tak ingin diperlakukan begitu dingin pada hari-hari berikutnya. ”Sekali Anda membiarkannya, seterusnya akan diremehkan,” pesan Zuster Kepala kepada setiap perawat baru yang ditempatkan di bawah pengawasannya. Sejumlah pasien lain di kamar-kamar lain yang ia layani di sanatorium itu selalu menyambut salamnya dengan santun, lalu bangun, dan segera bangkit untuk berbenah diri menjelang jam sarapan. Tetapi, tidak demikian halnya dengan lelaki itu. Dan ia teringat nasihat Zuster Kepala agar tak membiarkan pasien bermalas-malas. Namun, tata tertib yang berlaku harus ditaatinya: ia tak diperbolehkan bersikap kasar, apalagi gusar, meskipun ada pasien yang rewel dan malas bangun pagi sebelum jam sarapan. Ia lantas coba mengajaknya berbicara sambil membenahi tempat sampah di pojok kamarnya.

”Musim rontok hampir berakhir Meneer, angin laut masih terus berembus dengan kencang, tetapi tiap pagi jendela mesti dibuka supaya udara di kamar menjadi segar.”

”Ya,” jawab lelaki itu, masih saja tidur membujur dengan muka menghadap ke atap.

Si perawat muda merasa tak cukup puas dengan sikap lelaki itu lantas coba mendesaknya, ”Pagi sekali saya sudah harus bangun, menggenjot sepeda dari rumah, empat kilometer jauhnya. Sampai di sini Anda masih enak-enakan meringkuk di bawah selimut. Ayo bangun, Meneer!”

”Ya,” mulut lelaki itu menyahut, tetapi tak sedikit pun membuka selimutnya.

Karena ruangan dalam kamar agak gelap lantaran gorden jendela belum dibuka, pemuda itu menyalakan lampu, menatap wajah si lelaki yang terlihat pucat di bawah sinar lampu kamar yang mendadak menyilaukan matanya.

”Sebenarnya ini bukan lapangan kerja yang cocok buat saya, Meneer. Tetapi, apa boleh buat, saya terpaksa melakukannya,” kata si pemuda.

”Ya,” sahut lelaki itu singkat.

”Kalau tidak, saya akan dipaksa menjalani dinas wajib militer.”

”Hhmm,” lelaki itu mulai beringsut dari balik selimut seakan-akan menaruh perhatian untuk menuruti perintahnya.

”Coba, Anda renungkan,” kata perawatnya, ”…perang dingin sudah berakhir, Pakta Warsawa sudah lama bubar dan kita hidup di zaman damai, tidak memerlukan rekrut serdadu baru. Lantas buat apa orang dipaksa menjalani wajib dinas militer? Cukup dilakukan oleh mereka yang sudah profi saja, bukan?”

>d 1<”Mmmm,” lelaki itu mengerinyutkan muka, mungkin tak senang mendengar obrolan seorang anak muda yang merasa sok tahu dan lebih tahu daripada dirinya.

Kendati bukan jawaban yang memuaskan, si pemuda terus saja mengobrol, lebih banyak tentang kisah dan keluh kesahnya sendiri sambil menata meja untuk menyiapkan sarapan setelah membenahi kamar lelaki itu.

”Delapan belas bulan saya harus melayani Anda di sini! Ini dinas sipil, gajinya kecil Meneer, tetapi bagi saya lebih manusiawi daripada jadi tentara!”

”Ya….”

”Nah, bayangkanlah, saya akan kehilangan satu setengah tahun. Saya terpaksa menunda studi saya di universitas!” bual pemuda itu semata-mata bermaksud mengangkat derajat dirinya sendiri sebagai pemuda yang berpendidikan dan bukan perawat yang sembarangan.

”Yaaa….”

”Anda tahu sekarang, kenapa saya berada di sini, kerja kasar seperti ini. Sebabnya, saya menentang perang dan menolak dinas wajib militer karena keyakinan agama saya.”

Lama ditunggunya reaksi lelaki itu atas kalimat-kalimat yang terus saja mengalir lewat bibirnya. Tetapi, tak ada juga tanggapan yang didengarnya, kecuali ya, ya, dan ya yang sangat menjemukan. Maka, dilontarkannya pertanyaan, ”Mungkin Anda pun pernah menjalani dinas militer?”

”Ya.”

”Ya? Tetapi, sebagai profesi, bukan?” terka si pemuda sambil menaksir usia lelaki itu: sekitar empat puluh.

”Ya.”

”Itu lain dengan wajib dinas militer seperti yang saya maksudkan.”

”Mmmm.”

Jawaban yang meragukan tentu saja. Dan ia mendapat kesan, lelaki itu tidak tuna telinga seperti ia duga dan dengan jelas dapat menangkap pembicaraan orang, tetapi ada kesulitan dalam hal bercakap-cakap. Ia lantas mengira lelaki itu pernah mengalami stroke dan sekarang sedang dalam proses penyembuhan. Aku bisa terus mengobrol tanpa mengharapkan jawaban dari dia, pikirnya.

”Perang memang mengerikan, Meneer. Saya tak tahu, Anda pernah berdinas di mana, dalam satuan apa. Tetapi, perang selalu berarti membunuh atau dibunuh. Itu saya tidak bisa. Membunuh lalat saja saya tidak tega. Tragisnya, perang masih juga terjadi sesudah Pakta Warsawa bubar. Di Serbia, Bosnia, Kroasia, Irak, misalnya….”

”Mmmm.”

Suara lelaki itu terdengar datar, hanya seperti gumam dan tetap tidak tanggap pada segala omongannya. Pemuda itu lantas benar-benar yakin lelaki itu belum mampu berbicara secara normal setelah mengalami stroke sebelum dirawat di sanatorium. Ia agak kecewa mengapa Zuster Kepala tidak memberi informasi tentang diri lelaki yang satu ini.

Segera ia memalingkan muka dan mulai sibuk mengelap meja, memindahkan piring dan cangkir kotor bekas sajian makan kemarin malam ke atas nampan. Seekor lalat hijau yang kebingungan lantaran tersekap sepanjang malam di kamar itu tiba-tiba terbang melesat sangat cepat, mendesing di sekeliling lampu. Ia mengejarnya hingga ke setiap penjuru kamar, tidak untuk membunuhnya, melainkan menangkapnya untuk dilempar keluar. Tetapi, akhirnya ia gagal menemukannya. Ia lantas beranjak ke jendela, tangannya merenggut-renggut sejalur tali yang menjulur di dekat kepala lelaki itu hingga gorden jendela tergeser ke satu sisi. Hati-hati dibukanya kedua daun jendela, matanya nanar mengedari seluruh ruangan, tetapi si lalat sudah minggat dan ia tak tahu binatang itu bersembunyi di mana.

”Anda tentu bisa melakukannya sendiri,” ujarnya. ”Tiap pagi jendela perlu dibuka supaya ada pergantian udara di kamar Anda. Tidak terlalu sukar, bukan? Cukup sambil berbaring saja.”

”Ya.”

”Terima kasih, Meneer! Lakukanlah mulai esok, buka jendela setiap pagi demi kesehatan Anda sendiri. Cukup beberapa menit saja, lalu ditutup lagi bila udara dingin.”

”Ya.”

”Ayo Meneer, bangun! Saya harus menyeka tubuh Anda, lantas mengganti seprai,” desak si pemuda yang mulai kehilangan kesabaran.

”Ya.”

Akhirnya berhasil juga perawat muda itu menyuruhnya bangun. Lelaki itu buru-buru mengangkat selimut dan beringsut, lalu duduk dengan kaki ongkang-ongkang di pinggiran ranjang. Si perawat mendadak terkesiap ketika matanya menatap kedua tangan lelaki itu. Ia merasa diguncang perasaan iba yang menggetarkan dadanya. Belum pernah ia melihat seorang manusia tanpa telapak tangan. Kedua ujung lengan lelaki itu tampak bulat dan mengilat dengan goresan-goresan bekas jahitan.

Naluri kemanusiaan tiba-tiba memaksa si pemuda membatalkan sederet pertanyaan dalam hatinya: apa yang terjadi pada kedua telapak tangannya, kapan itu terjadi, di mana? Ia tahu bekas-bekas jahitan itu telah menjawab sendiri: bukan pembawaan sejak lelaki itu dilahirkan.

Namun, pemandangan apa pun yang membuat hatinya kecut mendenyut-denyut, si perawat segera menyadari bahwa tugasnya harus segera diselesaikan. Diletakkannya sebuah ember berisi air hangat yang sudah disiapkannya di kamar mandi. Lantas memeras handuk yang berada dalam rendaman. Sambil menyeka muka dan dada lelaki itu, ia mulai bicara lagi,

”Meneer, saya rada neuwsgierig sebenarnya, apakah Anda pernah berdinas di Bosnia?”

”Ya.”

”Ya? Saya sendiri menentang perang, Meneer. Perang adalah cara paling gila dalam memecahkan perselisihan antarmanusia. Kakek saya tukang perang Meneer sampai akhir hayatnya masih mengharap saya berangkat ke medan perang di Maluku Selatan. Konon, tentara Ambon memang tukang perang, Meneer. Tetapi, kakek saya lupa, di zaman dia dulu, mereka berada di bawah perintah penjajah. Suku Ambon sendiri adalah pemeluk agama yang kusuk. Mereka adalah rakyat yang melarat tetapi berjiwa damai.”

”Ya.”

”Saya menentang perang Meneer, apalagi melawan bangsa sendiri. Saya ingat gambar kuburan massal yang baru kemarin dulu dibongkar di Kosovo. Delapan ribu orang Bosnia dibantai tentara Serbia! Tetapi Anda tidak berada di front Bosnia, bukan?”

”Mmmm….”

”Mereka memerkosa wanita, Meneer. Mereka bahkan melakukannya di depan suami dan anak-anak. Ribuan orang yang tidak berdosa juga dibantai. Sering kali korbannya malah bekas kawan sekolah atau sesama tetangga. Bagaimana bisa manusia sekejam itu!”

”Mmmm….”

”Saya kira bukan hanya Slobodan Milosevic yang bertanggung jawab. Sekarang dia berada dalam tahanan Mahkamah Internasional di Den Haag. Tetapi, Karazic dan Jenderal Mladic masih terus buron, belum tertangkap sampai sekarang. Pasukan Uni Eropa ikut bertanggung jawab untuk terjadinya masaker itu. Tragisnya, di Sebreniza pasukan itu justru tentara Belanda, Meneer….”

”Mmm…, ya.”

”Mereka kelewat percaya pada budi baik Karazic dan Mladic. Lantas menyerahkan nasib warga Sebreniza kepada tukang-tukang jagal itu. Delapan ribu orang Islam, Meneer! Mereka menjagalnya hanya karena perbedaan ras dan agama. Kebodohan yang keterlaluan di pihak pasukan Belanda, bukan?”

”Ahh.”

Tentu saja perawat muda itu terkejut mendengar reaksi singkat dari mulut lelaki itu. Ia lantas bungkam, seperti baru sadar, lelaki itu membiarkan dirinya membual terus tanpa dijawab dengan serius kecuali dengan suara ahh yang berarti membantah. Ia lantas jadi malas untuk mengajak lelaki itu berbicara berlama-lama. Untuk itu ia sendiri tak punya cukup waktu. Beberapa jompo lainnya mesti juga didatanginya satu demi satu, kamar demi kamar. Cepat-cepat ia rampungkan menyeka tubuh lelaki itu, menukar piyamanya, dan mengganti seprai.

”Maafkan saya,” katanya sambil meletakkan koran de Telegraaf terbitan hari itu di atas ranjang. ”Saya terkadang lupa, tidak semua orang di negeri ini suka bicara tentang kekejaman. Tapi lihatlah gambar kuburan massal yang dibongkar itu di halaman dua.”

Lelaki itu menatapnya sambil kembali menelentang di ranjang. Si perawat belum juga merasa puas dengan sindiran yang ia lontarkan. Dengan menenteng sekantong sampah dan nampan berisi cangkir dan piring kotor, ia melangkah keluar dari kamar. Tiba-tiba didengarnya suara pukulan-pukulan di meja. Ketika ia berpaling, dilihatnya kedua ujung lengan lelaki itu menjepit lempitan koran dan dengan cekatan memukul-mukul meja.

”Lihat ini lalat!” kata lelaki itu. ”Saya sudah membunuhnya karena Anda tidak tega melakukannya. Tidak terlalu sukar, bukan? Cukup sambil berbaring saja.”

”Oh! Saya tidak mengira Anda mampu melakukannya,” si pemuda nyengir karena merasa disindir. Ia melangkah balik ke dalam, merenggut kertas tisu dari saku, dan membersihkan bangkai lalat yang muncrat di atas meja.

”Ah, Anda tak tahu apa yang terjadi di Sebreniza,” ujar lelaki itu. ”Tiap jengkal tanah berisi ranjau, tak semuanya berhasil dijinakkan. Saya kehilangan dua tangan. Tetapi, perang perlu dilanjutkan.”

”Apa? Anda bilang apa, Meneer?”

”Perang mesti dilanjutkan! Hanya dengan perang kita bisa melawan kebiadaban. Anda kira Milosevic dan pengikutnya akan berhenti melakukan masaker tanpa dilawan dengan perang?”

”Ya, tetapi….”

”Tetapi, kerja sipil gajinya kecil, bukan? Lebih manusiawi daripada jadi tentara, kata Anda.”

”Ya.”

”Nah, tolonglah Anda ambilkan sarapan saya. Siapa sebenarnya nama Anda?”

”Patti Sahetapi Meneer, cucu tukang perang. Panggil saja Patti.”

Pemuda itu melangkah keluar, mulutnya diam, tetapi menggumam dalam hati, ”Dinas sipil gajinya kecil!” **

 

Paran, 07-02-2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler