Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “PENGEMBARAAN SARIDIN” KARYA S PRASETYO UTOMO

Foto SIHALOHOLISTICK

Tak ada lagi yang bisa dilacak Saridin. Ia pulang dengan hampa harapan. Tak ditemukan siapa pun di rumah. Telah beberapa hari ini ia ditinggalkan istri. Untuk masuk ke dalam rumah, ia tak dapat. Rumahnya sudah disita bank. Ia termangu di pelataran. Langit memutih. Burung-burung sriti menyambar-nyambar. Gerimis tipis menerpa puncak hidungnya. Tubuhnya menggigil.

Sendirian, tanpa cahaya, Saridin terdiam sebeku tugu. Ia kehilangan istrinya, yang memilih lari dengan lelaki lain. Ia kehilangan rumah—yang selama ini menjadi tempat bernaung. Perusahaan pun telah bangkrut, dan seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang murung, sedih dan tak berdaya.

Tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang sinis, cahaya mata yang bersorak. Dada Saridin terberangus. Ia tak meladeni ejekan tetangga sebelah rumah. Saat gerimis turun mulailah ia meninggalkan pelataran rumah, dan tak berpikir untuk membawa apa pun, kecuali dirinya sendiri.

Hingga gerimis reda, langit terang, dan matahari bercahaya, Saridin terus melangkah. Ia merasakan tubuhnya keropos. Tak lagi bisa mengingat apa pun, kecuali berjalan kaki. Meninggalkan kota, merambah desa, dan memasuki hutan belantara. Hutan yang basah, gelap, dipenuhi binatang melata, dan burung-burung berkicau yang tak tampak.

Dia duduk di tepi danau. Memandangi air yang tenang. Langit meredup. Matahari semerah ludah pengunyah sirih. Sebundar penampi. Mengendap perlahan-lahan. Cahayanya memantul di atas danau, dan perlahan-lahan lenyap di balik rerimbunan pohon-pohon yang gelap. Kelambit-kelambit dan kelelawar meninggalkan gua persembunyiannya, memenuhi langit.

Pada saat matahari tak lagi memerah di lengkung langit, Saridin belum menyadari akan dirinya sendiri. Dia duduk berlama-lama di tepi telaga, di sebuah hutan yang tak dikenalinya. Memang sesekali berkelebat wajah Savitri, istrinya, yang suka mengajaknya duduk berdua di pantai, berdiam diri, saat matahari tenggelam, dan langit meredup perlahan-lahan. Mereka menanti langit timur memunculkan rembulan bundar, dan cahayanya jatuh di atas laut tanpa gelombang, membias di ujung tiang-tiang perahu nelayan yang menembus batas cakrawala.

“Aku ingin punya rumah di tepi pantai,” kata Savitri, si penari yang sering memerankan tarian bertopeng di hotel. Savitri memancarkan daya pikat di mata lelaki yang memandanginya. Perempuan itu begitu banyak menggoda lelaki, luwes dan pandai berdandan. Memancarkan pesona sekalipun di luar panggung.

“Kelak kalau perusahaan kita semakin besar, kita dapat membuat rumah di tepi pantai, yang akan kita kunjungi pada waktu berlibur seperti saat ini,” kata Saridin, meyakinkan Savitri.

Duduk, berdiam diri, dalam gelap hutan, Saridin kembali merenungkan keanehan kebiasaan kepergian Savitri yang berganti-ganti lelaki menjemput. Berganti-gantian mobil datang pada sore hari dan mengantar kembali keesokan harinya. Ia kehilangan akal untuk melacak apakah istrinya benar-benar menari di hotel, atau hanya sekadar pergi kencan dengan lelaki lain.

Ia tak dapat menandai harum tubuh istrinya, apakah sehabis menari, atau sehabis berkencan dengan lelaki lain. Hingga ia selalu menemukan seorang lelaki yang sama, yang terus-menerus datang menjemput dan mengantar pulang keesokan harinya. Savitri biasa menari dengan dua topeng. Topeng yang terpasang di wajah, dan topeng yang terpasang di belakang kepala 1), yang menampakkan dua watak, dua gerakan tari, dan dua ruh yang merasuk ke dalam tubuhnya. Savitri bisa menari dengan posisi tubuh membelakangi penonton. Topeng yang terpasang di belakang kepalanya memberi kesan dia menari berhadap-hadapan dengan penonton.

Kini Saridin mulai bisa memahami makna dua topeng yang terpasang di wajah dan di belakang kepala Savitri. Di wajah terpasang topeng wanita yang lembut, yang memberinya gerakan lamban, ningrat, dan perenungan maha dalam. Di belakang kepala terpasang topeng wanita muda penuh daya pikat, yang memberinya gerakan yang terbuka, cepat, dan menyentak-nyentak berirama.

Merenungi diri sendiri, di tepi telaga, dalam pantulan rembulan, Saridin seperti melihat bayangan Savitri menari, terus menari, dan menggerakkan nalurinya. Saridin cuma memandang samar-sama, tak pernah bisa menangkap wajah Savitri yang sesungguhnya. Wajah itu bertopeng ganda. Ia tak pernah bisa dimiliki salah satu di antara dua perangai itu.

“Aku bersedia menikah denganmu. Tapi kau tak akan pernah bisa memilikiku,” kata Savitri bercanda, sebelum mereka menikah.

Di permukaan air telaga, dalam bayangan cahaya bulan, Saridin merasa memandang wajah Savitri yang menari, bergantian dalam dua perangai topeng. Tarian itu seperti meledek. Tarian yang menggoda. Tarian dengan gerakan tangan mengibaskan kain yang dapat melemparkannya. Ia terpelanting, dan tersungkur kibasan kain itu.

Saridin bangkit, tanpa arah terus melangkah, dan teringat akan bekas sekretaris perusahaannya. Seorang gadis—yang lebih banyak memendam perasaan—senantiasa bersikap santun. Senyuman selalu dipendam, dengan pipi tertakik lesung pipit, samar, tak pernah jelas benar. Sepasang matanya yang cemerlang itu tak pernah mau memandangnya berhadap-hadapan. Mukanya selalu disembunyikan, dan memendam aura kekaguman. Tanjung, gadis itu, selalu menjaga diri. Tak pernah menjengkelkannya. Ia hadir paling pagi. Pulang paling akhir.

Yang menarik dari Tanjung adalah matanya. Mata itu menjadi surga bagi lelaki. Teduh. Memancarkan rasa nyaman. Tapi gadis itu selalu menyembunyikan matanya. Saridin tak pernah melihat mata itu terbuka menatapnya. Mata itu tersembunyi di balik wajah yang menunduk, dagu yang merapat ke dada.

Bayangan wajah Tanjung samar-samar singgah di benak Saridin. Ia tak pernah mengagumi wanita yang menyembunyikan wajahnya. Ia mengagumi wanita yang menampakkan aura wajahnya dalam denyar cahaya yang menyergap lelaki dalam pesona yang melumpuhkan. Ia berhadapan dengan Savitri dalam kelumpuhan yang penuh pemujaan. Tapi Tanjung, gadis itu serupa dara di balik tirai 2), yang malu-malu menampakkan diri. Tirai itu telah menjelma selubung rahasia.

Saridin melangkah di bawah bayang-bayang bulan purnama, menyusuri jalan mendaki. Ia tak pernah tahu, bila ia sedang mendaki sebuah gunung. Samar-samar kabut mulai menyelubungi hutan. Dingin. Menggigilkan. Tapi Saridin sudah tak peduli. Ia terus melangkah. Terus mendaki.

Lelaki itu hanya memperturutkan langkah kaki. Hingga hutan yang didakinya mulai jarang pepohonan. Tak lagi pekat batang-batang pohon dan sulur-sulur daun yang menjerat lehernya. Ia leluasa melihat bulan di langit. Pohon-pohon rimbun yang meneteskan embun mulai menghilang. Hembusan kabut alangkah menggigilkannya. Ia tetap mengikuti jalan setapak yang dilaluinya. Tak diketahuinya jalan itu mengantarkannya ke mana.

Ia merambah daerah berbatu, berlumut, dan dingin perdu. Fajar mulai menampakkan biasnya di langit. Ia bersua seorang lelaki tua yang sepasang matanya menyimpan ketenteraman semesta. Lelaki kurus itu duduk di atas batu besar. Bercelana hitam komprang. Berikat kepala. Berdiam diri. Memandangi Saridin dalam diam, dengan mata sedingin kabut.

“Bagaimana kau bisa tersesat kemari?” tanya Mbah Sarijan, lelaku tua itu, dengan lembut dan membuka kesadaran Saridin.

“Aku hanya ingin berjalan kaki. Lain tidak.”

“Barangkali memang takdir kita untuk bersua di sini. Kau serupa layang-layang putus.”

“Boleh aku terus berjalan, mencari cahaya fajar?”

“Kembalilah. Di bumi ini selalu ada cahaya matahari. Hatimu selama ini tertutup kabut. Kembalilah! Di puncak gunung hanya semburan awan panas.”

Saridin memandangi Mbah Sarijan. Lekat. Dalam. Ia belum pernah menemukan lelaki setenang itu. Lelaki yang duduk di batu, di lereng gunung, dan tak memerlukan teman. Saridin menjadi sangat penurut. Berhadapan dengan lelaki tua itu, ia tak ingin membantah. Tak ingin menentang. Ia takluk. Dan betapa ketenangan dalam kesendirian lelaki tua itu telah menyatu dengan gunung.

Saridin membalikkan tubuh. Melangkah turun gunung. Tak berani menoleh ke arah Mbah Sarijan. Ia memperturutkan langkah kaki, sebagaimana ia memasuki hutan, duduk di telaga, dan mendaki gunung hingga bertemu Mbah Sarijan—lelaki tua yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Lelaki tua itu menghentikan langkah kakinya. Bahkan lelaki tua itu memintanya kembali ke kota. Aneh. Ia begitu saja memperturutkan kemauan Mbah Sarijan, menemukan harapan baru, yang mungkin akan mengejutkannya. Tapi ia masih berharap bahwa yang akan ditemuinya adalah Savitri, perempuan dengan tarian topeng, membawakan gerakan-gerakan lembut, penuh perenungan, dalam kesantunan yang menghanyutkan.

Langit telah menjadi terang. Tapi Saridin sedang memasuki hutan yang pekat. Hutan yang menyesatkannya dalam pengembaraan. Kini ia turun dari lereng gunung setelah bertemu Mbah Sarijan. Sesekali mendengar suara gamelan di kejauhan. Membayangkan Savitri menari dengan topeng perempuan santun—bukan perempuan penggoda. Kembali lagi suara gamelan itu hilang. Juga bayangan topeng Savitri lenyap dari pandangan matanya.

Tubuh Saridin terhuyung-huyung. Letih, lapar, dan sehari-semalam tak memejamkan mata. Melewati telaga, dia tertatih-tatih. Hutan sudah jauh di belakang punggungnya, dan dia memasuki desa. Gerimis turun. Hari sudah menjelang petang. Dia berharap pada saat pertama bertemu manusia, semoga Savitri yang menjemputnya. Menghampiri dengan suara gamelan dan tarian lembut.

Langkah Saridin bergoyang-goyang. Langkahnya kadang tersandung batu. Jari kakinya mengelupas dan berdarah. Dibiarkan saja darah itu menetes, tercecer-cecer di atas rerumputan. Dia ingin bertemu Savitri, yang menari dengan topeng di wajahnya. Lembut. Hangat. Penuh penerimaan.

Tatapan Saridin buram, dan bahkan mengabur. Ia tak lagi jelas melihat wajah manusia. Ia menatap setiap wajah bertopeng. Dan setiap orang menari. Dia jadi bimbang. Tapi terus berjalan. Tak lagi bisa membedakan orang itu lelaki atau perempuan, tua atau muda. Orang-orang itu bertopeng. Semua bertopeng. Semua menari. Semua menghampirinya. Samar. Mirip bayangan. Menghitam.

Seorang perempuan muda mengikuti Saridin. Dalam pandangan Saridin, perempuan itu menari. Mengikuti suara gamelan. Senja mulai surut. Saat Saridin tak lagi kuat melangkah, terantuk batu dan tersungkur, perempuan itu memekik.

Saridin tak mendengar suara apa pun.

Pada saat pertama kali Saridin membuka mata, dia memandang langit-langit kamar yang asing. Mendengar suara yang lirih di dekatnya. Kali ini suara itu sangat dikenalnya. Seorang perempuan muda berada di dekatnya. Ia tak lagi memiliki harapan pada siapa pun. Ia sadar, dirinya sedang tak dihadapkan pada suatu pilihan. Malam telah sangat pekat di luar rumah. Dan perempuan itu tersenyum. Sekali ini perempuan itu menebarkan cahaya mata dengan begitu dekat begitu hangat di wajahnya.

Mata itu memerangkap jiwa Saridin. Mata seorang gadis yang selama ini menghindar memandanginya. Kini mata itu terbuka dan melenyapkan tabir yang menyelubunginya.

“Kau tentu berharap Savitri ada di sisimu sekarang,” tegur Tanjung, gadis itu, menyingkap rahasia hati Saridin.

Saridin menggeleng. “Tidak lagi.” Ia merasa aneh. Cahaya mata perempuan itu hangat dan membuka aura telaga. Tubuh Saridin begitu kotor, begitu letih, ingin mencebur ke dalam telaga cahaya mata itu.

Dalam hati Saridin tersimpan rahasia mengenai topeng-topeng yang dikenakan Savitri. Topeng-topeng itulah yang menyembunyikan Savitri dalam kegelapan. Malam hari, ketika lakon dimainkan, ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-topeng yang mendesah, yang berteriak, yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu. 3)

 

Pandana Merdeka, Juni 2006

1) Tarian yang biasa dibawakan Didik Nini Thowok.

2) Penggalan sajak “Pada-Mu Jua”, Amir Hamzah.

3) Larik sajak Sapardi Djoko Damono, “Topeng”, termuat dalam Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler