Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “TELAGA ANGSA” KARYA DANARTO

Foto SIHALOHOLISTICK

Pemandangan panggung malam itu dipenuhi puluhan ekor angsa putih menyebar memenuhi telaga. Kaki-kaki jenjang putih para balerina meluncur ke sana kemari. Membentuk komposisi yang senantiasa berubah. Angsa-angsa putih menyelam, menyembul, dan mengepak beberapa saat di atas permukaan air, lalu mendarat kembali. Mereka saling memagut dan bercinta. Asmara angsa, adakah yang lebih indah waktu tubuh bergetar, bulu-bulu bergetar ketika mencapai puncak.

Annisa Zahra disadarkan oleh zefir, angin sepoi-sepoi, yang mengelus rambutnya. Gadis ini masih mengenang adegan-adegan dalam pertunjukan balet ”Swan Lake” yang baru saja usai.

Zahra, balerina 21 tahun, tidak minum wine, yang putih maupun yang merah. Dia memilih minum air jeruk nipis, kegemarannya. Dalam pesta yang disuguhkan oleh Yayasan Jantung Indonesia, sebagai sponsor pertunjukan, Zahra menemani para pebalet dari Negeri Tirai Besi itu. Begitu pula para pebalet teman Zahra, tampak berseliweran di antara para pebalet yang tinggi-tinggi dan besar-besar itu, ayu dan ganteng. Mereka tidak menunjukkan kelelahan sedikit pun meski pertunjukan dua jam itu mengalir terus. Maya Ivanova, Natalya Ashikhmina, Irina Ablitsova, Andrei Joukov, Maxim Fomin, para pebalet pemeran utama dalam lakon itu di antaranya, ngobrol dengan para pejabat bank Indonesia, gubernur, menteri, dan pembesar negara lainnya. Tampak Viatcheslav Gordeev, Direktur Artistik Russian State Ballet of Moscow pertunjukan ”Swan Lake” itu, yang ditemani balerina Masami Chino, ngobrol dengan gubernur.

Dengan meminta maaf karena gedung pertunjukan tidak representatif bagi tontonan segigantik balet Rusia, gubernur berjanji, insya Allah, dalam waktu dekat akan membangun panggung balet semegah Moscow. Sementara itu Zahra getol bercerita macam-macam kepada para tamunya. Di antaranya di tempat ini, pernah berpentas Martha Graham, Alvin Nikolai, juga grup dari Perancis, Jerman, dan modern dance dari Eropa lainnya yang memainkan repertoar ”Le Sacre du Printemps” karya Igor Stravinsky.

Zahra juga banyak mendulang informasi dari Maya Ivanova dan Natalya Ashikhmina, pemeran Odette secara bergantian dan Andrei Joukov dan Maxim Fomin pemeran Siegfried bergantian, tentang balet di Rusia. Sebaliknya, para pebalet Rusia itu mengagumi kecantikan dan rambut panjang Zahra dan apa saja perannya dalam balet di Indonesia. Lalu bergabung ikut ngobrol pula, Irma Ablitsova pemeran Odille dan Dmitry Protsenko serta Vladimir Mineev, pemeran Rothbart bergantian. Mereka rame-rame menikmati salad, sup ikan tuna, plain croissant, buah-buahan, dan jus jambu kelutuk.

Dengan 1.500 penonton, Russian State Ballet of Moscow memainkan ”Swan Lake” karya Tchaikovsky yang sudah melegenda, sangat populer di seluruh dunia. Lakon ”Swan Lake” menceritakan dayang-dayang istana dan ratunya, Odette, yang disihir Rothbart menjadi angsa. Siang hari mereka adalah angsa yang merenangi telaga. Baru pada malam hari mereka menjelma manusia kembali. Hanya cinta sejati yang mampu mengalahkan sihir itu. Pangeran Siegfried, pemilik istana dan telaga, jatuh cinta kepada Odette. Namun cinta mereka terhalang oleh sihir Rothbart yang ampuh.

Di samping mencoba menggagalkan percintaan Siegfried dengan Odette, Rothbart sang penyihir, memamerkan putrinya, Odille, yang secantik Odette, untuk merebut cinta Siegfried. Usaha Rothbart berhasil. Pangeran Siegfried langsung terpikat pada Odille. Mendengar kabar ini, Odette dan dayang-dayangnya jatuh sedih.

Siegfried sadar. Secepatnya Siegfried menyatakan pilihan cinta sejatinya hanya pada Odette. Seketika, angsa itu menjelma Odette, begitu juga puluhan ekor angsa yang lain. Rothbart marah besar. Namun Siegfried mampu menewaskan Rothbart dan pasukan angsa hitamnya. Begitulah, seluruh istana bergembira. Dan pesta pernikahan Siegfried-Odette selama tujuh hari tujuh malam pun digelar dengan meriah.

Pesta para pebalet Rusia dan para pebalet Indonesia malam itu seperti menandai suksesnya pertunjukan ”Swan Lake”. Sekalipun dengan mata terpejam, siapa pun tak bakal salah memilih, semua balerina itu elok: Tatiana Protsenko, Eugenia Singur, Tatiana Chungunkina, dan Anastasia Baranova, adalah para pemeran angsa kecil. Sedang para pemeran angsa gede adalah Svetlana Ustyuszhaninova, Oxana Gasnikova, Olga Ivachenko, dan Anna Vakina.

Zahra menonton pertunjukan itu bersama keluarga, ayah, ibu, kedua adiknya, kakek dan neneknya, juga tante dan oomnya. Pagi harinya kakek berdiri lalu meliuk-liuk menirukan gerakan balet yang membuat semuanya tertawa.

”Awas. Eyang bisa kesleo, lho,” celetuk Zahra sambil memasukkan potongan roti lapis kacang dan cokelatnya ke dalam mulutnya.

”Eyangmu ini tadi malam kan kepincut sama si Maya,” celetuk Nenek.

Semuanya tertawa, sampai Kakek terbatuk-batuk.

”Terpikat boleh terpikat, asal encoknya tidak ketahuan sang balerina,” sambung Oom sambil menyenggol Tante.

Semuanya tertawa. Kakek terbatuk-batuk lagi.

”Odette atau Odille, saya sih, cocok-cocok saja,” tukas Kakek.

”Apa, sih, yang ndak cocok bagi kamu,” tukas Nenek.

Semua tertawa.

”Tapi, saya tidak setuju dengan kostum para penarinya,” kata Kakek.

”Lho, memangnya kenapa?” tanya Zahra.

”Itu kan mengumbar aurat,” sambung Kakek.

”Aurat yang mana?” tukas Zahra. ”Semuanya kan tertutup rapat.”

”Tapi kesan telanjangnya kan jelas.”

”Kesan. Kesan. Aduh, Eyang. Jika kita bicara soal kesan, semuanya terkesan jelek.”

”Jangan begitu,” sanggah Kakek. ”Saya sungguh risi dengan kostumnya.”

”Rasa risi tidak relevan dengan Swan Lake, Eyang.”

”Jangan begitu,” sergah Kakek lagi. ”Saya serius. Melihat kostumnya, pertunjukan itu harusnya disensor.”

”Eyang kok tiba-tiba jadi diktator,” tukas Zahra. ”Itulah kostum yang paling pas untuk lakon ”Swan Lake”.”

”Wah, bubar, deh, peradaban.”

”Wah, wah, wah, Eyang ini gimana, sih. Habis jadi diktator, mendadak berubah jadi filosof.”

”Eyang yang kasmaran, kok yang disalahin balerinanya.”

Semuanya tertawa, kecuali Kakek.

Ruang makan itu berubah jadi ruang pesta pagi hari. Meriah. Obrolan berubah jadi perdebatan. Grup balet Rusia ini sudah melanglang buana.

Ini kali pertama kakek dan nenek nonton balet. Zahra melanjutkan obrolannya:

”Waktu grup balet Zahra memainkan Swan Lake, kostum Zahra ya seperti itu.”

”Mati orang kuburan!” potong Kakek kaget.

Semuanya tertawa kecuali Kakek.

”Kok Eyang jadi sewot?”

”Mempertimbangkan kostum itu, Swan Lake dapat dikategorikan sebagai pertunjukan pornografi dan pornoaksi,” sambung Kakek.

”Mati orang kuburan!” potong Zahra.

Semuanya tertawa kecuali Kakek.

”Bagaimana parameternya?”

”Bagian-bagian tubuh tampak disengaja sangat menonjol.”

”Saya heran, kok Eyang sampai segitunya. Ada yang jauh lebih subtil yaitu bentuk tubuh secara utuh. Jenjang kaki yang panjang dengan bentuk yang indah—laki-laki maupun perempuan—dalam menopang torso yang sepadan yang melahirkan kelenturan gerak bagai kijang.”

”Harus dicari kostum yang lebih cocok dengan budaya setempat,” sambung Kakek.

”Eyang benar-benar lowbrow, ” sergah Tante.

”Apa?” tanya Kakek.

”Eyang dianggap tak menghargai kebudayaan,” kata Oom.

”Justru karena saya sangat menghargai kebudayaan, maka saya marah menyaksikan penampilan para pebalet Rusia itu.”

Zahra menukas, ”Kalau pendapat Eyang dilaksanakan, runtuhlah kebudayaan.”

”Omong kosong!” sergah Kakek. ”Kalian keras kepala!”

Semuanya tertawa kecuali Kakek.

”Kita harus mempertahankan adat ketimuran kita,” cetus Kakek.

”Adat ketimuran kita adalah KKN,” sewot Zahra.

”Dalam KKN ada tradisi, pesakitan KKN selalu jatuh sakit kalau mau diadili.”

Semuanya tertawa kecuali Kakek.

”Jangan melecehkan negeri sendiri,” sela Kakek.

Mendengar kata Kakek ini, semuanya menyanyi kecuali Kakek: ”Bagimu negeri, jiwa raga kami…”

Oleh orangtuanya, Zahra diperkenalkan pada balet sejak balita. Puluhan kali dia berpentas balet di kota-kota besar.

”Kostum ketat itu, Eyang,” kata Zahra. ”Adalah tradisi balet. Seperti para perenang yang hampir-hampir telanjang ketika bertanding di kolam renang, begitu pula kostum ketat balet memudahkan untuk bergerak menari.”

”Jadi tanpa mempertimbangkan moral dan agama?” tukas Kakek.

”Moral dan agama ada pada keindahan kesenian itu. Kalau Eyang puas atas pertunjukan balet Rusia itu, ini artinya balet Rusia itu telah berdakwah tentang kebenaran.”

”Sekalipun mereka ateis?”

”Sekalipun mereka ateis.”

”Sungguh saya tidak paham jalan pikiranmu, Cucuku.”

”Hati orang siapa tahu, Eyang. Kita bisa menuduh mereka ateis, tapi dari mana kita tahu bahwa mereka ateis? Obrolan kita ini sudah melenceng. Harus dipisahkan antara rakyat dan negaranya. Betapa luhurnya seseorang yang tidak percaya akan Tuhan, namun tariannya memberikan pencerahan kepada kita yang shalat lima kali sehari, bukankah itu artinya mereka telah berdakwah tentang keluhuran? Seandainya benar mereka ateis, mereka itu hanya belum sempat mendapat hidayah dari Allah saja. Barangkali besok, atau lusa, atau setahun lagi?”

”Seorang ateis bagaimana mungkin mendapat hidayah Allah?”

”Jiwa manusia itu seluas alam semesta, Eyang. Janganlah berputus asa akan belas kasihKu, kata Allah.”

”Tapi omongan kamu itu kan cuma teori.”

”Mereka telah menari dengan anggunnya, Eyang. Dan itu bukan teori. Mereka telah berbakti kepada Dewi Keindahan. Dalam hidup para balerina dan balerino itu, setiap hari yang dipikirkannya hanya keindahan. Alangkah juwitanya pandangan hidup mereka.”

”Mereka hanya berbakti kepada Dewi Keindahan. Bukan kepada Tuhan.”

”Eyang kok selalu curigesyen terhadap iman orang lain yang tidak dikenal.”

Semuanya tertawa kecuali Kakek.

”Kita harus membedakan antara iman warga negara dan iman negaranya,” kata si Oom.

”Banyak negara yang busuk, sedang warga negaranya mudah lolos ke surga,” tambah Tante.

”Coba, saya dikasih contoh,” sergah Kakek.

”Contohnya tidak usah harus beli tiket pesawat,” jawab Tante.

Semuanya tertawa kecuali Kakek.

”Apa yang sedang terjadi atas Eyangmu ini, saya cuci tangan,” tambah Nenek. ”Kok sekarang berubah jadi one dimensional man.”

Semuanya tertawa kecuali Kakek.

”Saya pusing mendengar pikiran-pikiran anak muda sekarang,” tukas Kakek.

Kecuali Kakek, semuanya membaca puisi Gibran Khalil Gibran:

”Anakmu bukanlah anakmu. Anakmu bukan milikmu. Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri…..”

”Eyangmu itu pantas jadi polisi moral, Zahra,” tukas Nenek.

Lengang sejenak. Seperti tercium setan lewat.

Zahra melanjutkan obrolannya: ”Wajah Allah itu memancar memenuhi alam semesta dan kita makhluk ciptaannya dapat menatap Wajah itu secara gamblang. Ada api yang menyala-nyala. Ada air yang mudah mematikan api. Ada tanah yang bisa menumbuhkan padi sehingga kita tidak kelaparan. Ada angin yang tidak kelihatan yang membuat kita bernapas hidup puluhan tahun. Ada zat yang mendorong kita beranak-pinak. Dan ternyata Allah itu indah, Allah mencintai keindahan.”

”Kita juga memiliki keindahan tradisi. Kita wajib memeliharanya.”

”Saya setuju, Eyang. Cobalah nikmati tari bedoyo. Dalam dandanan kebaya pinjungan, menyembulkan semburat merah jambu gunung kembar yang menjenguk lewat dada yang lebar terbuka. Para pujangga menyebutnya ”Glatik Nginguk” artinya ”Burung Gelatik yang Menjenguk” yang membuat dada para raja dan pangeran ”mak-sir”, tergetar. Mendorong keanggunan sembilan penari yang gemulai dalam balutan kain yang ketat. Dalam balet, seorang penari harus lebar-lebar merentangkan kakinya supaya bisa terbang, sedang dalam bedoyo para penari bahkan untuk berjalan biasa saja, cukup sulit, itulah keunikan tiap tradisi yang mewariskan budaya dunia. Suatu dakwah keindahan tiada tara.”

Tukas Kakek: ”Tidak ada pornografi dan pornoaksi dalam tari bedoyo.”

”Sebagaimana balet, tidak ada pornografi dan pornoaksi,” sambung Zahra.

 

Tangerang, 14 Februari 2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler