Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “RETAKAN KISAH” KARYA PUTHUT EA

Foto SIHALOHOLISTICK

Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya, sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus hidup, tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu adalah dua hal yang terpilin dan sama-sama berdebu.

Dengan apa dan bagaimana ia memanggil, apa saja yang masih bisa dipanggil, apa saja yang masih bisa tapi tidak ingin ia panggil, untuk apa, dan bagaimana mengisahkannya, adalah sederet hal yang penuh dengan kerumitan masing-masing. Ia lalu lebih sering diam. Diam, kemudian menjadi sebuah tenggang yang sangat bermakna, sebuah jeda yang sesungguhnya tegang.

Bagiku sendiri, mendengarkannya, juga tidak kurang bermasalah. Jarak psikologi yang jauh, tafsir yang berkerumun, bahasa yang kabur, strategi bercerita yang sering menimbulkan tanda tanya: apakah ia sedang melakukan sebuah strategi tertentu untuk menghadapi masa lalunya, ataukah karena ia sedang berhadapan dengan orang-orang di luar dirinya?

Di awal percakapan, kalimat yang lebih banyak muncul adalah, ”Saya sudah tidak mampu lagi mengingat”. Kalimat itu terus menimbulkan tanda tanya di kepalaku. Apakah kalimat itu berarti bahwa ia memang benar-benar tidak mampu mengingat, ataukah karena ia tidak mau menceritakan satu kejadian karena takut risiko tertentu, ataukah karena sebetulnya bukan itu yang ingin ia ceritakan.

Lalu aku tepis seluruh syak yang muncul. Dengan sabar aku menunggu sulur-sulur cerita yang keluar dari rekahan waktu yang gelap dan dalam. Tugasku adalah belajar untuk diam, mendengarkan, menyimak, lalu menyodorkan ke hadapan orang banyak tentang suara yang lirih. Ada suara yang mungkin dari dulu hanya dianggap dengungan, sayup dan lamat-lamat. Dan banyak telinga sudah diproteksi, siap menyeleksi apa saja yang boleh didengar, dan apa saja yang tidak boleh didengar. Tapi suara-suara seperti ini tidak akan bisa ditahan, karena sudah banyak yang mulai bersuara dan sudah banyak yang mulai mau mendengar.

Rekahan waktu lambat laun mulai mengeluarkan sulurnya dari wilayah yang paling gelap. Suara lirih mulai terdengar. Dan suara seperti ini akan membuat perhitungan sendiri.

>diaC<

Hampir semua hal yang mengelilinginya terlihat muram. Sepasang mataku butuh waktu yang agak lama untuk menyesuaikan dari terik yang memanggang di luar, dengan cahaya lamat yang ada di dalam rumahnya. Ruangan ini berisi seperabot kursi-meja yang sudah tua dan tidak jelas warnanya, sebuah tempat tidur yang tergeletak di lantai, dan hanya ada dua hiasan yang menempel di dinding: potret seorang laki-laki, dan sebuah lukisan kaca.

Seluruh warna yang ada di dirinya adalah warna yang luntur dan kusam, seperti warna jarik dan kebaya yang dikenakannya. Mata yang menyempit, berkaca sekaligus berkapur. Suara yang groyok, kadang lirih, kadang membesar tanpa irama. Juga tubuh yang gampang gemetar, tubuh yang jauh lebih tua dari usianya yang sesungguhnya. Apalagi, kalau bukan karena penderitaan?

Tapi, ia terlihat cukup tenang. Memperhatikan baik-baik ketika dua temanku mempersiapkan alat rekam audiovisual. Mengeluarkan sendiri tiga gelas teh dan satu gelas air putih.

”Pagi itu, saya masih belum selesai menyapu halaman rumah….”

Ia diam. Kembali matanya temlawung jauh. Seekor cicak menjerit dan jatuh tidak jauh dari tempatnya duduk, disusul oleh seekor yang lain, lalu mereka segera melesat pergi. Beberapa ekor ayam muncul di pintu, lalu juga pergi dengan meninggalkan suara kokok yang terus bergema. Suara lalu lintas dari jalan raya yang tidak jauh dari rumah ini mencoba mengingatkan bahwa hanya di sini, sepi itu begitu menjadi-jadi.

”Mereka sudah datang. Saya sudah tahu apa maksud kedatangan mereka. Lalu saya bilang: Pak, saya ini seorang guru. Beri saya kesempatan untuk pamitan dulu ke murid-murid saya….

”Tanpa menunggu jawaban mereka, saya pergi mandi, berdandan, lalu keluar rumah menuju ke tempatku mengajar. Rombongan itu mengikuti dari belakang.

”Sesampai di sekolah, saya langsung masuk ke kelas: Anak-anak, hari ini Ibu akan rapat dengan bapak-bapak tentara. Rapatnya mungkin akan lama. Nanti, kalau ada guru lain yang menggantikan, belajarlah dengan baik, dan jangan nakal.

”Satu per satu, saya menciumi wajah murid-murid. Lalu ketika keluar menemui rombongan tentara, salah seorang berkata: Ke kantor kecamatan!”

Kembali ia diam. Seorang pedagang es melintas di jalan depan rumahnya, diikuti suara anak-anak yang menyanyikan lagu Peterpan. Sesekali aku menengok ke arah pintu, mencari cara agar mataku tidak silau karena cahaya di luar begitu tajam hinggap di pandanganku.

”Saya benar-benar tidak tahu, Mbak, apa salah saya. Saya ini dari kecil miskin, hanya anak seorang janda. Waktu saya kecil, saya hanya ingin menjadi guru. Ya karena melihat guru-guru saya. Rasanya kok hidup saya bisa berguna kalau saya menjadi guru. Lalu saya sekolah di Sekolah Guru Taman Kanak-kanak di Yogya. Lulus sekolah, ya saya langsung mengajar TK di kampung saya. Di luar kegiatan mengajar, saya aktif di organisasi itu. Saya juga tidak mengerti, mengapa orang-orang sering menganggap organisasi itu jahat. Wong saya tahunya, di organisasi itu kami diajari untuk ikut mendamaikan suami-istri yang tidak akur. Kami diajari bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah, makanya tidak adil kalau seorang suami beristrikan lebih dari satu orang. Kami juga diajari bahwa tidak benar kalau istri itu seperti suwarga nunut, neraka katut.”

Seorang anak kecil tiba-tiba menangis di depan rumah. Ia dengan segera keluar, lalu mencoba mendiamkan si bocah, memanggil-manggil nama seorang perempuan yang kupikir adalah ibu si bocah. Tangisan itu menjauh, si bocah digendong ibunya.

Ibu itu masuk kembali ke dalam rumah, kembali duduk di sampingku, dan mataku kembali silau karena cahaya yang masuk dari arah pintu.

”Maaf, ya… sampai mana tadi?”

”Sampai menuju ke kantor kecamatan, Bu….”

”Sampai ke suwarga nunut, neraka katut, Bu….”

Kedua temanku mengeluarkan kalimat yang berbeda, dan aku tidak tahu mana yang tepat.

”Ya…. Di depan kantor kecamatan sudah berderet orang yang menunggu pemeriksaan. Ketika tiba giliran saya diperiksa, saya ditanya pertanyaan-pertanyaan yang saya tidak tahu. Ya saya jawab kalau saya tidak tahu, wong saya memang tidak tahu. Lalu saya disuruh pulang dan tidak boleh mengajar lagi, dan tidak boleh pergi-pergi dari kampung. Saya sedih sekali. Tapi saya juga lega karena tidak dibawa pergi seperti yang lain-lain. Saya mengira bahwa saya selamat, Mbak…. Tapi…, ternyata tidak….”

Tiba-tiba suara ibu itu mengecil, mirip suara kanak-kanak. Tubuh tuanya gemetar, matanya semakin berkeruh, dengan nada yang seperti berteriak, namun lirih, ia berkata, ”Dua tahun kemudian, saya diambil lagi….”

Ibu itu lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Tiba-tiba di luar mendung. Mataku selamat dari rasa silau.

”Yang kedua itu, saya tidak diberi kesempatan untuk mandi apalagi berdandan. Saya langsung diangkut begitu saja. Saya dibawa ke pabrik tebu. Saya baru masuk saja, sudah dikerumuni orang untuk meludahi saya ramai-ramai sambil mengumpati saya dengan kata-kata yang tidak senonoh….

”Lalu saya diseret beberapa orang menuju ke sebuah kamar. Sesampai di kamar, tanpa basa-basi, saya ditelanjangi…. Saya menyebut nama Tuhan keras-keras supaya mereka eling bahwa ada Tuhan. Tapi tidak ada yang menggubris. Saya memohon berkali-kali, tapi saya tetap ditelanjangi….”

Aku melirik ke arah dua temanku yang lain. Sepasang mata Mirna mulai memerah dan Andre sudah mulai mencari-cari rokok di sakunya.

”Saya lalu menyahut bantal untuk menutupi kemaluan saya. Lalu orang-orang itu pergi, tinggal satu orang yang sepertinya pemimpin mereka. Ia menutup pintu kamar. Lalu membuka celananya…. Saya menjerit waktu melihat kemaluannya yang membesar. Ia mendekati saya. Saya memohon ampun berkali-kali. Saya bilang: Pak, saya ini belum bersuami, saya orang miskin dan tidak punya apa-apa. Kalau Bapak punya istri, ingatlah istri Bapak, kalau Bapak punya anak perempuan, ingatlah anak perempuan Bapak….

”Eh…, setelah saya bilang seperti itu, kemaluan bapak itu mengkeret, Mbak. Tapi dia tetap mendekati saya, lalu… mengencingi saya….”

Ibu itu terdiam. Aku tidak tahu apakah ia menangis atau tidak. Sepasang matanya dari pertama kulihat sudah seperti selalu berair. Hanya warna suaranya semakin lama semakin mengecil, membuatku harus terus mewaspadai alat rekam yang kuletakkan di sebelah atas kebayanya, di dekat leher. Sepintas aku melihat mata Mirna sudah berair, sedangkan Andre hanya menggigit-gigit sebatang rokok tanpa pernah menyalakannya.

”Tiga hari saya tidak diberi makan dan tidak boleh ke kamar mandi. Tubuh saya penuh dengan kutu.”

Lagi-lagi, Ibu itu diam. Aku menawarinya minum, dan mengambilkan segelas air putih di meja.

”Maturnuwun, Mas….

”Saya satu-satunya perempuan yang ditahan di pabrik tebu itu. Pabrik itu dipisahkan oleh jalan raya. Saya tidur di sebelah utara, lalu kalau diperiksa, saya dibawa ke sebelah selatan, menyeberangi jalan raya. Nanti kalau Mbak dan Mas ada waktu, saya tunjukkan tempatnya.

”Setiap hari saya disiksa. Saya diberi pertanyaan yang sama, yang saya benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Kalau tidak dijawab, muka saya dipukuli pakai sepatu. Kalau saya jawab, saya juga dipukuli pakai sepatu. Muka saya sampai bengkak-bengkak penuh darah. Semua serba salah. Kalau ditanya dan saya melihat mata yang bertanya, saya juga dipukuli, padahal maksud saya menghormati orang yang bertanya, tapi katanya saya dianggap menentang. Tapi, kalau tidak saya lihat matanya, saya juga dipukuli. Saya ini manusia, kok diperlakukan seperti itu, apa ya layak….

”Pernah juga saya dibawa keluar dari tempat itu, ke kantor polisi. Dulu, rambut saya itu panjang, hampir sampai lutut. Di kantor polisi itu, saya juga dipukuli. Lalu ada yang membawa gunting terus kras-kres-kras-kres, mengguntingi rambut saya. Waktu saya mau dibawa pulang ke pabrik tebu lagi, saya minta rambut saya. Eh, polisi yang menggunting itu bilang: Tidak, itu untuk istriku!

”Kok tidak malu, mereka itu. Menyiksa perempuan yang tidak tahu apa salahnya, memperlakukan saya seperti bukan manusia, kok masih mau menghadiahkan rambut saya untuk istrinya….”

Andre mengambil minuman di meja. Dengan segera Ibu itu mempersilakan kami untuk minum. Kami meminum minuman hangat yang telah dingin.

”Suatu kali, saya disuruh masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan tahanan laki-laki. Tahanan-tahanan itu begitu saya datang langsung disuruh memeluk dan menciumi saya. Yang tidak mau dipukuli. Dan itu semua dipotret cekrak-cekrek, Mbak. Lalu petugas-petugas yang ada di situ menyoraki sambil meneriaki dengan kata-kata yang tidak senonoh. Setelah itu….”

Ibu itu terdiam lagi. Kedua tangannya semakin terlihat gemetar. Kami bertiga menunggu.

”Setelah itu… para tahanan laki-laki itu disuruh membuka celana mereka. Lalu….”

Ibu itu suaranya mengecil, semakin lirih penuh dengan tekanan. Mirna memberi isyarat kepadaku untuk mengambilkan minuman. Hampir saja aku mengambilkan minuman ketika Si Ibu meneruskan kelimatnya, ”Saya disuruh menciumi kemaluan merekaaaa!”

Gelas yang sudah kupegang hampir jatuh. Tubuh Si Ibu terguncang. Sepasang mata Mirna bobol, wajahnya yang putih segera memerah. Andre membuang muka.

”Sebelum melakukan itu, saya minta waktu untuk berdoa. Petugas-petugas itu malah tertawa. Lalu saya menciumi kemaluan tahanan-tahanan itu satu per satu, dan itu dipotret, Mbak. Dipotret, cekrak-cekrek-cekrak-cekrek! Para tahanan itu juga menangis…. Kok ada yang dinistakan seperti ini….”

Semua diam. Gerimis turun di luar. Di dalam ruangan lembap ini, hanya terdengar isak Mirna yang tertahan.

Sepasang mata ibu itu kembali melihat ke arah pintu dan berkata, ”Dan rupanya itu belum cukup…. Sebelum saya memakai pakaian, semua petugas beramai-ramai memelintir puting payudara saya. Saya menjerit, teriak kesakitan dan tidak didengarkan. Selesai kejadian itu, saya langsung menstruasi empat bulan tanpa pernah berhenti….”

Ibu itu kembali diam. Saya mengulurkan gelas air minumnya. Ia minum dengan pelan. Lalu menghirup napas agak panjang, ”Sampai sekarang hanya satu yang saya tunggu, janji Tuhan tentang keadilan. Saya tidak apa-apa menunggu sampai hari pembalasan yang dilakukan oleh Tuhan. Saya ingin tahu, seperti apa itu, dan apa yang akan dilakukan Tuhan pada orang-orang itu….”

Ruangan hening. Tintrim. Tidak ada suara apa pun sampai beberapa saat setelah Si Ibu mengucapkan kalimat itu. Tidak ada suara cicak, tidak terdengar suara lalu lintas yang menderu di luar sana, isak Mirna pun lenyap.

Tiba-tiba seorang perempuan menyembulkan mukanya di pintu. Ibu itu bangkit lalu keluar. Sepintas yang sempat kudengar, Si Tamu memberi tahu bahwa ada tetangga mereka yang meninggal dunia.

Ibu itu masuk sambil berkata, ”Mbak, Mas, saya harus ke tempat kesripahan. Ada tetangga yang meninggal dunia.”

Kami mengiyakan. Mirna lalu mendekati Si Ibu, berbincang pelan, mungkin memastikan jadwal, kapan kami bisa kembali lagi. Andre merapikan alat- alat audiovisualnya, semen- tara aku keluar rumah mencari taksi.

Hari masih gerimis. Di dalam taksi, kami bertiga menelepon ibu kami masing-masing. Ketika ibuku menyapa, aku bahkan tidak tahu harus berkata apa, dan hanya bisa bertanya, ”Ibu baik-baik saja?"

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler