Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “ISTRI” KARYA WILSON NADEAK

Foto SIHALOHOLISTICK

“Satu tahun adalah waktu yang cukup untuk mencintai dan melupakan, Nak. Sudah saatnya engkau memikirkan janji pernikahanmu yang dahulu, ’sampai kematian memisahkan’ dan kematian itu sudah terjadi. Kini saatnya bagimu untuk melupakan dia yang sudah pergi dan memikirkan masa depan anak-anakmu. Rita dan Joko memerlukan seorang ibu untuk mengasuh mereka pada masa remaja mereka. Seorang ibu yang mau mengasihi mereka dan mendampingimu.”

“Ibu, waktu setahun ter- lalu singkat untuk melupakan.”

“Kau tidak boleh larut terus di dalam duka.”

“Tidak, Bu. Pekerjaan menuntutku untuk sibuk. Itu pun, upaya untuk melupakannya. Semakin sibuk aku, semakin dalam bayang-bayang wajahnya di dalam lubuk hatiku. Ia telah menjadi bagian dari diriku, dan anak-anakku. Justru aku merasa takut untuk memberi ibu tiri bagi mereka, yang cinta kasihnya tidak sebanding dengan ibunya. Tidak ada yang salah dengan janji pernikahan itu. Kematian bukanlah berarti harus menjadi izin untuk menikah kembali, Bu.”

“Edu,” kata Ibu, “usiamu belum tua, Nak. Usia empat puluh adalah usia memulai kehidupan baru. Jika kau masih merindukan masa lalu kau tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang duka. Contohnya saja, kau masih menggantung potret itu di dekat jam dinding. Kau masih menaruh kursi goyang itu, di sudut, untuk mengingatkanmu kepada almarhum istrimu.”

“Apakah itu salah, Bu?”

“Tidak, Edu. Tidak salah. Tetapi itu selalu membuka luka lama.”

“Luka lama? Tidak, Bu. Cintaku ada di sana. Wajah itu selalu memberiku dorongan untuk mengasihi dan mencintai anak-anakku. Wajahnya juga ada pada kedua anakku. Kerling Rita dan senyum Joko, merupakan bayang-bayang dirinya, yang selalu membahagiakan aku. Kursi itu, menjadi lambang kesetiaan cintanya kepadaku. Apabila ia letih, ia duduk di situ. Dan menjelang ujung derita karena penyakit kanker itu, ia duduk di situ, menahan keperihan sambil bertutur kepadaku: Kalau ajal telah menjemputku, carilah ibu yang dapat mengasihi anak-anakku…. Kuingat kata-kata itu diucapkan dalam keperihan penyakit yang merundungnya, Bu.”

“Nah, ia selalu memikirkan kebahagiaanmu dan anak-anakmu, Nak. Itulah hati seorang ibu. Ia mau berbagi kesetiaan dengan perempuan lain. Hati ibu yang tidak egois, Nak. Hati lapang seorang ibu, kasih sepanjang jalan. Ia pun memikirkan kebahagiaanmu. Apabila ada seorang perempuan yang engkau kasihi mendampingimu yang dapat merawat anak-anakmu, hatinya sangat bahagia. Sampai saat-saat terakhir dari kehidupan ini, seorang ibu selalu memikirkan kebahagiaan orang yang dikasihinya, sekalipun ia sudah tiada.”

“Justru kata-katanya yang terakhir itu yang membuatku resah, Bu. Rasanya, ia selalu ada di sampingku. Ia tidak pernah mati di dalam cintaku. Bagian dari hidupnya terekam di dalam sanubariku. Bayang-bayang itu, senantiasa membayangiku.”

“Nak, kau harus hidup di dalam realitas. Ia sudah tiada. Kau harus berani menjalani kehidupan ini tanpa bayang-bayangnya yang membiusmu. Misalnya, coba turunkan foto yang di dekat jam dinding itu, masukkan ke dalam album. Itu bagian dari masa lalumu yang indah. Istrimu sudah tiada. Yanti sudah berlalu, Nak.”

“Tetapi ia selalu lekat di dalam hatiku.”

“Kau memerlukan pendamping yang hidup, yang nyata ada, yang dapat merawat dan mengasihimu dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan. Nanti, anak-anakmu akan membentuk dunia mereka sendiri, dan engkau akan berhadapan dengan kesunyian, dan kesendirian.”

“Ibu terlalu memikirkan aku dan anak-anakku.”

“Itu sebabnya Ibu ada bersamamu di sini. Tetapi Ibu tidak selamanya ada di sini. Ayahmu perlu diperhatikan walaupun selama berbulan-bulan ia berada di rumah kakakmu. Kami merasa bahagia di tengah-tengah kalian untuk sekian lama, dan kami pun selalu memiliki kerinduan, berkumpul bersama, karena rumah adalah pelabuhan yang paling teduh bagi setiap orangtua.”

“Ibu sudah bosan di sini? Aku patut berterima kasih karena Ibu sudah berbulan-bulan di sini, bersama kedua anakku. Terima kasih, Bu.”

“Masalahnya bukan di situ, Nak. Bukan soal bosan atau tidak. Ada sesuatu yang lebih penting. Bukan untuk merenggutkan kenangan cinta kasihmu kepada almarhumah istrimu, tetapi untuk membangkitkan perhatianmu kepada masa depan.”

“Terlalu pentingkah untuk menikah kembali?”

Ibu duduk terhenyak. Ia menatap foto almarhumah yang tepat berada di bawah jam dinding. Aku menaruhnya di situ, untuk mengenangnya setiap waktu. Waktu untuk bangun, waktu untuk makan, waktu untuk berangkat kerja, waktu untuk bersama-sama dengan anak-anak dan istri, dan waktu untuk berangkat ke tempat tidur.

“Kita yang mengatur waktu, Nak. Bukan waktu yang mengatur kita. Tuhan memberi waktu bagi kita untuk menabur, waktu untuk memelihara, dan waktu untuk menuai. Tuhan memberi kita waktu untuk mengasihi dan dikasihi….” Ia terdiam sejenak. Dalam usia menjelang tujuh puluhan Ibu masih bijak. Suasana pikun belum tampak. Mungkin karena ia mantan perawat maka makna kehidupan ini sangat berarti baginya. Ia terlalu sering menghadapi orang yang sakit ringan dan parah, bahkan manusia yang sekarat. Petuah-petuahnya masih masuk akal. Berbeda dengan ayah yang lebih banyak diam walaupun dalam diamnya tampak arif karena tidak suka mencampuri masalah keluarga anak-anak. Kemudian ia melanjutkan petuahnya. “Nak, Ibu memiliki sebuah saran untukmu, mungkin saran terbaik bagimu….”

“Apakah itu?” tanyaku.

“Kau tidak tersinggung kalau Ibu mengatakannya?”

“Seorang ibu selalu memikirkan yang terbaik untuk anaknya. Bukankah begitu?”

“Baiklah. Langsung saja kepada inti masalah. Dahulu, adik istrimu bersama-sama dengan kalian di sini. Kalian sudah menyekolahkannya ke perguruan tinggi dan kini ia sudah hampir selesai. Bagaimana kalau engkau meminangnya untuk menggantikan posisi almarhumah?”

Aku terkejut. Belum pernah timbul di dalam benakku pikiran yang demikian.

“Turun ranjang?” tanyaku.

“Ya. Itu lazim. Mungkin mertuamu dapat mempertimbangkannya. Kulihat mereka sangat dekat dengan anak-anakmu, dan mereka pun sangat sayang kepadamu.”

“Hmm. Aku menyekolahkannya agar ia mampu menciptakan masa depannya. Tentulah ia memiliki cita-cita. Kini hampir tamat. Tetapi sayang sekali, Bu. Itu tidak mungkin.”

“Mengapa tidak?”

“Satu setengah tahun yang lalu ia memperkenalkan pacarnya kepada kami. Istriku dan mertuaku sangat setuju hubungan mereka. Ibu, biarkanlah Juwita membentuk masa depan rumah tangga mereka….”

“Baru pacaran, bukan? Kukira ia sangat sayang kepada anak-anakmu. Pacaran bukan berarti sudah seratus persen untuk menikah. Cobalah utarakan dahulu, mana tahu ada peluang untukmu. Demi anak-anak, itu jalan yang terbaik.”

“Bu, kita membicarakan kata hati. Sebelum kita bersinggungan dengan kata hati orang lain, sebaiknya kita berhati-hati. Kita tidak dapat membebankan masalah kita kepada orang lain, sekalipun itu kerabat dekat kita, dengan membenturkannya dengan cinta kasih yang telah dibentuk mereka untuk sekian lama. Sebab dengan demikian kita menimbulkan luka hati baru yang kelak kemungkinan menimbulkan bisul-bisul yang terpendam. Sebaiknya kita jangan mengorbankan orang lain demi kebahagiaan kita sendiri.”

“Kau belum mencobanya.”

“Tidak mampu melakukannya. Aku melihat mereka begitu serasi. Calon suaminya sudah memiliki pekerjaan yang tetap. Mereka tampaknya sudah siap untuk membentuk rumah tangga mereka sendiri. Aku tidak sampai hati merebutnya, demi beban keluargaku.”

“Kau yang menyekolahkannya. Kau berhak.”

“Tidak, Bu. Aku hanya membantunya untuk menyiapkan masa depannya. Tidak lebih dari itu. Tak baik menagih apa yang sudah diberikan.”

“Kau keras kepala seperti ayahmu.”

“Ayah seorang yang baik, bukan?”

“Tidak mau menerima pendapat orang lain. Maunya menang sendiri.”

“Ibu merasa bahagia?”

“Tentu saja.”

“Dengan perilaku dan tabiat ayah?”

“Itu hanya satu bagian dari wataknya yang lain.”

“Kalau begitu, keras kepala dalam satu hal tidak apa-apa, bukan?”

“Dalam hal mengasuh anak sebaiknya kau realis saja.”

“Tidak mudah menemukan perempuan seperti ibu anak-anakku, Bu. Sulit mencarinya. Biarkanlah waktu lebih lama bagiku, setelah anak-anak dapat menimbang masa depan mereka, dan lebih dewasa untuk menerima perempuan lain di tengah-tengah mereka, sebagai ibu dengan segala kebaikan dan keburukannya.”

“Kau merasa itu kesetiaan kepada almarhumah istrimu?”

“Barangkali ya, barangkali tidak. Kadang-kadang terhadap diri sendiri kita dapat bimbang.”

Ibu geleng-geleng kepala. “Berapa ratus hari lagi kau membiarkan kesunyian dalam hidupmu?”

“Anak-anak menjadi pangkal kebahagiaan dan kesibukan bagiku, Bu. Ibu lihat, kami bertiga membagi tugas di rumah ini. Masing-masing mengurusi tanggung jawabnya. Biar mereka belajar mandiri.”

“Nak, jika kau tidak keberatan, waktu anak-anakmu libur sekolah, minggu depan, mereka ikut Ibu. Boleh, kan?”

“Nanti kutanya mereka, kalau mau.”

Minggu berikutnya kedua anakku berlibur di rumah kakek dan neneknya.

Ketika segalanya kujalankan sendiri, aku merasa apa yang dikatakan oleh Ibu benar adanya. Belum pernah aku ditinggalkan sendiri di rumah. Di satu pihak, aku merasa bebas pulang dari kerja, atau makan di mana saja. Tetapi di pihak lain, kesunyian dan rasa takut sendiri mulai mencengkam diriku.

Pada suatu malam, seusai membaca beberapa bab buku mengenai Perang Dunia II, aku tertidur sambil tersandar di atas bantal yang menggalang tubuhku di kepala tempat tidur. Lampu baca masih menyala ketika aku mengantuk keras dan terlelap. Tidak berapa lama kemudian aku mendengar suara orang yang menangis. Makin lama semakin keras di tambur telingaku, sehingga aku terbangun. Mimpikah? Tanyaku kepada diriku sendiri. Tidak. Suara tangisan itu dari ruang keluarga. Aku membuka mata dan memasang kuping. Ya, ada suara tangisan.

Aku bangkit dari tempat tidur dan perlahan membuka pintu. Suara itu semakin jelas. Dari sudut ruangan, dari kursi goyang yang kini menghadap ke dinding. Ada seseorang yang duduk di situ. Aku bingung bagaimana orang itu bisa masuk ke dalam rumah. Bulu romaku berdiri, dan rasa takut itu semakin menguasai diriku. Untuk mengalahkannya, aku berbicara agak keras.

“Siapa kau?”

Kursi goyang bergerak dan orang itu memandangku. Ya, Tuhan. Mengapa ini bisa terjadi?

Perempuan itu merunduk sambil mengucurkan air mata, jatuh di pakaiannya yang putih.

Aku bertanya lebih keras lagi, “Siapa engkau?”

Perempuan itu mengangkat kepalanya dan menatap mukaku. Oh, Tuhan. Aku berpegang ke pintu. Ia menjawab, “Aku istrimu. Lihatlah pakaian pengantin ini, yang kupakai dahulu. Aku kasihan kepadamu dan kepada anak-anak kita. Aku ingin merawat mereka. Kau seorang suami yang baik,” katanya sambil berlinangan air mata.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kau bukan istriku!”

“Aku istrimu. Kita menikah tanggal anu. Lihatlah pakaianku ini….” Dan kemudian ia menuturkan riwayat pernikahan yang dahulu. “Bukankah betul begitu?” katanya lebih lanjut. “Aku tahu perjuanganmu, kasihmu kepadaku. Itu yang membuat aku datang padamu….”

Apa yang dikatakannya, betul. Riwayat pernikahan itu. Dan wajah itu! Pakaian pengantin itu. Serta suara itu!

“Tidak! Tidak!” kataku. “Kau bukan istriku. Pergiii! Pergi dari sini!” teriakku sekeras-kerasnya.

Ia berdiri dan kemudian menunduk, menghapus air mata. Dengan langkah gemulai ia menuju pintu. Langkah kakinya persis sama dengan langkah kaki istriku. Dengan terisak-isak ia berjalan dan kuteriaki lebih keras lagi, “Pergiii!”

Kudengar suara pintu yang terbuka dan tertutup. Beberapa menit kemudian aku memeriksa pintu, semua terkunci.

Aku kembali ke tempat tidur. Kuminta Tuhan dalam doa, mengirim malaikat menjagaiku, sepanjang malam. Aku tak lagi berani sendiri.

 

Bandung, 8 September 2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler